Kamis, 10 Maret 2016

MUNGKIN SEGALANYA MUNGKIN

Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 249
Ucapan Selamat dan Komentar
Ucapan Selamat dan Komentar
250 | Mungkin Segalanya Mungkin
SELAMAT ULANG TAHUN EMBAH WITO
Kiri ke kanan: Auna Layaly (Cucu pertama), Azalia Najwa Hakim (Cucu keempat),
Nawal Albina (Cucu ketiga), dan Raden Malik Syahid (Cucu kedua)
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 251
EMBAH
Auna Layaly
(Cucu pertama, Kelas 1 SD)
embah selamat
ulang tahun
Embah
aku suka diajak jalan
aku cucu pertama embah
embah aku baik hati
embah aku pintar
aku ingin seperti embah
ibu (panggilan untuk nenek/Nilfa Tetty
Tanjung)
ibu yang menjaga aku
setelah pulang sekolah
Ucapan Selamat dan Komentar
252 | Mungkin Segalanya Mungkin
SELAMAT ULANG TAHUN EMBAH
Raden Malik Syahid, Cucu kedua, Kelas 1 SD
Selamat ulang tahun embah
Suwito rakio
Semoga panjang umur
dan sehat selalu
dari mas malik
cucu ke 2
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 253
DOA AYAH
Himmawaty Aliyah
(Anak pertama), Budi, dan Auna
Salam,
Tidak ada yang bisa kami ucapkan
selain rasa syukur memiliki mertua, ayah
sekaligus mbah untuk kami. Semoga di
hari ulang tahun ini ayah selalu diberi
kesehatan… Ayah menjadikan kami orang
yang bertanggungjawab serta menghargai
semua apapun yang diberikan Tuhan
kepada kami.
Sikap ayah yang demokratis
membuat kami bisa lebih menyikapi diri
kami. Ayah yang membuat kami bisa
lebih mandiri, walaupun terkadang berat
menyandang nama ayah tapi kami berusaha untuk tidak dalam bayang-bayang nama
ayah… mungkin sulit tapi apapun itu kami tetap bersyukur dan berusaha untuk
menjaga nama baik ayah…
Budi, Ima dan Auna selalu berdoa semoga ayah sukses.
Do’a kami selalu mengiringimu (Ayah).
TULISAN BUAT AYAHKU
Amalia Nikmah
(Anak kedua)
Ayah... waktu kecil aku tidak
mengenal kepribadian ayahku. Aku
tidak tahu bagaimana beliau, sifat
beliau, ataupun karakter sesungguhnya
dari ayahku. Yang aku tahu dia adalah
seorang yang pendiam, tenang, dan
tidak akan bicara kalau tidak penting.
Mungkin... di rumah supaya tidak
ramai, karena setiap hari sudah
mendengarkan suara dari ibuku yang
sangat cerewet. tapi aku
memakluminya karena setiap ibu di
dunia, sepengetahuanku cerewet sebab
Ucapan Selamat dan Komentar
254 | Mungkin Segalanya Mungkin
harus mengurusi segala macam urusan rumah tangga.
Kembali lagi pada sosok ayahku, atau lebih tepatnya aku mengenal ayahku,
sewaktu aku kecil setiap pagi ayahku selalu menimba air menggunakan pompa
karena waktu itu belum ada pompa air yang menggunakan listrik atau biasa disebut
jetpumt. Ayahku seorang yang sangat sibuk dia selalu pergi pagi dan pulang larut
malam.
Setiap pagi ayahku berangkat kerja menggunakan sepeda. Sepeda ayahku itu
sangat unik dan kuat karena beliau menggunakan sepeda itu sebelum beliau
menikah dengan ibuku. Sepeda itu seperti pada zaman Belanda.sudah bisa
dibayangkan sangat unik bukan... Ibu, kakakku, dan adikku bisa dibonceng dengan
menggunakan sepeda tersebut, kami senang.
Pada waktu hari libur seperti hari minggu atau tanggal merah, kami pergi
untuk mencari ketupat sayur ataupun nasi uduk di pagi hari menggunakan sepeda
kuil. Terkadang aku berpikir kok muat yaa, kami berlima naik sepeda? tapi
kenyataan memang muat ha… ha... ha… Kalau ingat kejadian itu sangat lucu
sekaligus menyenangkan waktu itu adik laki-lakiku belum pernah merasakan naik
sepeda karena belum lahir ke dunia.
Seingatku waktu aku kelas MTs (Madrasah Tsanawiyah) Pabelan, ayahku
baru bisa membeli mobil itupun bukan mobil baru, atau mobil second. Walaupun
ayahku sudah punya mobil ayahku tetap menyimpan sepeda kuil yang biasanya
dipakai bekerja sehari-hari dan kuliah sampai pada akhirnya sepeda tersebut
diberikan pada mahasiswa karena mahasiswa tersebut sangat menginginkan sepeda
tersebut dan ingin berhasil seperti ayahku.
Pada waktu aku lulus kuliah aku kembali berkumpul dengan keluargaku.
Setelah lulus, aku memutuskan untuk menikah. Sebelum dilamar pacarku dan
akhirnya menjadi suamiku ayahku menanyakan satu pertanyaan padaku yang
sampai kini masih aku ingat. Ayahku menanyakan apakah kamu sudah yakin bahwa
dia yang terbaik untukmu? Aku menjawab. “Yakin, Yah”. Ayahku dua kali
menanyakan hal tersebut dan aku jawab, “Ya” dan akhirnya ayah menerima
keluarga calon suamiku tanpa menanyakan apa pun dari mereka.
Sejak aku di bangku sekolah sampai akhirnya menikah, ayahku tidak
memaksakan kehendaknya kepada kami, anak-anaknya, untuk berhasil dalam
pelajaran atau untuk jadi apa di kemudian hari. Ayahku hanya menyuruh kami
sekolah dan tidak pernah memaksakan kami untuk belajar dengan giat. Semua
diserahkan kepada anaknya mau belajar ok kalau tidak, ya tidak apa-apa. Ayahku
hanya berkata yang penting sekolah dan mengaji soal nilai beliau tidak
mempermasalahkannya.
Apapun yang terjadi dengan anak-anaknya beliau selalu mendukung selama
hal tersebut positif. Setiap hari aku selalu sedih karena belum bisa membalas semua
yang diberikan ayah kepadaku apalagi aku belum bekerja, Aku hanya bisa bilang
terima kasih banyak pada beliau. Maaf karena aku belum bisa membuat beliau
bahagia dan belum bisa menjadi anak yang diharapkan walaupun beliau belum
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 255
pernah mengatakannya. Sekali lagi terima kasih Ayah, semoga Allah selalu
memberikan kesehatan jasmani dan rohani dan semoga beliau diberikan umur
panjang. Amin
Hormat Saya,
Amalia Nikmah S.H.I., S.H., M.H.
SESOSOK AYAH YANG AKTIF DAN PENUH INSPIRATIF
Aufa Fitria
(Anak Ketiga Prof. Dr. H. Suwito, M.A.)
Ayahku bernama Prof. Dr. H.
Suwito, M.A. dan Ibuku Dra. Hj. Nilfa
Yetty Tanjung. Suwito (Wito) yang biasa
akrab dipanggil oleh teman-teman beliau.
Beliau seorang ayah yang sangat gigih,
rajin, tekun dalam melaksanaan semua
pekerjaannya. Di keluarga besar saya, saya
(Aufa) termasuk anak ketiga dari empat
bersaudara. Saya memiliki dua kakak
perempuan yaitu Himmawaty Aliyah dan
Amalia Nikmah serta satu orang adik lakilaki
yaitu Aqbas Udhiya. Saya telah
menikah dengan Kristiyanto dan dikarunia
seorang anak bernama Nawal Albina.
Ketika saya masih kecil, saya dan kakak-kakak saya selalu jarang ketemu
dengan orang tua saya, terutama ayah saya. Ketika Ayah dan Ibu saya berangkat
kerja, saya dan kakak-kakak saya diasuh oleh tante (Raihanum Tanjung) dan nenek
(Hj. Rohani) saya yang datang dari Sorkam ke Jakarta untuk tinggal bersama Ibu
saya. Ketika ayah saya berangkat kerja, kami masih tidur dan ketika ayah saya
sudah pulang kerja, kami pun sudah tidur. Tapi, kami sudah terbiasa seperti itu dan
kami pun memahami pekerjaan ayah kami. Ayah (Prof. Suwito) adalah seorang
pekerja keras dan tidak mengenal lelah. Walaupun beliau sakit, beliau masih saja
berangkat ke kantor. Akan tetapi, ketika sakit beliau sudah tidak bisa diatasi lagi,
beliau baru mau untuk istirahat di rumah. Ibarat kata “Ketika seseorang masih bisa
berjalan, pergilah untuk keluar rumah, dan ketika kaki ini tidak dapat melangkah
lagi, cukuplah istirahat di rumah”.
Ketika kami (saya dan kedua kakak) masih kecil, kami selalu diajarkan oleh
ayah belajar bahasa Inggris dan bahasa Arab setiap harinya dan kamipun diberi
tugas Pekerjaan Rumah (PR) untuk dikerjakan di hari sesudahnya. Ketika ayah
pulang, kamipun berlomba-lomba untuk membaca atau memberikan PR yang telah
kami kerjakan. Walaupun ayah sedang di kamar mandi, kamipun membaca PR
tersebut dengan suara yang sangat keras. Ketika PR kami ada yang salah, ayah
Ucapan Selamat dan Komentar
256 | Mungkin Segalanya Mungkin
selalu memperbaikinya. Berbeda lagi dengan pelajaran yang diberikan ayah ketika
kami setelah selesai mengerjakan shalat maghrib. Kami disuruh mengikuti apa yang
ayah ucapkan seperti kataba-katabā-katabū-katabat-katabatā dan seterusnya.
Setelah kami lulus SD, kami masuk Pondok yang bernama Pondok Pesantren
Pabelan di daerah Muntilan, Magelang. Ketika kami belajar di Pondok tersebut,
kami belajar Nahwu dan saraf, saat itu kami teringat “kayaknya saya pernah belajar
pelajaran ini, sontak saya teringat, “Oh iya, ini kan pelajaran yang pernah ayah
ajarkan kepada saya”. Ternyata, ketika saya masih kecil saya tidak tahu apa yang
ayah saya ajarkan, saya hanya mengikuti apa yang diucapkan oleh ayah saya. Saya
berpikir, ternyata ada manfaatnya di saat kami beranjak dewasa.
Ayah saya termasuk orang yang selalu mengedepankan pendidikan bagi
anak-anaknya. Ketika kami sedang dalam masa studi, ayah saya selalu bilang “Yang
penting belajar, apa pun itu jurusannya, itu semua ilmu yang harus dicapai”.
“Kegagalan itu hal yang biasa, jangan mudah menyerah. Dengan kegagalan
tersebut, mudah-mudahan dapat meraih kesuksesan”. Tutur kata ayah saya selalu
tertata rapi seperti halnya ungkapan bahasa Indonesia yang baku. Ketika kami atau
pun mahasiswa beliau berbicara, kami merasa selalu diputarbalikkan. Ucapan beliau
yang sangat sulit dipahami oleh orang yang tidak pernah berbicara dengan beliau.
Saya sebagai anak beliau sudah terbiasa dengan perkataan beliau yang selalu
menggunakan bahasa yang menurut orang tidak jelas. Misalnya ketika orang
berbicara kepada ayah saya “Pak, saya makan dulu ya.. eh.. orang tersebut tertawa
dan langsung mengubah ucapannya dengan “Pak, saya makan nasi, ya.. itulah
guyonan-guyonan yang membuat suasana menjadi riang.
Ketika saya kuliah di UIN, banyak teman-teman yang bercerita kepada saya
tentang ayah saya. Ada beberapa mahasiswa yang takut berbicara ataupun menyapa
Prof. Suwito. Saya pun bertanya kepada mereka, ada apa dengan Prof. Suwito?
Mereka menjawab, kalau berbicara dengan Prof. Suwito selalu diputarbalikkan
pembicaraannya. Makanya, mereka sangat takut dan tidak bisa membalas perkataan
beliau. Tapi, ada juga orang yang suka dengan Prof. Suwito yang begitu ramah
kepada mahasiswa dan sampai sekarang pun mahasiswa-mahasiswa ataupun para
karyawan di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta banyak
yang meniru perkataan-perkataan yang merupakan ciri khas beliau. Misalnya ada
seorang yang menyapa saya. “Mau Shalat dulu ya, Aufa?” Saya jawab, “Bukan
shalat dulu… tapi, shalat zuhur… hahaha… tanpa disadari, perkataan saya pun
meniru ucapan yang biasa dilakukan oleh ayah saya (Prof. Suwito).
Ketika Ayah saya mengajar, saya merasa apa yang diajarkan Ayah saya
bukanlah materi yang monoton terhadap satu ilmu saja, akan tetapi beliau sangat
pandai dalam mensinergikan beberapa ilmu ataupun dikenal dengan disiplin ilmu
yang dulu pernah diterapkan di SPs UIN Jakarta. Saya menilai, sosok pengajar
seperti beliau sangat jarang bagi dosen-dosen yang setara dengan beliau. Tidak ada
satupun dosen yang dapat meniru bagaimana beliau mengajar di kelas. Beliau
sangat suka dengan metode pembelajaran berupa diskusi, agar para mahasiswa tidak
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 257
hanya dapat ilmu dari seorang dosen, akan tetapi mahasiswa tersebut dapat
memberikan ilmu yang mereka punya kepada dosen tersebut. Dengan metode itu,
bukan hanya dosen saja yang pintar akan tetapi diharapkan seorang mahasiswa
untuk bersikap aktif dan kritis.
Prof. Suwito adalah sosok ayah yang apabila di rumah, beliau menjadi ayah
yang benar-benar sayang kepada anak-anaknya. Ayah selalu mengajarkan kami
untuk tidak manja ataupun selalu bergantung kepada orang lain. Dari saya kecil,
saya dituntut untuk belajar mandiri dan tidak selalu diajarkan oleh kedua orangtua
saya. Misalnya ketika saya ada PR dari sekolah, saya selalu mengerjakan sendiri.
Tapi, apabila saya tidak bisa mengerjakannya, saya selalu minta tolong kepada
kakak saya. Kadang saya terpikir, ketika Ayah mengajar di tempat kuliah kenapa
sangat berbeda ketika mengajar untuk anak di rumah. Apa mungkin itu hanya
sebuah perasaan yang biasa anak-anak rasakan ketika pekerjaan ayahnya adalah
seorang dosen. Hal tersebut membuat kami menjadi terbiasa belajar sendiri tanpa
ada bimbingan intensif oleh kedua orang tua. Kamipun sudah terbiasa dengan itu
semua. Saya melihat, ayah saya memiliki prinsip yang sangat kuat dalam diri beliau.
Walaupun kami tidak banyak mengerti dengan itu semua. Ayah saya tidak
membiasakan kami dengan selalu disuapin (dicekokin) dengan hal-hal yang
berhubungan dengan pembelajaran ataupun mengenai pekerjaan, Kami dituntut
untuk bisa mencari dan berusaha sendiri. Itulah yang Ayah kami harapkan. Ayah
kami selalu suka berdiskusi ketika ada hal-hal yang seharusnya didiskusikan.
Misalnya masalah perkuliahan, saya selalu minta masukan ataupun pandangan yang
membuat saya ragu ataupun tidak paham mengenai hal tersebut. Ayah selalu
memberikan pandangan dan masukan yang membuat saya memiliki pencerahan dan
bisa memberikan solusi yang baik bagi saya.
AYAH, SAYA, DAN KELUARGA
Aqbas Udhiya Suwito,
(Anak keempat)
Suwito Dikromo Rakiyo, atau yang di
kenal Prof. Dr. Suwito. M.A, Lahir 7 Maret,
Pati, Jawa Tengah. Seorang anak pemimpi
dari desa yang berjuang demi dunia
pendidikan. Pindah ke ibukota dengan
harapan mengubah dunia. Pemimpi yang
sangat hebat, dan mungkin semua mimpinya
sudah terbukti pada saat ini. Beliau berkata
hanya dengan pendidikan dapat mengubah
nasib seseorang. Seorang ayah dari 4 orang
anak, termasuk saya Aqbas Udhiya Suwito,
anak terakhir dari 4 bersaudara. Seorang
Ucapan Selamat dan Komentar
258 | Mungkin Segalanya Mungkin
suami yang sangat teguh pada pendiriannya dan sangat tegas sikapnya. Kebanyakan
orang bilang saya sangat mirip dengan ayah, tapi yang saya rasakan kita sangat
berbeda. Mungkin fisiknya saja yang terlihat mirip, tapi kami sangat berbeda sifat
dan cara pandangnya.
Perjuangan 54 tahun yang sangat konsisten di bidang pendidikan, ia adalah
seorang kepala keluarga yang sangat demokratis. Seorang ayah yang sangat pintar,
modern, dan ulet. Ayah adalah sosok pekerja yang sangat keras, hidup tegar dan
selalu bisa berdiri sendiri di atas semua masalah yang dihadapi. Berpikir positif dan
selalu tenang adalah ajaran yang selalu beliau sampaikan kepada semua anggota
keluarga. Seorang Professor yang sangat sederhana dan berjuang tanpa kenal lelah
untuk memajukan pendidikan. Seorang yang visioner dan humoris. Meskipun kami
selalu berbeda pandangan, tapi saya tahu bahwa ayah hanya ingin anaknya menjadi
orang yang bisa berguna bagi orang lain. Terlalu banyak cerita yang tidak bisa saya
ungkapkan di sini dan mungkin hanya bisa saya buktikan dengan perjuangan saya
nantinya.
Terima kasih Ayah atas perjuanganmu untuk kami.
ULANG TAHUN MERTUAKU
Luqman Hakim, SH
(Menantu)
Ass. Wr. Wb. Berkenaan dengan
ini izinkan Ananda Luqman Hakim, S.H.
memberikan ilustrasi biografi Ayah.
Prof. Suwito MA atau yang lebih
sering dikenal dengan sebutan Pak Wito
Lahir di Sukolilo Pati Jawa Tengah 07
Maret 1956 dari pasangan Rakiyo dan
Rasemi dan merupakan anak tunggal dari
pasangan tsb. Sejak kecil Suwito diberi
kecerdasan di atas rata-rata dan selalu
dapat rangking di kelasnya sampai di
sekolah menengah atas. Setelah selesai
menempuh pendidikan sekolah tahun
70an Suwito merantau ke ibukota untuk bekerja sambil melanjutkan kuliah di
perguruan tinggi IAIN Syarif Hidayatullah sampai akhirnya meraih gelar Doktor
dan Guru Besar tahun 2000an. Suwito menikah dengan ibu Nilfa Yetty Tanjung
dan dikaruniai 4 orang anak, 3 perempuan dan 1 laki-laki. Dalam dunia pendidikan
Pak Suwito mampu melakukan gebrakan serta perubahan yang cukup fenomenal
sewaktu menjabat Pembantu Rektor dan menjadi Wakil Direktur Sekolah
Pascasarjana yakni mengubah IAIN Syarif Hidayatullah menjadi UIN Syarif
Hidayatullah yang sekarang hampir diikuti di seluruh daerah di Indonesia.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 259
Meskipun mampu melakukan terobosan dan pembaharuan dunia pendidikan
Pak Suwito adalah sosok yang rendah hati dan sederhana di mata saya sebagai
menantu. Pak Suwito adalah orang yang luar biasa di samping pendiam dan ulet,
giat bekerja tanpa merasa lelah demi anak dan cucunya tersayang. Pak Suwito
adalah teladan bagi anak-anaknya dan menantunya. Semoga di usia yang ke 60
Ayahanda diberi kesehatan lahir & batin serta kemudahan dalam urusan pekerjaan
dan dilapangkan rezekinya oleh Allah SWT. Amin.
Mohon Maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan atau sok tahunya
Ananda tentang penulisan ini
Hormat kami,
Luqman Hakim, SH
DINAMIKA DUNIA AKADEMIK DAN NON-AKADEMIK DALAM DUNIA
KEHIDUPAN PROF. SUWITO MASA KINI DAN KE DEPAN
Kristiyanto
(Menantu, Dosen Universitas Indraprasta PGRI/Unindra Jakarta)
Berapa pun jumlah mahasiswa yang
ada, baik jumlahnya banyak atau
sedikit, tidak membuat saya kaya
ataumiskin. Kerja keras dan pengabdian
yang ikhlaslah yang akan membuat
kaya dan kepuasan tersendiri, baik lahir
dan batin. (Suwito, 2013)
Sebuah Pengantar
Sisi duniawi bukanlah tujuan
utama, walaupun sudah ada di depan
mata dan bisa digunakan untuk
memperkaya diri, dengan kekuasaan,
pengetahuan, dan pengalaman yang
sudah lama dimilikinya. Itulah seklumit sisi kepribadian atau kehidupan yang ada di
dalam diri Prof. Suwito sebagai Ayah mertua yang masih sedikit yang saya pahami,
yang terlihat sederhana dan apa adanya.
Menceritakan sebuah cerita sisi kehidupan Prof. Suwito (mertua) sangatlah
kompleks, dinamis dan panjang, terutama dari sisi latar belakang pendidikan dengan
segudang pengalaman, yang salah satunya telah terimplementasikan, terlihat
bagaimana beliau mampu mendesain model bangunan arsitektur pemikiran dan
nonpemikiran di dalam Sekolah Pascasarjana (UIN Jakarta) selama ini. Hal
tersebut, dapat dilihat bagaimana beliau mampu menciptakan dan membangun
paradigma pendidikan yang menghidupkan dan dinamis serta penuh tantangan. Di
samping itu, dalam naskah biografi ini juga, ingin mengilustrasikan maupun
Ucapan Selamat dan Komentar
260 | Mungkin Segalanya Mungkin
mencatat jejak-jejak yang telah ditinggalkan oleh Prof. Suwito, yang telah lama
mengubah dan mengembangkan paradigma pendidikan yang memperdayakan
semua pihak.
Cerita-cerita sisi kehidupan Prof. Suwito, akan menjadi bahan refleksi dan
evaluasi kini dan ke depan, bagaimana beliau mampu atau mau bekerja untuk
pengembangan pola pendidikan yang bermutu dan berkualitas, dengan banyak
mengorbankan sisi kehidupan pribadinya. Hal tersebut, dapat dilihat ulasan atau
cerita seorang anak beliau, yaitu Aufa Fitria, seorang anak ketiganya, yang banyak
memaparkan kisah hidupnya sebagai anak yang langsung merasakan kehadiran
seorang ayah, yang dikatannya super sibuk. Singkat kata, “Ayah pergi di waktu
matahari belum terbit, dan pulang di waktu matahari sudah tenggelam sehingga
kebersamaan dengan ayah itu sangat terbatas”.
Profil Prof. Suwito, bukanlah seorang yang terkenal atau tidak mau dikenal
sebagaimana mestinya seperti pejabat-pejabat lainnya. Beliau selalu
mengedepankan pekerjaan daripada ketenaran. Beliau menyakini, bahwa hasil
pekerjaan yang berkualitas akan berdampak pada kehidupan ke depan, baik bagi
dirinya maupun tempat di mana beliau mengabdi. Hal tersebut, sudah terbukti
dengan banyaknya undangan perguruan tinggi (universitas maupun belum
universitas) dari berbagai daerah, hanya menginginkan keterlibatan beliau untuk
membangun budaya kampus yang ideal, sesuai dengan pedoman pendidikan yang
standar.
Mimpi-mimpi Bangunan Paradigma Pendidikan Idealis Prof. Suwito
Waktu, tenaga, dan pemikiran Prof. Suwito hampir 90% lebih tercurahkan,
hanya untuk mewarnai dinamika dunia pendidikan dengan mengedepankan
profesionalisme dan kegigihan, tanpa meminta imbalan apa pun, yang seakan
menjadi tanggungjawab beliau, bahkan pekerjaan tersebut, seakan dinikmati sebagai
seni hidup yang beliau lakukan sehari-hari. Gaya kehidupan tersebut, beliau jadikan
sebagai ritme hidup yang tidak mengarah pada nilai hidup, yang menyia-nyiakan
waktu dan ruang.
Secara teoritis pendidikan adalah sebuah proses yang mempunyai tujuan dan
cita-cita yang besar dan mulia dalam membangun dan menciptakan sebuah
komunitas intelektual yang diakui, mumpuni, dan disegani, baik secara nasional
maupun internasional.1 Di samping itu, diharapkan mampu membuahkan karyakarya
ilmiah yang layak dibaca dunia,2 dan terlebih penting dapat memberikan
1Mendapatkan Pengakuan secara nasional bahkan internasional, tidaklah mudah, banyak hal
sesuatunya yang perlu disiapkan, baik sarana maupun prasarana, di samping itu, sumber daya manusia
yang berkualitas. Bahasa menjadi titik perhatian yang kini dibangun dan dikembangkan sebagai
modal dasar serta pengutan karya-karya ilmiah yang mampu menembus batas geografis dan layak
baca dunia. Kenyaman dan ketenangan lokasi belajar juga menjadi bagian dari semua itu, sehingga
berbagai cara dilakukan untuk membuat para mahasiswa merasa nyaman dan lama untuk selalu
melakukan kegiatan akademis.
2Konsep “slogan” yang diangkat menjadi sebuah tuntutan, harapan, bahkan impian besar
untuk membangun sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas, dan diakui secara internasional. Ini
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 261
sumbangsih banyak dalam memberikan sebuah solusi, walaupun dalam pemikiran
yang sesuai dengan perubahan dan perkembangn zaman. Tidak mudah untuk
mewujudkan lembaga pendidikan seperti tersebut, terkait banyak tantangan baik
secara internal maupun eksternal. Tantangan menjadi peluangan yang selalu ada,
tergantung bagaimana bisa memaknai semua fenomena yang terjadi pada masa kini
dan ke depan. Banyak hal yang dapat dipetik dan pelajari dari setiap fenomena yang
terjadi, sehingga menjadi inspirasi untuk menetapkan sebuah kebijakan yang
mampu mengubah sistem pendidikan yang mencerdaskan, kritis, dan adaptatif di
berbagai ruang dan waktu.
Melangkah penuh dengan kepercayaan diri, dengan dibekali banyak
pengalaman tentunya menjadi modal utama dalam menerapkan sebuah sistem
pendidikan yang modern, tetapi tidak melupakan kekayan lokal, dalam arti tidak
meninggalkan keilmuan yang ditekuni sebelumnya. Elaborasi dan kolaborasi
keilmuan tentunya menjadi kajian yang menarik untuk dikaji secara mendalam,
bagaimana sebuah lembaga pendidikan Islam, seperti Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah mampu mengintegrasikannya yang kini tengah berjalan, di
tengah-tengah arus perdebatan kalangan, baik kalangan mahasiswa maupun
kalangan intelektual (para dosen/pengajar).3
Arus dinamika perdebatan dalam mengkaji integrasi keilmuan sudah banter
dilakukan di berbagai forum, di mana banyak bermain pada ranah asumsi atau
praduga yang tentunya belum terbukti dalam arti konsekuensi negatif dari proses
integrasi keilmuan. Kekhawatiran dan ketakutan itulah yang menjadi aspek
timbulnya perdebatan yang tanpa ujung, selain itu perdebatan sebagai akibat belum
sinergisnya dalam memahami konsep “Integrasi Keilmuan” itu sendiri. Proses
perdebatan tersebut, tidaklah mengendorkan vitalitas ruh para pimpinan Sekolah
Pascasarjana untuk terus bergelut dan berjuang dalam memperjuangkan sebuah
proses pendidikan yang benar-benar memperdayakan akan kemampuan atau potensi
dari mahasiswa secara totalitas dan komprehensif. Itulah yang kini, terlihat
bagaimana proses dalam pengajarannya berbeda, salah satunya dengan jumlah team
teachingnya lebih dari 3−6 dosen dari berbagai latar pendidikan yang berbeda. Hal
tersebut, dimaksudkan agar para mahasiswa (Sekolah Pascasarjana) mendapatkan
wawasan yang lebih komprehensif, holistik, dan integratif, dalam mengembangkan
researchnya maupun pandangannya, dalam melihat dunia yang lebih luas dan
dinamis dari berbagai pendekatan atau perspektif.
merupakan tahapan untuk menjadikan kampus UIN-Syarif Hidayatullah, untuk berkancah di dunia
internasional, melalui karya-karya ilmiah yang layak dibaca dunia. Atribut dari konsep tersebut,
terpanpang di setiap sudut sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah, untuk selalu mengingatkan
pada seluruh sivitas akademika, sehingga diharapkan setiap sivitas akademika mampu
mewujudkannya secara bersama-sama.
3Sistem perkualiahan dengan segala isi dalam kurikulumnya, terus menjadi bahan perdebatan
di kalangan dosen, banyak yang mengatakan bahwa kurikulum ini, tidak berstandar atau istilahistilah
lainnya, yang lebih bersifat sinis. Itulah realitas yang ada, ketika saya selalu mendengar, baik
di dalam kelas maupun di luar kelas, tetapi tidak semua mengungkapkan statement tersebut, ada yang
mengakui maupun menganggumi cara berpikir Prof. Suwito.
Ucapan Selamat dan Komentar
262 | Mungkin Segalanya Mungkin
Secara umum, proses belajar dan mengajar yang telah berjalan di dalam
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, berbeda dengan lembaga
pendidikan yang lain, bahkan satu-satunya Universitas Islam yang pertama di
Indonesia. Perbedaan tersebut, sebuah akumulasi dari buah pemikiran yang panjang
dan melelahkan yang tentunya sudah melalui pemahamannya (Prof. Suwito), dalam
hakikat dari pendidikan itu sendiri, selain itu sebagai respon dari sistem pendidikan
yang menjenuhkan atau membosankan. Banyak strategi yang dilakukan untuk
menambal kelemahan dalam proses belajar mengajar tersebut, salah satunya dengan
mengubah sistem dan kurikulum pendidikan yang lebih bervariasi serta sesuai
dengan kebutuhan masing-masing mahasiswa. Selama ini sistem pendidikan
Indonesia hanya mengacu pada keberhasilan dari nilai akhir yang diperoleh tanpa
melihat dimensi atau potensi lain yang dimiliki seorang siswa atau ijasah seorang
sarjana. Perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik ke desentralistik menjadi
langkah untuk mengubah image dan menghargai potensi mahasiswa yang ada untuk
lebih dikembangkan dalam mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang global
dan demokratis.4
Ada beberapa konseptual wacana implementatif yang tengah dan telah
dibangun, yaitu “Membaca Dunia, Dibaca Dunia” inilah wacana yang diharapkan
mampu mengetengahkan sebuah perjalanan intelektualitas yang bermakna dalam
memberikan warna-warni dunia karya ilmiah yang berkualitas atau berbobot. Dunia
menulis dan dunia publikasi menjadi bagian dari perjalanan dunia intelektual yang
ditunggu-tunggu kontribusinya, sehingga pihak Sekolah Pascasarjana sangat
mendorong para mahasiswa mampu meraihnya dengan maksimal dan optimal. Kini
program tersebut, sudah berjalan beberapa tahun ini, telah membuahkan banyak
karya-karya ilmiah yang dibukukan dan dipublikasikan dengan penerbit yang
diakui, tentunya ini menjadi langkah awal dalam mewujudkan sebuah dunia
akademik yang dinamis dalam khasanah keilmuan yang terus berkembang dan
berubah dari berbagai perspektif. Tentunya itu bukanlah pekerjaan mudah, di mana
sangat dibutuhkan konsistensi dan kesabaran yang tinggi dan besar, terkait
mengubah sebuah paradigma lama menjadi paradigma baru yaitu membuat sebuah
kebijakan yang mengharuskan setiap disertasi menjadi buku yang terpublikasikan
secara layak dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Walaupun demikian,
itu menjadi harapan dan impian besar bagi semua pihak dan tentunya itu akan
menjadi keuntungan tersendiri bagi penulis dan institusinya.5 Itulah harapan dan
4Menurut penuturan Prof. Suwito, bahwa proses pendidikan yang maju dan modern dapat
dilakukan dengan sistem pendidikan yang demokratis, dalam arti setiap mahasiswa bebas berpikir
untuk mengkaji apapun sesuai dengan keahlian atau keilmuan yang ditekuni. Dengan begitu, dalam
proses belajar mengajar, team teaching dengan dosen yang bervariasi latar belakang akademisinya,
sehingga tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Inilah sebuah konsep yang perlu
diimplementasikan dalam mendapatkan atau membangkitkan khasanah keilmuan yang terbuka dan
fleksibel di berbagai ruang dan waktu.
5Menurut Prof. Suwito, gaya pembelajaran yang diterapkan di Sekolah Pascasarna UIN
Jakarta selama ini (2011-2015), pada akhirnya mengarah pada pengembangan maupun keuntungan
diri, di samping peningkatan levelitas akreditasi kampus di mana bekerja. Itulah tujuan yang sengaja
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 263
mimpi Prof. Suwito, walaupun belum dipahami sebagian mahasiswa, terutama yang
belum selesai…
Sekilas Kisah Perjuangan Prof. Suwito, di dalam Sekolah Pascasarjana
Sekilas melihat sejarah dari sisi kehidupan Prof. Suwito (Mertua), tentunya
tidak mudah langsung menebak akan pola atau gaya berpikir beliau yang terus
berubah dan berkembang, terutama bagaimana beliau mampu menerjemahkan,
bahkan memprediksi (seolah seperti “Dukun Pendidikan”), yang memahami
peluang dan tantangan ke depan yang belum terungkap oleh sebagian mahasiswa,
bahkan koleganya, dalam perspektif pendidikan. Gaya atau ritme dinamika
kehidupannya sehari-hari, tidak menunjukkan seorang birokrasi yang selama ini
dipahami bersama, kesederhanaan dan “Apa adanya” merupakan profil hidup
beliau, selama ini. Kedekatan atau keakraban dengan mahasiswa tercermin dari
kenampakan beliau di setiap ruang dan waktu, di mana ketiadaan beliau dalam
beberapa hari menjadi kerinduan sebagian mahasiswa pasca UIN-Jakarta. Hal ini
terbukti ketika beliau pergi ke negeri sebrang “Australia” beberapa hari tahun yang
lalu (2014/2015), sehingga banyak mahasiswa menanyakan ke mana beliau pergi
dan lama tidak terlihat di kampus, inilah sebuah kisah seorang mahasiswa yang
biasa melihat beliau, tiba-tiba tidak terlihat beberapa hari.
Di samping itu, seiring dengan kesibukannya yang luar biasa, beliau masih
bisa menyempatkan untuk selalu ada di kampus tercinta, hanya untuk melayani
mahasiswa, agar supaya dapat belajar dengan nyaman dan terlayani, baik secara
administratif maupun non administratif. Melayani mahasiswa merupakan prinsip
utama beliau, banyak hal-hal yang dirubah dalam rangka mewujudkan layanan yang
maksimal dan optimal secara berkelanjutan.
Di pihak lain, seiring perjalanan waktu, gaya beliau dalam mengubah dan
menggeser pola-pola bentuk atau susunan bangunan Sekolah Pascasarjana telah
menetapkan beliau seorang “Arsitektur Kampus”,6 di mana kampus menjadi hijau,
rapi, dan terasa nyaman, di samping itu terdapat ruang baca dan nulis yang disertai
hotspot atau Wifi untuk mengakses literatur maupun jurnal-jurnal internasional di
berbagai Negara.
Banyak kesan dan pesan yang banyak dikisahkan oleh para mahasiswa
Sekolah Pascasarjana untuk beliau, satu di antaranya kegigihan dan ketekunan
beliau dalam mengubah “Sesuatu” menjadi sebuah paradigma yang selalu ada dan
muncul setiap waktu, serta tentunya berkesan.
Gaya Hidup Prof. Suwito, dalam Bertutur dan Berbahasa
Hampir semua masyarakat akademika belum bisa atau tidak mudah
memetakan gaya berpikir beliau, siapa yang bertemu dan diskusi dengan beliau
kalimat yang selalu terungkap pada setiap mahasiswa adalah “Kehati-hatian”
diciptakan dan dibangun Prof. Suwito, walaupun belum semua pihak memahaminya, secara jernih
dalam menyikapi.
6Seorang arsitek kampus, itulah yang disandangkan oleh para sebagian mahasiswa Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta, pada Prof. Suwito, yang selalu hobi mengubah dan mengatur tata letak
sarana dan prasarana, bahkan ada sebagian mahasiswa yang mengatakan bahwa SPs ini milik Suwito
(Sekolah Pak Suwito/SPs).
Ucapan Selamat dan Komentar
264 | Mungkin Segalanya Mungkin
dalam ungkapan yang keluar dari ucapan di setiap kalimat. Banyak mahasiswa
mengalami kebingungan dalam menangkap atau memahami sebuah makna yang
selalu digunakan, ternyata ada kekeliruan dalam berucap. Sebagai contoh, ada
seorang mahasiswi bertanya dengan gaya bahasa yang berbunyi “Diangkat dan
Disorot”, itulah contoh atau sejenis kalimat ini memang biasa diucapkan dalam
pergaulan sehari-hari, tetapi menurut beliau, kalimat ini ada masalah? Saat itulah
mahasiswi menjadi bingung dan tertegun, sambil berefleksi, apa yang salah dengan
kalimatnya. Di samping itu, kosa kata bahasa dalam percakapan sehari-hari yang
sering digunakan, seperti kalimat “Terpaku”, dan “Menukil”, adalah kalimat kejam
dan sadis menurut beliau, inilah yang selalu menjadi perhatian beliau dalam
menyikapi setiap tata bahasa atau kalimat yang muncul dalam berdiskusi maupun
perkuliahan dalam kelas maupun di luar.
Kejelian dan kekritisan dalam bertutur kata beliau, menjadi sebuah inspirasi
bagi setiap mahasiswa dalam percakapan dan menjadi bahan evaluasi diri maupun
refleksi, ternyata setiap kalimat yang biasa dipakai sehari-hari ada kekeliruannya
dalam penggunaan.
Berbeda dan Berkualitas, dalam Arus Kejenuhan Akademisi, dalam
Pemikiran Prof. Suwito
Seakan sudah menjadi prinsip hidup dalam menjalankan sebuah perubahan
yang terus dikembangkan oleh Prof. Suwito di dalam lembaga atau institusinya, di
mana banyak hal-hal baru yang tentunya menjadi cermin bagi semua akademisi.
Secara kasat mata banyak terlihat perubahan-perubahan di dalam Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, baik dari sarana dan prasarananya maupun
dari sumber daya manusianya,7 yang terus dikembangkan dalam mencapai sebuah
lembaga pendidikan yang berkualitas. Itulah langkah-langkah yang ingin dicapai
dalam sebuah lembaga pendidikan yang tidak hanya dikenal dalam negeri, tetapi
luar negeri, sehingga tahap demi tahap segala persiapannya telah dilakukan dan
dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Perubahan-perubahan yang
diwacanakan oleh Prof. Suwito tidak hanya sekedar wacana atau isu saja, tetapi
menjadi agendanya setiap kinerja dalam mengembangkan sebuah lembaga
pendidikan yang dinamis dalam kiprahnya. Kinerja yang luar biasa tersebut,
tercermin dari agenda yang telah dibuatnya setiap bulan dimana setiap hari ada
7Pemberdayaan para dosen dalam arti mengajak atau mengundang sebagai pengajar di
Sekolah Pascasarjana, dari berbagai universitas dan latar pendidikan yang berbeda, yang tentunya
disesuaikan dengan kebutuhan para mahasiswa terus dilakukan. Di samping itu memberikan banyak
kesempatan kepada mahasiswa untuk terus berkarya baik di dalam kampus maupun di luar kampus,
baik dalam acara seminar, penelitian, dan sebagainya. Itulah yang diharapkan pihak Sekolah
Pascasarjana kepada para mahasiswa maupun kolega dan para staff yang ada. Oleh karena itu ada
istilah 1. Berita sekolah, 2. Berita alumni, 3. Berita prestasi dan sebagainya. Itu semua sebagai cermin
nyata bagaimana Prof. Suwito terus mencoba mengembangkannya, walaupun itu sangat sederhana,
tetapi kalau dipahami ternyata membawa banyak manfaatnya. Banyak para alumni dari Sekolah
Pascasarjana yang sudah menjabat di berbagai institusi atau lembaga pendidikan mencoba
mengadopsi dan menerapkan model atau pola yang dibangun oleh Prof. Suwito dan masih banyak lagi
yang mungkin belum banyak ditangkap dan dicerna oleh para koleganya akan misi dan visi ke
depannya, tetapi pada intinya dinamika perubahan dari berbagai ruang dan waktu, seakan menjadi
prinsip dan keteguhan seorang jiwa pendidik yang mungkin belum banyak ada di Indonesia.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 265
sesuatu yang dilakukan untuk mengarah pada perubahan yang dibutuhkan semua
akademika, sehingga tidak hanya para dosen, tetapi juga para karyawan dan
mahasiswa. Penjadwalan kinerja yang tercipta dari agenda tersebut, bagian dari
proses evaluasi dan konsistensi dalam mentargetkan tujuan yang hendak dicapai,
selain itu sebagai komitmen atau pedoman setiap karyawan dalam menjalankan
sebuah visi dan misi di setiap derap dalam perjalanan menghidupkan sinergitas
dalam manajemen kerja yang menghidupkan dan dinamis.
Monotonitas dalam dunia akademisi maupun dunia kerja telah merenggut
dinamika inspirasi dan kreatifitas, yang
kini mengarah pada matinya dunia
inovatif dan kreatifitas, terutama dalam
menghasilkan karya yang
menghidupkan dunia akademisi.
Berkarya tidak hanya dalam bentuk
karya ilmiah, tetapi karya non ilmiah
dalam arti mampu menciptakan atau
memecahkan rasa jenuh dalam
monotonitas dalam kehidupan seharihari,
hal tersebut tercermin dari gaya
hidup yang dilakukan Prof. Suwito
dalam kehidupannya. Sejauh ini,
adakah Prof. Suwito lainnya, yang
diharapkan mampu memecah dan
mencerahkan dunia akademisi yang
penuh warna-warni ini? Itulah sebuah
tantangan yang perlu diadopsi dan
diasimilasi dalam mengembangkan
sebuah model atau pola yang
diimplementasikan oleh Prof. Suwito,
baik didalam dunia akademisi maupun
non akademisi.
Kesederhanaan dalam Berpikir, Tetapi Berdaya Nasional dan Mengglobal
Pribadi yang mendekati sesosok manusia yang “Tasawuf” atau sudah tidak
berpikir hanya duniawi dan mempunyai integritas tinggi dalam menjunjung dunia
akademik. Itulah salah satu argumen Dr. Waki,8 ketika menilai kepribadian Prof.
Suwito, di mana beliau sangatlah sederhana bukan sederhana dalam tatanan
kehidupannya, tetapi juga cara berpikirnya. Walaupun begitu, mampu memberikan
implikasi besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan dunia akademik, seperti
dunia akademik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, di
mana menjadi tempat bakti dan nafas hidupnya. Di samping itu, hampir seluruh
pemikirannya, habis digunakan untuk menumbuh-kembangkan irama kampus
8Dr. Waki MA, Seorang Alumni UIN-Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang sekarang sebagai
Staff Pengajar di salah satu perguruan tinggi Islam yaitu STAIT-Modern Sahid, Bogor, yang
diungkapkan beberapa tahun lalu, 2015.
Ucapan Selamat dan Komentar
266 | Mungkin Segalanya Mungkin
tersebut, secara komprehensif, konsisten dan integratif, tanpa tendensi keduniawian.
Konsistensi label kepribadian Prof. Suwito tersebut, tidak sekedar wacana, tetapi riil
dapat dilihat di dunia nyata, bagaimana kisah kehidupannya, yang dapat menjadi
panutan maupun catatan hidup bagi generasi selanjutnya.
Di samping itu, Prof. Suwito, dianggap sebagian masyarakat akademisi bisa
sebagai lawan maupun kawan dalam berpikir, tetapi beliau tidak banyak berdebat,
yang beliau utamakan adalah bekerja dengan baik dan penuh tanggungjawab.
AKHIR KATA DAN UNGKAPAN TERIMA KASIH
Kompilasi refleksi maupun pandangan hidup bersama Prof. Suwito, yang
disertai argumentasi di atas, merupakan bagian dari kisah sisi-sisi kehidupan Prof.
Suwito (Mertua), yang saya kenal dan pahami selama ini. Di samping itu, masih
banyak kisah kehidupannya, yang belum banyak saya dapatkan, walaupun begitu,
ini menjadi bukti empiris yang dapat saya ungkapkan dalam tulisan ini. Mudahmudahan
ini menjadi wahana pembelajaran bersama, dengan sedikit catatan-catatan
yang tergores dalam kertas ini, mengenai sisi kehidupan Prof. Suwito, yang saya
kira masih perlu dieksplorasi, karena masih banyak bayangan hidupnya yang belum
terungkap.
Ada sedikit refleksi dan evaluasi kehidupan yang dapat saya ungkapkan,
selama hidup dengan Prof. Suwito (Mertua), kurang lebih 4 tahun lebih, yang
ternyata memberikan makna dan kekayaan hidup yang luar biasa bagiku untuk
memahami dan menjalankan kehidupan bersama dua bidadariku yaitu istri (Aufa
Fitria) dan anakku (Nawal Albina), sebagai berikut;
Ulasan Refleksi Hidupku Bersama Ayah (Mertua), Prof. Suwito
Prof. Dr. Suwito sesosok ayah (mertua), yang memiliki banyak sisi
kehidupan, seperti nilai-nilai kearifan maupun kebijakan hidup yang penting, untuk
kujadikan kompas dalam mengarungi kehidupan ku, bersama istri, dan anakku di
masa depan. Sabar, Mengalah, dan selalu optimisme yang selalu kucoba pahami dan
lakukan di tengah-tengah kehidupanku dan istriku dalam dinamika keluarga besar
ini, yang tentunya memiliki beragam dimensi tatanan kehidupan yang berbeda-beda
(perhatian dan perlakuannya). Di pihak lain, saya melihat, bagaimana bersabarnya
seorang ayah (mertua) baik di dalam keluarga maupun di dalam bekerja, dari situlah
saya memahami, bahwa kesabaran dan kemandirian dalam hidup akan
menghantarkan kekuatan dan ketahanan hidup di masa depan.
Terima kasih ayahku (mertua), secara tidak langsung telah memberikan
gambaran hidup untuk menjadi pedoman hidupku bersama istriku untuk dapat
merajut masa depan yang baik dan penuh barokah. Setiap langkah-langkahmu
(ayah), akan kami coba pahami dan terapkan dalam kehidupan kami, di masa kini
dan ke depan, walaupun dengan keterbatasan yang kami miliki, baik secara materi
maupun non-materi. Pada akhirnya saya menyadari, bahwa harta bukanlah segalagalanya,
tetapi kebersamaan hati kami (istri dan anakku) akan terus mengisi
kekayaan hidupku, saya berharap dengan sisa-sisa kehidupan ayah yang berharga
ini, saya berharap dapat terus belajar sama ayah, walaupun secara tidak langsung,
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 267
baik secara akademik maupun non akademik. Di samping itu, kelulusan Doktor ku
mudah-mudahan menjadi kebahagian dan rasa syukur bersama, yaitu keluarga
besarku di Jawa (bapak, ibu, dan adiku-adikku), kemudian terutama pada ayah dan
ibu (mertua), serta mudah-mudahan bisa diikuti adik-adik maupun saudarasaudaraku
di kemudian hari, yang saya sadari bahwa kebahagian hidup bisa diraih
dengan ilmu, walaupun dengan tertatih-tatih dengan waktu yang cukup panjang.
Rangkaian kata-kata ayah, yang saya coba rangkum dalam tulisan ini menjadi
bukti nyata hidupku, bahwa keberadaan ayah (mertua) menjadi inspirasiku dalam
merajut masa depan kami, walaupun saya belum bisa mengimplementasikannya
secara optimal saat ini. “Jangan cepat-cepat menjadi Kaya” dan“Pertimbangkan
dulu, sebelum melangkah jauh”, serta ungkapan kata-kata bijak lainnya, yang
belum disebutkan dalam tulisan ini. Itulah rangkaian kata-kata ayah yang selalu
menjadi kamus hidupku kini dan ke depan, yang akan kami gunakan, ketika
dihadapkan dengan lika-liku kehidupan yang penuh pilihan. Di samping itu,
kesederhanaan hidup ayah, seperti “Apa adanya”, terutama dalam meja makan,
yang sudah berprinsip pada diri ayah akan terus kami pahami dan implementasikan
dalam tatanan nuansa keluarga kecilku yaitu bersama istri dan anak.
SUWITO SOSOK PEKERJA KERAS DAN ULET
Drs. H. Nur Salim Basri
(Kawan ketika di PGAN Kudus/Kepala MTsN Bawu Pecangaan Jepara Jateng)
Perkenalanku dengan Suwito
Tahun 1969 saya bersama-sama
teman dari SDI Tarsyidutthullab
Singocandi Kudus mengikuti ujian negara
bertempat di SD Muhammadiyah Kudus
yang kebetulan bersamaan dengan temanteman
dari SD Aisyiyah yang salah satu
muridnya Suwito. Pertemuanku awal
dengannya berlanjut sampai masuk PGAN
6 tahun Kudus sampai akhir kelulusan
tahun 1975. Hubungan pertemanan baik di
sekolah atau di luar sekolah selalu terjalin
dengan baik. Di sekolah pernah masuk
kepengurusan OSIS, saya (Nur Salim)
Ketuanya sedang Suwito sebagai Bendahara. Di luar sekolah kami sering belajar
bersama, jagong/ngobrol (berbicara), bahkan bermain bersama (nonton bioskop).
Dia juga sering sekali main ke rumahku, sebaliknya saya beberapa kali main ke
rumahnya (Sukolilo Pati) bahkan juga pernah bersepeda lewat Undaan Kudus
dengan kondisi jalan desa yang belum beraspal. Sesekali harus memikul sepeda
karena menyeberang sungai. Di desanya suatu saat saya diajak masuk goa yang
Ucapan Selamat dan Komentar
268 | Mungkin Segalanya Mungkin
cukup dalam sampai harus pakai oncor (lampu minyak tanah dengan bambu) di
dalamnya (goa) ada mata air dan lubang masuk ke dalam, konon ceritanya pernah
dimasuki orang selama sekitar 40 hari sampai di Prawoto.
Suwito Pekerja Keras, Tekun, Ulet, dan Pintar
Di awal pertemuanku dia terkesan anak pandai, disiplin dan tegas serta supel.
Ini terlihat dari cara berpakain, berbicara dan bergaul (ternyata memang betul). Dia
tidak membedakan teman, baik yang kaya atau miskin dan ma’af yang saya tahu dia
dari kalangan keluarga biasa, karena saat itu ayahnya Mbah Rakiyo sudah usia
sepuh sedang ibunya Mbah Rasemi seorang tukang pijat bayi, namun dengan
semangat tinggi untuk mencapai kesuksesan. Dia tidak putus asa dan terus berjuang
untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Seingat saya waktu sudah di Jakarta sekitar
tahun 1975/1976 dia mandiri membiayai hidup dengan membuka biro jasa
pengetikan dan usaha lain.
Di luar kegiatan sekolah di siang/sore hari dia merangkap sekolah diniyah di
Ma’ahid. Saat itu bertempat tinggal/di pondok Pak Syu’aib (alm). Di malam hari
juga sering ngobrol di perempatan Sucen (kaki lima) Kang Tarhan dan kadangkadang
ditemani Kang Surip.
Dia orangnya percaya diri (tidak malu-malu) dengan siapa saja biasa (ma’af)
juga sering makan bersama di tempatku, yang jelas seperti keluarga sendiri. Di
sekolah pun aku selalu bersama, sering teman-teman menyebutnya 3 bersaudara
(Wito, Nur dan Marno). Dia orangnya sibuk/penuh kegiatan dibuktikan dengan
masuknya di kepengurusan PII Daerah Kudus (Ketua) dan masih banyak lagi.
Tahun 1975 selesailah sekolah kami, kemudian sama-sama ingin melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kebetulan saya dan dia meneruskan di
IAIN, hanya saja berbeda perguruan tinggi dan tempat. Saya di IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta (sekarang UIN Yogyakarta); sedang Suwito di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Praktis hubungan
terpisah, namun sekali-kali kami kirim kabar/informasi. Pada tahun 1992, dia
muncul lagi di tempatku Temon Kulon Progo Yogyakarta sempat nginap
(bermalam) beberapa hari dalam rangka penyelesaian program S-3/Doktor. Suwito
mencari referensi/buku-buku rujukan yang terkait dengan sejarah. Lagi-lagi saya
bersama-sama dia mencari buku-buku yang dimaksud itu di shopping center
Yogyakarta. Dengan modal ketekunan, akhirnya dia mampu menyelesaikan
disertasinya dan memperoleh gelar Doktor. Tidak lama kemudian saya dapat
informasi sudah berhasil lagi menjadi Profesor. Untuk itu saya merasa bangga dan
bahagia. Seorang Suwito sudah sukses bergelar Prof. Dr. Suwito, M.A. dan
sekaligus sebagai dosen Pascasarjana.
Akhirnya, saya hanya bisa berdo’a semoga ilmunya bermanfaat bagi dirinya,
keluarga dan orang lain, amin ya mujibassailin.
Kudus, 3 September 2015
E-mail: nursalim_baq@yahoo.com
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 269
SUWITO YANG SAYA KENAL
Dr. Muhammad Tasrifin, S.H., M.H., M.M., CHCM.
(Kawan ketika di PII Kudus/Ketua Pusdiklat Manajemen Masjid Indonesia (MMI),
Ketua Devisi Hukum Majlis Hukum dan HAM PWM Jawa Timur dan Wakil Ketua
KADIN Sidoarjo)
Pendahuluan
Suwito dilahirkan di Sukolilo Pati, 7
Maret 1956 (maaf kalau salah), kami
berteman antara tahun 1970 – 1974. Waktu
itu Suwito sekolah di Pendidikan Guru
Agama Negeri (PGAN) Kudus; sedangkan
saya sekolah di SMA Negeri Kudus.
Suwito sebaya dengan saya, saya pun lahir
tahun 1956 (dua bulan saya lebih tua).
Sepertinya kami berdua ada kecocokan
dalam berbagai hal. Itulah yang
menyebabkan ada kesamaan pola pikir dan
aktivitas. Kami sejak muda sudah menjadi
aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII)
Pengurus Daerah Kudus. Waktu itu saya menjadi Ketua Umum sedangkan Suwito
menjadi Sekretaris Umum. Pengalaman berorganisasi inilah yang menyebabkan
kami berdua mempunyai kemampuan soft skill dan kami membuktikan bahwa
berorganisasi tidak sama sekali tidak akan menghambat sukses studi, terbukti di
masa tua ini kami berdua selain sukses karier juga sukses secara akademik.
Suwito yang Saya Kenal
Pertemanan dan persaudaraan saya dengan Suwito muda sungguh sangat
berkesan mendalam, apalagi setelah kami berdua menjadi Ketua Umum dan
Sekretaris Umum Pelajar Islam Indonesia Pengurus Daerah Kudus Jawa Tengah,
pertemuan menjadi bertambah akrab. Kami dan beberapa teman waktu libur sering
berkunjung ke rumah Suwito muda berombongan naik sepeda pancal (ontel)
menuju Sukolilo Kabupaten Pati yang jaraknya kurang lebih 35 km dari Kudus.
Waktu itu senang-senang saja. Rasanya kembali ingin mengulang nostalgia masa
muda. Kecapekan saya dan kawan-kawan menjadi terobati ketika malam hari dipijit
oleh ibundanya Suwito muda. Ya benar Ibundanya Suwito adalah seorang dukun
pijat yang luar biasa bisa mengantarkan Suwito sukses menjadi Suwito sekarang ini
Prof. Dr. Suwito, M.A.
Tidak jarang karena kecapekan saya dan kawan-kawan sesampainya di rumah
Suwito muda yang sangat dekat dengan Pegunungan Kapur Utara dan hutan jati
sering diajak jalan-jalan menyusuri hutan sesekali sambil memanen mentimun. Itu
yang masih terekam dalam memori pikiran saya.
Ucapan Selamat dan Komentar
270 | Mungkin Segalanya Mungkin
Tahun 1975 selepas saya lulus SMA Negeri Kudus saya meneruskan kuliah
di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jogjakarta. Estafet kepemimpinan
Pelajar Islam Indonesia (PII) Kudus dipegang oleh Suwito menjadi Ketua Umum.
Kecintaan Suwito muda pada keilmuan sudah terlihat, sehingga ia selalu titip
dibelikan buku. Seingat saya buku yang pernah dipesannya antara lain: Risalah
Tauhid, Wahabi, Himpunan Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Al-Qur’an ukuran
kecil yang kasat mata sulit untuk dibaca kecuali oleh para hafid atau penghafal Al-
Qur’an. Luar biasa sahib saya yang satu ini, buku-buku tersebut sekelas mahasiswa
saja belum tentu pernah membaca atau memiliki buku tersebut. Seingat saya waktu
itu Suwito kelas 6 PGAN Kudus, Bahkan kalau kangen tidak jarang Suwito muda
bertandang ke Jogjakarta melepaskan kerinduan saya, sambil saya kenalkan dengan
teman-teman saya di Kator PW.PII Jogjakarta Besar.
Pertemuan di Jakarta
Setelah saya lulus dan bekerja di Jakarta, ketemu dengan Drs. Suwito, yang
waktu itu tinggal di Ciputat dan kalau tidak salah istrinya mengelola Taman Kanak-
Kanak, sedangkan saya tinggal di Ciledug Tangerang. Pernah suatu saat Drs.Suwito
kami undang untuk menjadi Khotib Shalat Idul Adha di Lapangan Perumahan
Pinang Griya Permai Ciledug Tangerang.
Drs Suwito memang tidak bisa diam. Saya melihat beliau mengelola Balai
Latihan Kerja Muhammadiyah Ciputat, yang mendidik keterampilan anak-anak
muda dalam berbagai bidang.
Awal 1990 saya pindah ke Surabaya dan terjadi loss contact dengan Drs.
Suwito dan sejak itu tidak pernah kontak sama sekali. Kurang lebih 3 tahun yang
lalu saya dihubungi Prof, Dr. Ir. Shalahuddin (Mantan Warek UNS Solo) dan
diberilah nomor ponsel Prof. Dr. Suwito, M.A. Yang telah menjai Guru Besar di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya, Prof. Dr. Suwito, M.A. dan Prof. Dr. Ir.
Shalahuddin adalah teman-teman Pelajar Islam Indonesia Kudus yang telah sukses
secara akademis, meski saya saya belum Guru Besar tentu sangat senang
menyaksikan teman-teman remajaku.
Khotimah
Saya sekeluarga mengucapkan selamat Milad ke-60 kepada saudaraku Prof.
Dr. Suwito, M.A., semoga Allah selalu mencurahkan keberkahan-Nya. Jangan lupa
selalu doakan Bapak dan Ibumu yang telah mengantarkanmu menjadi seperti
sekarang ini.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 271
KAK WITO ORANG MISKIN YANG SUKSES
H. Antasa Suryana
(Kawan ketika di IMM/Kepala SMPN 2 Tangerang Selatan)
Saya kenal Kak Wito sejak masuk
kuliah di IAIN Jakarta. Kebetulan samasama
aktif di Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat.
Kak Wito itu orangnya cerdas, terampil
dan memiliki etos kerja tinggi, pandai
bergaul dan bisa bergaul dengan siapa pun
tanpa membedakan latar belakang
seseorang. Karena kepandaian bahasa
Arabnya, saya banyak belajar dengannya
terutama menjelang ujian semester, karena
maklum saya sangat lemah dalam bahasa
Arab. Sekitar tahun 1978, saya bersama
Kak Wito, Kak Din Syamsuddin, Kak Nandi Rahman, Kak M. Ma’rifat Iman, Kak
Kapti Khusnani, dan kawan-kawan lainnya mengadakan acara Muria Camping
Pramuka Gudep K.H.. Ahmad Dahlan di kaki gunung Muria Kudus. Saat acara itu,
saya bersama Kak Nandi Rahman malam-malam diajak mampir ke rumah Kak Wito
di Sukolilo Pati. Dari situ saya menjadi tahu tentang latar belakang ekonomi orang
tuanya. Meskipun hanya semalam saja berkenalan dengan kedua orang tuanya, saya
berani mengungkapkan bahwa ayahnya sudah sangat tua, tak bisa bicara bahasa
Indonesia, dan tak lagi berpenghasilan; sedangkan ibundanya sudah tua, tapi masih
agak gesit dan masih bisa beraktivitas. Pekerjaan keseharian ibu Kak Wito yang
saya sempat tahu adalah sebagai penolong bagi setiap ibu yang akan melahirkan
atau bahasa akrabnya di kampung saya sebagai dukun beranak. Penghasilan yang
diperoleh ibu Kak Wito setiap kali menolong orang yang melahirkan paling hanya
beberapa liter beras saja berikut harus menolong memandikan sang bayi dan berikut
merawat sang ibu bayi.
Bila melihat keberhasilan dan kesuksesan yang diraih Kak Wito mulai bisa
melanjutkan sekolah ke SLTA, sampai kuliah Perguruan Tinggi dari mulai Sarjana
Muda, Sarjana , S-2 , S-3 dan sampai mendapatkan gelar Professor adalah sesuatu
yang sangat menakjubkan dan fantastis. Bagaimana tidak, tanpa dukungan ekonomi
orang tua, Kak Wito bisa berhasil dalam mengarungi perjalanan pendidikannya.
Yang menjadi catatan penting buat saya ka Wito itu semasa kuliah dan berteman
bahkan sempat juga se rumah di kontrakan nggak pernah mengeluh tentang
kesulitan hidupnya. Untuk mencukupi kebutuhan kuliah dan sehari-hari, Kak Wito
hanya mengandalkan tekad, kerja keras dan prihatin. Dia memberikan les-les dari
rumah ke rumah. Sebagai contoh yang tak bisa saya lupakan Kak Wito itu tak
peduli dengan glamor orang di sekitarnya, ia tetap mengais sepeda murahnya ke
Ucapan Selamat dan Komentar
272 | Mungkin Segalanya Mungkin
manapun pergi sampai sudah menjadi dosen sekalipun. Sifat dan karakter kerja
keras, disiplin dan kesahajaan ini yang saya tak bisa lupakan terhadap Kak Wito.
MAS WITO TEKUN DAN TERAMPIL
Nandi Rahman
(Kawan ketika di IMM/Dosen UHAMKA Jakarta)
Mentari yang terbit pagi ini,
menyampaikan salam pada sahabatku.
Sudah enam puluh tahun sahabatku
menapaki kehidupan ini, dan insya Allah
masih ada puncak-puncak tangga yang
belum sahabatku singgahi. Oleh karena itu,
teruslah berjalan, melangkah dan menapak
sampai ke garis batas. Kita akan bercerita
tentang cinta dan hidup saudaraku. Selamat
milad sahabatku, selamat ulang tahun,
selamat panjang umur. Semoga berkah
rahmat Ilahi selalu melimpahi perjuangan
saudaraku. Amin.
Ucapan tahniah di atas, saya terima dari sahabat saya pada saat saya berusia
50 tahun, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dan sebagai tanda rasa syukur saya
kepada Allah Subhanahu Wata’ala, ucapan yang sama saya sampaikan kepada
sahabatku, sekaligus sebagai ucapan terima kasih atas diberikan kesempatan oleh
sahabatku untuk menyumbangkan coretan kenangan pada hari yang sangat
mengesankan, yakni sahabatku genap berusia 60 tahun pada tahun 2016, tepatnya
pada tanggal 7 Maret 2016.
Dalam kesempatan yang baik ini, saya atas nama pribadi dan keluarga sekali
lagi mengucapkan selamat milad keenam puluh dengan iringan doa yang tulus
semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa memberikan kesehatan, keselamatan,
kekuatan lahir dan bathin serta ridlaNya kepada saudaraku dalam mengemban
amanah hidup dan kehidupan ini.
Bagi saya, Prof. Dr. H. Suwito adalah seorang sosok dan figur yang saya
kenal sejak 40 tahun yang silam, yakni ketika kami bertemu dalam satu almamater
di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan lebih spesifik ketika kami sama-sama
sebagai warga Asrama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat. Mas
Wito berada di kamar 2 dan saya di sebelahnya kamar 3. Pada saat awal pertemuan,
Mas Wito adalah teman sebagai sesama mahasiswa di IAIN dan anggota di IMM.
Kami saling bersama membina diri, dan membina adik-adik calon mahasiswa (ikut
bimbingan tes) dan membina dalam acara Masa Kasih Sayang (Makasa), Kursus
Reguler dan Darul Arqam Dasar (DAD) di IMM . Di samping sebagai teman, saya
banyak belajar dari Mas Wito, baik masalah pribadi, keluarga dan keterampilan
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 273
dalam berbagai kegiatan, bahkan Mas Wito pernah menjadi Dosen saya pada saat
saya kuliah di S-2 Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan pada saat saya kuliah di
S-3 UIN Jakarta. Mas Wito menjadi salah seorang Pimpinan di Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN tersebut.
Gombloh
Bagi anggota IMM Cabang Ciputat, angkatan tahun 1976, istilah “Gombloh”
adalah ucapan yang sering dilontarkan Mas Wito pada saat Makasa, kegiatan
penerimaan calon anggota baru Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang sekarang
dinamakan Masa Ta’aruf Mahasiswa (Masta’ma), Kursus Reguler maupun Darul
Arqam Dasar. Ucapan tersebut keluar, baik untuk peserta yang berprestasi maupun
yang melakukan kesalahan. Iya begitulah Mas Wito, dengan gayanya yang sedikit
kocak, mengungkapkan “gombloh”, dan itu menjadi trade mark-nya Mas Wito.
Mungkin, salah satu bentuk “gombloh” yang dilakukan Mas Wito adalah menulis
Buku tentang dirinya pada saat memasuki usia 60 tahun, yang biasanya dilakukan
oleh para tokoh lainnya, bila mereka memasuki usia 70 tahun seperti Buya Syafi’i
Ma’arif dan Bapak HM Suwardi. Memang ada tokoh lain menulis buku otobiografi
pada saat usia 65 tahun seperti Bapak HS. Prodjokusumo.
Selama menjadi anggota IMM Cabang Ciputat, Mas Wito banyak
memberikan berbagai kontribusinya, baik yang bersifat pemikiran-pemikiran dan
ide-ide, tenaga dan keterampilan tertentu. Satu contoh keterampilan yang diajarkan
Mas Wito adalah memperbanyak surat atau makalah tanpa menggunakan mesin
sheet, tapi membuatnya dengan alat yang sangat sederhana, seperti melakukan
sablon secara manual.
Teman satu angkatan pada tahun 1976 yang dikenal dengan Ciloto’s Grup
(karena kegiatan DAD pada tahun tersebut diselenggarakan di Ciloto) antara lain M.
Din Syamsuddin (Fakultas Ushuluddin), Suwito (Fakultas Tarbiyah), Guspardi
Gaus (Fakultas Syariah), Firmansyah Langkisau (Fakultas Tarbiyah), Burhanuddin
Yusuf (Fakultas Syariah), Nandi Rahman (Fakultas Tarbiyah), M. Ma’rifat Iman
KH (Fakultas Syariah), Antasa Suryana Noor (Fakultas Tarbiyah), Ida Farida
(Fakultas Syariah), Syamsidar (Fakultas Tarbiyah), dan Nilfa Yetty Tanjung
(Fakultas Tarbiyah, 5 tahun kemudian dinikahi oleh Mas Wito). Itulah beberapa
nama satu angkatan di IMM Ciputat yang sempat teringat ketika menulis ciloteh
menyambut milad ke 60 Mas Wito. Mohon maaf, bila beberapa nama tidak
tercantum, karena anggota Ciloto’s Grup itu ada 35 orang.
Jadi Pembina Pramuka
Ada satu kegiatan yang baru saya tekuni secara serius adalah menjadi
anggota pramuka. Setelah melihat sahabat saya, Mas Wito dan kawan-kawan yang
lain seperti Kak Hadjid Harnawidagda, Kak Asmizar Adam, Kak M. Din
Syamsuddin, Kak M. Ma’rifat Iman KH, Kak Antasa suryana, Kak Safari,
melakukan kegiatan pramuka di Gudep 0507-0508 KHA Dahlan di Perguruan
Ucapan Selamat dan Komentar
274 | Mungkin Segalanya Mungkin
Muhammadiyah Ciputat, saya dan almarhum kak Firmansyah, bertanya, “Apa saya
boleh ikut kegiatan pramuka?” Lalu mereka menjawab, “Boleh dan silakan
bergabung”, lalu saya bertanya lagi “Ikut kegiatan apa, sebagai Siaga, Penggalang
atau Penegak?” karena jujur saya pada waktu sekolah tidak pernah menekuni
kegiatan kepramukaan ini. Jadi, tidak punya ilmu dan keterampilan kepramukaan.
Mereka menjawab “Langsung saja jadi Pembina”. Akhirnya, saya belajar
kepramukaan sambil melatih anak didik pramuka (andika). Ketika ada kegiatan
Mahir Dasar di Sawangan Bogor, saya dan beberapa teman mengikutinya dan
akhirnya saya menjadi Kakak Pembina Pramuka, berkat dorongan dari Kak Wito
dan kawan-kawan.
Mas Wito Menikah dalam usia 25 tahun, “Mengikuti Sunnah Rasul”
Pertengahan Desember tahun 1980, Mas Wito yang berasal dari Sukolilo Pati
Jawa Tengah mempersunting teman satu angkatan, Nilfa Yetty Tanjung, yang
berasal dari Sibolga Sumatera Utara. Keduanya aktivis IMM Ciputat. Pada waktu
itu keduanya masih aktif sebagai mahasiswa, lalu saya sempat bertanya kepada Mas
Wito, “Kenapa masih kuliah sudah menikah?” Jawaban Mas Wito saat itu,
“Rasulullah SAW menikah dalam usia 25 tahun, saya mencoba mengikutinya”.
Waktu itu saya terdiam, karena jujur, saya tidak berani mengambil langkah yang
dilakukannya. Tindakan Mas Wito untuk menikah, saya akui ada baiknya menikah
pada usia tersebut, karena saya menikah pada usia 30 tahun. Ada satu pria lain, yang
ketika menikah saya bertanya hal yang sama walaupun berbeda, yaitu pesuruh
sekolah di SPG Muhammadiyah, tempat saya mengajar, namanya Sukardi, usianya
waktu menikah mungkin sekitar 20 tahun. Saya bertanya kepada Sukardi: “Mas,
kok berani menikah dalam usia muda?” Jawabannya pada saat itu di luar perkiraan
saya, “Pak, saya kan hanya seorang pesuruh, kalau Bapak kan guru. Kalau sebagai
pesuruh, tenaga saya untuk membersihkan dan mengangkat bangku kelas, paling
juga sampai umur 40 tahun. Nah, kalau saya telat menikah, lalu punya anak, saya
nggak sanggup menyekolahkannya”. Jawaban Mas Wito dan mas Kardi waktu itu,
selalu saya ingat, dan keduanya membuktikan kepada saya bahwa keduanya
berhasil dalam membina keluarga dan rumah tangga. Mas Wito yang dikaruniai
anak 3 orang perempuan dan 1 orang laki-laki telah menyelesaikan studi mereka,
bahkan 3 orang sudah berkeluarga. Sementara Sukardi, pada waktu ia mengundang
saya menghadiri pernikahan anaknya, ternyata anaknya sudah tamat S-2. Saya
banyak belajar kepada Mas Wito dan Mas Kardi dalam hal ini.
“Bersepeda”
Sulit bagi saya waktu itu membayangkan kuliah ke kampus IAIN dengan
menggunakan sepeda, dan ini dilakukan oleh Mas Wito. Ia beli sebuah sepeda di
daerah Kota, lalu sepeda itu dikayuhnya sampai Ciputat, dan kendaraan ini ia
gunakan untuk aktivitas sehari-hari, baik ke kampus, ke kantor IMM di Jl. Ibnu Sina
II no 36, ke asrama IMM, ke BPKM (Mas Wito pernah menjadi Direktur Balai
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 275
Pendidikan Keterampilan Muhammadiyah) yang berada di dekat kampus Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STIEAD) sekarang, begitu juga setelah
menjadi tenaga pengajar di IAIN dan UMJ, Mas Wito, tetap menggunakan
sepedanya, bahkan ketika Mas Wito dilantik menjadi Pimpinan salah satu fakultas
di UMJ, Mas Wito mengendarai sepeda memakai pakaian lengkap, berdasi dan
berjas. Saya tidak tahu pasti apakah sampai saat ini, sepeda itu masih ada di
rumahnya atau tidak? Yang jelas, saya juga pernah beberapa kali meminjam sepeda
tersebut, sepeda yang banyak jasanya bagi Mas Wito.
Untuk makan “jangan ngutang”
Suatu hari, saya makan siang di rumah makan “Bundo” yang terletak di
depan kampus IAIN bersama Mas Wito. Pada saat saya bayar sama Ajo Bundo,
Mas Wito bertanya pada saya “Emangnya tadi makan apa saja?” saya jawab “Ya,
biasa saja Mas, emangnya kenapa?” saya balik bertanya. Mas Wito bertanya lagi
“Kok bayarnya banyak amat?”, lalu dengan gamblang dan merasa tidak bersalah
saya jawab “O itu, sekalian bayar makan sebelumnya Mas”. Mas Wito bertanya lagi
“Jadi selama ini, kalau makan tidak bayar?” Saya jawab “Iya mas, selama ini kalau
makan, dan belum ada uang, selesai makan, saya bilang sama Ajo, Jo catat dulu ya”.
Hal yang sama banyak dilakukan oleh para mahasiswa yang sehari-hari makan di
rumah makan Bundo ini. Lalu Mas Wito, bertanya dan sekaligus memberikan
solusi, kata Mas Wito, “Mau nggak bagaimana cara hidup agar kita tidak ngutang
untuk keperluan makan dan minum”, saya jawab “Ya maulah Mas”. Mas Wito
berucap satu kata “Bersedekahlah”. Pada awalnya, saya agak ragu, bagaimana kita
bersedekah, penghasilan sebagai guru di SPG Muhammadiyah tidak cukup untuk
makan dan keperluan sehari-hari, tapi Mas Wito mengingatkan cobalah baca QS. Al
Baqarah: 261. Setelah saya baca dan pahami, ternyata Allah akan melipat gandakan
infaq yang kita lakukan sampai 700 kali, dan mempelajari beberapa hadis dan
tindakan Rasul dalam masalah makan dan minum. Salah satu di antaranya adalah
ketika suatu hari Rasul bertanya kepada Aisyah, “Wahai humairah, adakah
makanan yang bisa kita makan hari ini?”, Aisyah menjawab “Wahai Rasulullah,
persediaan makanan kita sudah habis, jadi tidak ada bahan makanan yang bisa
saya masak”, lalu dengan bijak Rasul mengucapkan, “kalau begitu, kita ber shaum
saja hari ini”. Dari kisah ini, saya menyimpulkan bahwa kalau boleh mengutang
untuk makan, maka Rasul tentu menyuruh Aisyah untuk mengutang bahan makanan
di warung atau di pasar, tapi justru mengajak keluarganya untuk melakukan ibadah
shaum.
Dialog yang terjadi di rumah makan Bundo lebih dari 30 tahun yang lalu,
selalu saya ingat dan amalkan. Saya merasa bahwa rezeki bertambah, sehingga tidak
perlu ngutang untuk sekadar makan atau mninum, termasuk tidak menggunakan
“Kartu Kredit” untuk keperluan makan minum di restoran atau keperluan hidup
sehari-hari bila berbelanja di Supermarket. Dan dialog tersebut juga sering saya
khutbahkan atau ceramahkan dalam berbagai kesempatan, terutama para jama’ah
Ucapan Selamat dan Komentar
276 | Mungkin Segalanya Mungkin
yang sering mengeluh dalam masalah ekonomi. Saya anjurkan untuk
“Bersedekahlah”, sebagaimana dianjurkan Mas Wito waktu itu.
“Tekun dalam Studi”
Satu hal lagi yang dapat saya ungkapkan dalam tulisan 60 tahun Mas Wito,
adalah Mas Wito tekun dalam belajar, rajin membaca dan juga menulis, mungkin
tidak banyak di antara para mahasiswa termasuk dosen yang memiliki ruang
perpustakaan sendiri di rumahnya, sehingga banyak di antara kawan-kawan Mas
Wito datang untuk belajar dan mengkaji ilmu-ilmu. Mas Wito, rajin membaca,
membaca dan membaca, termasuk menulis, menulis dan menulis. Tulisan Mas Wito
sudah banyak, baik dalam bentuk tulisan di jurnal maupun dalam bentuk buku, dan
dengan ketekunan dalam studi Mas Wito berhasil menyelesaikan perkuliahannya di
Sarjana Muda, Sarjana Lengkap, S-2 (Magister) dan S-3 (Doktor), dan ketekunan
Mas Wito dalam belajar telah mengantarkannya untuk meraih Gelar Akademik
tertinggi Guru Besar (Profesor) di almamaternya, sebuah gelar yang diharapkan
oleh setiap orang yang mengajar di Perguruan Tinggi.
“Motivator”
Mas Wito termasuk seorang motivator, yakni selalu mendorong orang untuk
selalu maju, maju dan maju. Ketika UMJ membuka program S-2 Magister Studi
Islam, Mas Wito mengajak kawan-kawan seangkatannya termasuk di atasnya untuk
kuliah lagi, termasuk saya, agar kuliah lagi. Mas Wito dan Azyumardi Azra
mendorong saya untuk melanjutkan studi ke S-2, karena persyaratan untuk menjadi
dosen minimal harus S-2 akan segera diberlakukan, sehingga pada saat dibuka
Program S-2 Magister Studi Islam tahun 1995 di UMJ, mahasiswanya sebagian
besar adalah para dosen dari IAIN sekarang UIN seperti Husni Thoyyar dan Armay
Arif , IKIP Muhammmadiyah Jakarta (sekarang Uhamka) seperti Anwar Abbas,
Zamakhsari, Firmansyah, Oka Gunawan, M. Ma’rifat Iman KH, Nandi Rahman dan
Endang Surahman, Universitas Muhammadiyah Jakarta seperti A. Isa Anshori,
Universitas Ibnu Khaldun seperti E. Bahruddin dan lain-lain. Selesai tingkat
magister, Mas Wito dan Ahmad Dardiri mendorong saya untuk melanjutkan studi
ke S-3 (bahkan Ahmad Dardiri sengaja membelikan Formulir Pendaftaran S-3),
beberapa alumni S-2 Magister Studi Islam UMJ ada yang dapat menyelesaikan dan
meraih gelar Doktor seperti Armay Arif, Anwar Abbas, Oka Gunawan, E.
Bahruddin, Endang Surahman, sementara saya sendiri terhenti pada jelang Proposal
Disertasi dan Ujian Komprehensif, walaupun kakanda Anwar Abbas dan Mas Wito
serta Mas Muhbib Abdul Wahab, selalu mendorong saya untuk menyelesaikannya.
Akhirnya, melalui coretan 60 tahun Mas Wito, saya menyampaikan ucapan
terima kasih kepada isteri Mas Wito, Nilfa, yang telah membantu saya pada
beberapa moment penting, seperti meminjamkan uang untuk membayar kuliah,
karena saya belum punya uang, dan pada saat jelang menyelesaikan Risalah Sarjana
Muda, Nilfa meminjamkan mesin tik nya kepada saya untuk menyelesaikan Risalah
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 277
lebih dulu. Padahal pada waktu yang sama, ia juga sedang menyelesaikan tugas
yang sama. Dan juga mohon maaf, sekiranya dalam persahabatan sejak 40 tahun
yang lalu, ada kesalahan yang saya lakukan baik disengaja maupun di luar
kesengajaan saya, agar pada saatnya nanti, tidak ada saling sangkut paut dan saling
sengketa di antara saya dengan sahabat saya Mas Wito.
Selamat milad ke-60 sahabatku, selamat panjang umur saya doakan,
selamat sejahtera, sehat sentosa, selamat panjang umur dan bahagia.
Kayumanis, 21 Shafar 1437 H/3 Desember 2015 M
Nandi Rahman, saat ini adalah Pensiunan PNS Guru SMK Muhammadiyah 6
Jakarta, Dosen Tidak Tetap Uhamka dan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah
Matraman Jakarta Timur
SUWITO, SI GOMBLOH KONSEPTOR YANG ULUNG
M. Ma’rifat Iman KH
(Kawan ketika di IMM/Dosen UHAMKA Jakarta)
Saya mengenal Suwito pertama kali
ketika sama-sama mengikuti MAPRAM
(Masa Perkenalan Mahasiswa) di IAIN
“Syarif Hidayatullah” Jakarta pada tahun
1976. Dia menjadi Komandan Pasukan
(yang disebut Jenderal) untuk mengatur
barisan para peserta MAPRAM tersebut.
Kesan pertama, orangnya lucu, supel, dan
ramah.
Selanjutnya, kami memasuki
organisasi kemahasiswaan yang sama, yaitu
di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) Cabang Ciputat. Pada waktu itu, oleh para senior IMM kami dikader dalam
suasana yang menyenangkan dan terasa nuansa aroma keilmuan, karena kami
dimasukkan dalam kelompok-kelompok diskusi keilmuan. Saya dan Suwito terpisah
dalam grup tersebut, tetapi dalam keadaan tertentu sering bertemu dalam grup yang
lebih besar. Di sanalah terlihat sosok Suwito yang dalam penyampaian diskusi
sering membuat kami gembira dan tertawa karena ulah pokalnya yang lucu itu,
apalagi ada senior IMM yang berpangkat Letnan (sering dipanggil Pak Let, yang
sampai sekarang saya lupa lagi nama beliau yang sebenarnya, suka menyebutnyebut
dasar Gombloh), maka Suwito mendapat gelar dari teman-teman si
Gombloh, yang mirip seorang pelawak, Gombloh waktu itu.
Dengan berjalannya waktu, saya memasuki Fakultas Syari’ah, jurusan Qadha
(Peradilan Islam), sedang Suwito mengambil Fakultas Tarbiyah, jurusan Bahasa
Ucapan Selamat dan Komentar
278 | Mungkin Segalanya Mungkin
Arab. Di antara teman-teman IMM, Suwito adalah teman saya yang paling akrab.
Hal ini dibuktikan, ketika pertama kali saya membuka rekening bank, salah satu
referensi teman yang saya cantumkan namanya adalah nama S u w i t o.
Manis pahitnya pergaulan mahasiswa, baik di almamater maupun di
organisasi kemahasiswaan telah banyak membina kami menjadi seperti sekarang
ini, walaupun dalam kondisi dan nasib yang berbeda. Kamipun ternyata diwisuda
sebagai sarjana IAIN pada tahun yang sama, yaitu pada tahun 1983.
Ketika sudah sama-sama mengarungi hidup berumah tangga, kami masih
bergaul dengan akrab. Suatu ketika, dia diberi amanat menjadi seorang Direktur di
suatu lembaga sosial milik (amal usaha) Muhammadiyah, yaitu Balai Pendidikan
Keterampilan Muhammadiyah (BPKM). BPKM adalah suatu lembaga sosial
Muhammadiyah yang bergerak memberikan keterampilan terapan kepada kaderkader
Muhammadiyah, seperti keterampilan montir mobil dan motor, keterampilan
mengetik (waktu itu belum marak komputer), keterampilan menjahit, dan lain-lain.
Ternyata, diapun mengajak saya dan mengangkatnya sebagai wakilnya. Di situlah
saya melihat, sang Direktur, Suwito adalah seorang konseptor ulung dalam menata
cara kerja, memprogram, dan memenej BPKM. Dalam hal ini, terus terang saya
banyak belajar padanya. Suatu tambahan keterampilan yang diperolehnya ketika ia
menjabat seorang Direktur, ia memperoleh keterampilan sebagai ahli pemasaran
suatu produk, sehingga BPKM menjadi suatu yang dapat dikenal masyarakat luas
dan banyak perusahaan yang berhubungan dengan aktivitas BPKM itu sendiri. Hal
inipun dia terapkan ketika menjabat sebagai Wakil Rektor, dengan gayanya
tersendiri dalam mempromosikan IAIN/UIN, dari sejak puluhan km dipasang
rambu-rambu petunjuk jalan menuju IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gayanya tersebut sangat khas dan dikenal baik oleh saya - saya sudah menebaknya,
ini adalah ide Suwito - ternyata setelah dikonfirmasi, dia tersenyum, dan malah
bertanya “Bagus, nggak?”
Saat sedang asyiknya kami mengelola BPKM, Suwito berniat melanjutkan
studi ke jenjang S-2. Sejak itulah dia menyerahkan jabatan Direkturnya kepada
saya, dan sejak itulah mulai nasib kami dalam dunia pendidikan berbeda, saya
pribadi ketinggalan jauh dengannya.
Suwito, akhirnya beroleh gelar doktor, dan kemudian menjadi guru besar
(profesor) dari IAIN Syarif Hidayatullah, dan memperoleh beberapa jabatan
strategis, yaitu dua periode menjadi Pembantu/Wakil Rektor, serta dua periode
menjabat Asisten Direktur Program/Sekolah Pascasarja UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Karena kesibukannya, sejak itu sampai sekarang, ada sesuatu yang
disayangkan menurut pandangan saya, dia tidak aktif lagi sebagai anggota
Muhammadiyah. Padahal kemampuannya yang sangat dibanggakan tidak dapat
disumbangkan kepada Persyarikatan Muhammadiyah.
Ciputat, 5 Shafar 1437 H/18 November 2015 M.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 279
SURAT KECIL UNTUK PROFESOR
Melda Ambarwati
(Mahasiswi S-1 Pendidikan Biologi UIN Jakarta)
Selamat Hari Lahir untuk Bapak
Prof. Suwito. Pencapaian usia ke-60 tahun
yang penuh berkah. Karena di usia senja
pun Bapak masih mempertahankan
semangat Bapak untuk menjadi dosen.
Membimbing, memotivasi saya sebagai
mahasiswi untuk senantiasa menuntut ilmu
terus menerus tanpa jeda tanpa mengenal
usia.
Bersama ketikan tulisan ini, dengan
satu kali kedipan yang membasahi mata
serta jantung yang sekejap ikut bergetar,
saya menyatakan perasaan BANGGA saya
atas mengenal Bapak. Pertemuan pertama kali di kelas Biologi semester 2, melalui
mata kuliah Pengantar Studi Islam. Kalau diibaratkan, pertemuan itu adalah
secangkir kopi, maka Bapak Suwito lah gula dalam setiap cangkirnya. *Wah ^_^
Banyak hal tentang hakikat kehidupan yang Bapak diskusikan pada saya dan temanteman
di setiap perkuliahan. “Barangsiapa yang mengenali Tuhannya, pasti ia
mengenali dirinya sendiri”.
Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin, penuh kasih, sayang, dan
memberi kedamaian dalam prosesnya dalam kehidupan. Banyaknya pemahaman
yang berbeda, baik mahdzab atau sekelompok elit organisasi Islam lainnya, cukup
ditanggapi dengan senyuman saling menghargai saja antar-sesama, lebih dari itu,
jadikanlah Al Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW sebagai pedoman utama
kehidupan setiap insaan. Begitulah percikan nasehat yang saya selalu ingat dari
seorang Bapak Prof. Suwito. Tidak mungkin semua orang menyukaimu, dan tidak
mungkin pula semua orang membencimu. Mari melihat biografi kehidupan
Rasulullah SAW.
Apa yang ditanam, itulah yang dipanen, begitu pepatah mengatakan.
Kebaikan yang Bapak tebar pada semua orang, memberikan doa kebaikan untuk diri
Bapak. Semoga senantiasa kebahagian dunia akhirat senantiasa menyertai
kehidupan Bapak. Aamiin…
Ucapan Selamat dan Komentar
280 | Mungkin Segalanya Mungkin
بروفیسور سویتو
عباس محمدأحمدعباس
(Mahasiswa Magister SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta asal Sudan)
یعجز القلم عن الكتابة عندما یذكر
العلماء أمثال بروفیسور سویتو، أحساس مرھف
ذاك الذي یصبغ قلب ھذا الرجل رغم قسمات
توحي بالقسوة والصلابة عركتھا سنوات الخبرة
والتجربة الطویلة في مجال التعلیم، وھي قسمات
سرعان ما تفتتھا ابتسامة أبویة ساحرة ودماثة
خلق قل نظیرھا، وانجاز بحجم الأمل تحقق في
درب طویل من العمل الدؤوب قدمھ لوطنھ
إندونیسیا من خلال كلیة الدراسات العلیا في
جامعة شریف ھدایة لله الإسلامیة الحكومیة – جاكرتا.
فقد عاش عالما زاھدا بكل كمالیات الحیاة وقدم لأھلھ ووطنھ وشعبھ وطلبتھ ما لم
یقدمھ إلا الذین امتلأت قلوبھم إیمانا وإخلاصا وعطاء. وكان دائما نعم العالم الإنسان
ونعم المواطن الصالح ونعم الأخ الوفي ونعم الصدیق الصادق، عرفتھ عن قرب عندما
جئنا للدراسة في كلیة الدراسات العلیا في جامعة شریف ھدایة لله الإسلامیة الحكومیة
في مارس من العام 2013 م مجموعة من طلبة الدراسات العلیا من مختلف البلاد
العربیة السودان، لیبیا، سلطنة عمان، الیمن، مصر، الصومال فقدم لنا ھذا الرجل كل
ما یستطیع في سبیل تحقیق رغبتنا في الألتحاق بكلیة الدراسات العلیا وكنا نجده دائما
في كل ما نحتاجھ من معلومات وكنت حلقة الوصل بینھ والطلبة العرب لمعرفتي
باللغات الثلاثة العربیة والإنجلیزیة والإندونیسیة، وكان دائما واقفا بجوارنا ینصحنا
ویرشدنا ویسئلنا بإستمرار كیف وجدتم الدراسة ھنا ھل ھناك من صعوبات وكان شعلة
من الحركة والنشاط.
عرفتھ أكثر عندما تم ترشیحي من قبل كلیة الدراسات العلیا من بین طلبة
الدراسات العلیا لحضور سمنار عن الإسلام في إندونیسیا في مدینة ترناتي وتقدیم ورقة
علمیة في منتدي العالمي لمدیري الدراسات العلیا الرابع الذي عقد في ترناتي في الفترة
من یوم 26 أبریل / 29 أبریل 2013 م فكان نعم الأخ والصدیق الوفي على الرغم من
مكانتھ العلمیة الرفیعة ولكن تجده معك في كل التفاصیل یمزح مع ھذا ویمرح مع ھذا
واتذكر أحد الأخوة الحضور في المؤتمر قال نحن نعرف كلیة الدراسات العلیا في
شریف ھدایة لله بالبروفیسور سویتو اذا البروف سویتو موجود انتھي الكلام قال: ھو
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 281
جامعة شریف ھدایة لله وھذه حقیقة عشناھا لحظة بلحظة ویوما بیوم وصدق الرجل
عندما قال أن جامعة شریف ھدایة لله ھي البروف سویتو.
والحقیقة مھما اكتب من كلمات لا استطیع ان اوفي الرجل حقھ من المدح والثناء
وھو رقم صعب الحصول علیھ وعالم لا یشق لھ غبار ومن الصعب ان تجد كلیة
الدراسات العلیا أمثالھ بل ھو من العلماء النادرین في ھذا الزمان. ولكني اكتب ھذه
الكلمات البسیطة المتواضعة في حقة لما أعرفھ عنھ من علم وتواضع ودماثة خلق
وإخلاص ووفاء احقاقا للحق ونسأل لله أن یمتعھ بالصحة والعافیة وأن یظل رمزا
ومشعلا مضیئا لكلیة الدراسات العلیا في جامعة شریف ھدایة لله الإسلامیة الحكومیة –
جاكرتا.
عباس محمد أحمد عباس
طالب دراسات علیا بكلیة الدراسات العلیا
جامعة شریف ھدایة لله الإسلامیة الحكومیة-جاكرتا
PROF SUWITO SANG DOSEN
Inda Kartika
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Apakah artinya Dosen itu?
seseorang yang berbicara dengan pola
menggurui, mengolah otak peserta
didik untuk bersikap kritis. Seorang
dosen juga seorang penerima sertifikasi
dosen yang berarti dia menerima dalam
sebulan, dua kali gaji. Seseorang yang
berambut putih dan berkacamata tebal
dengan raut muka yang serius,
seseorang yang memandang remeh
mahasiswanya dengan alasan menempa
kepribadian agar lebih kuat
menghadapi tantangan zaman. Meski
sebenarnya seorang dosen adalah
pribadi yang penuh kelakar, yang mampu membuat muka mahasiswa tersipu malu
dan membuat bangga mahasiswa, jika bisa tertawa lepas bersama seorang dosen
yang dianggap killer. Dosen juga seorang yang penuh perhatian, meski perhatiannya
tidak ditunjukkan secara lugas. Dosen juga terkadang berlaku seperti sepasang
orang tua, di mana membuat mahasiswa ketika merindu kampung halaman dapat
terobati. Pengertian umum secara formal dosen adalah pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
Ucapan Selamat dan Komentar
282 | Mungkin Segalanya Mungkin
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dirujuk dari Wikipedia.
Seorang dosen dia juga berarti seorang desainer. Mungkin bisa juga seorang
arsitek. Merancang strategi perkuliahan, memikirkan pertimbangan akademis yang
berlaku dalam sistem pendidikan di kampus. Bahkan seorang dosen ialah juga ahli
pertamanan. Yang dituntut waktu istirahatnya menumbuhkan pohon yang kering
menjadi rimbun kembali. Seringkali dosen dituntut untuk juga sebagai humas, yang
harus mampu berkomunikasi untuk memindahkan keinginan pemerintah guna
mengatur kepatuhan mahasiswa, sehingga terkadang dosen akan terlihat seperti
pimpinan yang otoriter atau marketing supervisor.
Profesor Suwito atau yang lebih akrab dikenal dengan panggilan Pak Wito,
adalah dosen yang memiliki kemampuan dalam arti yang banyak disebutkan di atas.
Sebagai seorang pendidik dengan sebutan Dosen, Pak Wito banyak memberikan
pengajaran tidak hanya bidang ilmu yang sesuai kompetensinya. Tetapi lebih dari
itu, tanpa disadari, dengan peraturan yang sangat ketat diterapkan pada masa
keberadaannya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
memberikan banyak pencerahan dan menumbuhkan inspirasi yang kemudian
diadopsi untuk diterapkan mahasiswa yang pulang kembali ke tempat mengajarnya
di daerah yang berbeda-beda di nusantara. Hal ini selalu menjadi istimewa, apa pun
yang dilakukan Pak Wito selalu menjadi trendsetter bagi mahasiswa yang kembali,
setelah ‘nyantri’ di SPs UIN Jakarta. Pola menerapkan tesis atau disertasi yang
dibukukan, serta dilegalkan sesuai aturan penerbitan yang berlaku, menjadi produk
yang menjadi kebanggaan mahasiswa yang lulus, terlebih jika diterbitkan oleh
penerbit komersil dengan sistem royalty yang menggiurkan.
Semangat dan gaya bertutur yang menjadi karakter Pak Wito, memang
berbeda dari kebanyakan Dosen-Dosen di SPs. Jika yang lain berjalan perlahan,
maka Pak Wito berjalan penuh semangat dan antusias. Pada kesempatan perjalanan
ke Pantai Sulamadaha, Ternate, tidak pernah penulis melihat Pak Wito berjalan
terengah-engah. Padahal jalan setapak yang berjarak cukup jauh, menanjak dan
curam, jika seorang Profesor yang tidak terbiasa berjalan kaki, mungkin sudah
menaiki kendaraan roda dua. Ketika mengikuti rapat-rapat pun, Pak Wito tidak
pernah kehilangan ide, untuk mempertahankan pendapatnya. Bahkan dalam forum
Profesor-Profesor, Pak Wito tetap menjadi ikon, dan pendapatnya dirujuk sebagai
rekomendasi hasil pertemuan. Cara bertuturnya pun ikut dijadikan guyonan khas
seantero PTKIN/PTKIS yang mengenal Pak Wito, kadang kala penulis berpikir jika
guyonan tersebut yang kadang lebay sangat berguna untuk memunculkan nalar
kritis, terencana dan sistematis. Seperti Socrates yang semasa hidupnya, sering
mengajak ‘ngobrol’ setiap orang yang ditemuinya, begitu pula Pak Wito. Ada pula
jika berhadapan dengan Pak Wito, mahasiswa jadi tidak nyaman, karena takut slip
tongue alias skak mat kehabisan ide obrolan, padahal sungguh banyak keuntungan
akademis dari obrolan yang menjebak dengan Pak Wito. Ketika menulis karya
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 283
ilmiah, mahasiswa akan menulis lebih natural, sesuai EYD, juga tidak konotatif
dalam menyampaikan maksud dari apa yang ingin disampaikan.
Bagi penulis, Pak Wito adalah salah satu Hero. Di tengah kesulitan
mendapatkan bantuan mengikuti olimpiade ke Perancis dan konferensi di
Kualalumpur, dengan antusias mengulurkan bantuannya, dengan ringan tangan
meski permintaan bantuan disampaikan melalui sms, Pak Wito dapat dengan lugas
menyelesaikan kesulitan mahasiswa. Berbagai pengalaman selama menjadi
mahasiswa dan ‘nyantri’ di SPs UIN Jakarta, sangat berguna memberikan motivasi
berkarya. Semboyan mambaca dan dibaca dunia, sebait ikon yang banyak
mendorong mahasiswa SPs berkarya menerobos jurnal internasional dan
mempresentasikannya dalam berbagai konferensi, simposium dan olimpiade.
Kebiasaan mengakses laman internet, penggunaan google, dengan kata kunci yang
simple, agar dapat menemukan referensi yang tepat sasaran juga penulis dapatkan
dari gaya mengajar Pak Wito yang up to date. Model mengajar dengan mengakses
jurnal-jurnal internasional yang refresentatif ini, tidak menjadi kebiasaan dari
mahasiswa Pascarjana selain SPs. Tapi itulah kira-kira ungkapan beyond
imagination, yang terbiasa penulis baca dan dengar dari dosen- dosen di UIN
Jakarta. Bahwa penerapan integrasi keilmuan yang melintasi imajinasi, melampaui
batas nalar, ruang dan masa. Di mana pola yang diterapkan dan dihasilkan saat ini,
dapat langgeng di manapun dan kapanpun, kullu zaman wa makan.
Sekiranya jika Allah memberkahi, maka penulis meminta hari-hari selalu berada di
antara dosen dan pimpinan kampus seperti Pak Wito. Seorang dosen yang
komunikatif, inspiratif dan energik. Terciptanya karya dan produk pemikiran tidak
serta merta didapat dari kadar keseriusan dan sesuatu yang pelik, tetapi dapat
fleksibel, berwarna dengan kelakar dan tentunya tidak monoton. Di manapun jika
berbicara UIN Jakarta tentu Pak Wito akan muncul sebagai salah satu orang yang
khas UIN Jakarta. Tentu kerinduan untuk kembali ‘pulang’ akan selalu mengawang
di pikiran alumni, meski kini Pak Wito tidak mudah ditemui di SPs UIN Jakarta.
Semoga tulisan ini berguna
Bengkulu, 2 September 2015
Inda Kartika
Ucapan Selamat dan Komentar
284 | Mungkin Segalanya Mungkin
KESAN TERHADAP SOSOK PROF. SUWITO, MA.
Wulandari
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Sebagai mahasiswa yang pernah
diajar beliau, Prof. Suwito itu adalah
pribadi yang cerdas, hangat, ramah dan
perhatian terhadap semua
mahasiswanya. Beliau juga adalah
sosok pribadi yang sangat humoris.
Bagi saya, kesan yang tidak mungkin
dilupa dari sosok Pak Wito, panggilan
akrab mahasiswa untuk beliau, Pak
Wito itu setiap kali bertemu pasti selalu
mengingatkan untuk menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar,
suatu kebiasaan yang baik yang
mungkin tidak terlalu menjadi
perhatian bagi kita. Pernah dalam suatu percakapan, Pak Wito bertanya kepada
saya: “Mau ke mana nduk?” Saya menjawab”: Saya mau makan dulu Pak”, dengan
wajah yang kebingungan, beliau bertanya lagi: “Lho kok mau makan dulu????”
Dengan sedikit tersipu malu, saya langsung meralat bahwa yang saya maksud
adalah “Saya mau makan nasi sekarang Prof bukan makan dulu….hehehe..” Lalu
dengan senyumnya yang khas, beliau menjawab: “Nah, itu baru benar nduk, klo
makan dulu khan tidak ada”. Semenjak kejadian itu, saya selalu mencoba untuk
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama ketika bertemu
dengan beliau. Bahasa Indonesia yang baik adalah yang cukup Subjek Predikat
Objek Keterangan (SPOK), kata Pak Wito. Sebuah pelajaran yang berharga dari
sosok Prof. Suwito, M.A. “Makasih Prof…..!!!
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 285
PROF. SUWITO DI MATA SAYA
“Gimana Nduk, rasanya berdarah-darah kuliah di sini?” (Suwito)
Sarwenda
(Alumni S-2/Mahasiswa S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Kesan pertama setelah beberapa
kali ikut kelasnya dan konsultasi secara
langsung, memang memiliki persepsi
yang sangat tidak biasa terhadap
Professor yang satu ini. “Nyeleneh,
liberal, gak ngerti cara berpikirnya” itu
yang selalu muncul di otak saya ketika
awal-awal masuk Sekolah Pascasarjana
di tahun 2009 terhadap Pak Wito nama
panggilan akrab beliau oleh mahasiswa
Pasca. Sempat suatu ketika saya
konsultasi untuk ujian proposal tesis
dengan Pak Wito yang kebetulan
memang bidangnya, pendidikan.
Hasilnya, membuat saya tidak mau konsultasi lagi dengan beliau, karena harus
dirombak total dan membuat saya tidak mengerti dengan tesis saya sendiri.
Bingung, hampir selalu demikian hasilnya jika habis konsultasi atau diuji sama
beliau. Dua (2) tahun berlalu, setelah menjalani semua peraturan yang sangat
melelahkan di Sekolah Pascasarjana ini, saya baru mengerti dan memahami tujuan
dari segala keruwetan peraturan dan cara menulis karya ilmiah yang memang layak
dibaca dunia.
Dulu, mimpi beliau yang ingin membuat Sekolah Pascasarjana ini layak
diperhitungkan oleh masyarakat akademis dunia dengan memberi slogan Membaca
dunia dan dibaca dunia, seperti tidak mungkin menurut saya dan teman-teman
ketika itu. Ternyata setelah menjalani semua peraturan dan proses kuliah di
Pascsarjana ini, tampaknya mimpi itu sangat mungkin untuk dicapai. Terbukti
dengan karya tesis atau disertasi teman-teman yang sukses dipresentasikan di
berbagai seminar internasional. kami benar-benar merasa menjadi peneliti yang
sesungguhnya.
Suatu kehormatan dan kebanggan tersendiri bagi saya pernah diajar dan
diberi nasehat secara langsung ataupun tidak oleh Prof. Wito. Suatu ketika, saya
pernah diminta beliau untuk menjelaskan tentang perkuliahan dan sistem
pembelajaran di Sekolah Pascasarjana kepada mahasiswa baru, karena menurut
beliau pandangan yang objektif dan jujur akan keluar dari mulut mahasiswa yang
telah menjalaninya di Pasca. Beliau selalu bertanya kepada kami tentang segala hal
terhadap perubahan-perubahan yang ada di Pasca. Beliau juga sangat responsif
terhadap keluhan-keluhan yang kami sampaikan terkait fasilitas kampus, bahkan
Ucapan Selamat dan Komentar
286 | Mungkin Segalanya Mungkin
untuk urusan toilet bocor sekalipun beliau mau turun tangan. Kenangan yang tidak
akan pernah bisa kami lupakan. Di mata saya dan rekan-rekan yang merasakan
dampak dari kebijakan beliau yang tidak biasa, menganggap beliau merupakan
sosok visioner yang sangat perhatian dan rendah hati, tidak anti-kritik, moderat,
inspiring dan out of the box; Selalu deg-degan kalau lagi diajak ngobrol sama beliau
karena komentar-komentarnya yang ajaib. Beliau selalu mengajarkan kami untuk
tidak berpikir biasa dan memiliki cita-cita yang tinggi. Saya rasa, semua mahasiswa
memiliki kesan dan kenangan yang istimewa terhadap Prof. Suwito. Sulit rasanya
untuk menemukan sosok jenius seperti beliau lagi. Tentunya kesan ini hanya
sebagian kecil yang masih sangat melekat di otak saya pribadi, karena jika
dituliskan semua di sini mungkin akan melahirkan sebuah buku tersendiri, karena 4
(2009-2013) tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk diisi oleh cerita dan
kenangan terhadap beliau.Tentunya juga, ini hanya kesan pribadi saya dan pendapat
beberapa rekan yang sering sharing soal Pak Wito, tidak menutup kemungkinan
kesan yang beragam lainnya pun dari rekan-rekan yang pernah kenal dan akrab
dengan beliau.
Jika saya bisa menyebut sosok Prof. Suwito dalam satu kata, maka kata itu
adalah GILA...
Terima kasih Prof. karena tidak pernah lelah mengajari kami...
(wenda.28@gmail.com)
KEPADA PROF. SUWITO...
Dra. Erni, MA.Kes
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Terbesit haturan maaf karena
jarang bersilaturrahmi dengan dosendosen
di SPs UIN Jakarta terutama Pak
Wito, meski dalam hati tak pernah lupa.
Kesan pertama ketika masuk Pascasarjana
UIN Jakarta, kaget dan bingung, terutama
pada saat pertama bertemu dengan Prof.
Suwito, kesannya beliau cuek dan galak.
Akan tetapi, setelah dijalani dan dipelajari
berkat bimbingan Pak Wito juga, baru
bisa mengerti arah dan tujuan yang harus
ditempuh dalam menyelesaikan studi di
Pascasarjana ini.
Alhamdulillah, pada akhirnya saya bisa menyelesaikan studi saya di
Pascasarjana UIN Jakarta ini berkat bimbingan beliau. Saya bisa merasakan dampak
dari proses pembelajaran yang pernah saya tempuh di SPs, dan hasilnya sekarang
alhamdulillah saya sudah sertifikasi dosen di Poltekkes Kemenkes Jakarta I Jurusan
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 287
Kebidanan. Hanya dengan doa yang tulus yang bisa saya haturkan atas segala budi
baik Bapak kepada kami ini, semoga Yang Kuasa membalasnya dengan
memberikan segala kebaikan untuk Pak Wito dan keluarga. Selamat ulang tahun
Pak, semoga sehat selalu, diberikan umur yang panjang sehingga bisa terus
memberikan banyak ilmu bagi adik-adik mahasiswa-mahasiswi yang lain. Terima
kasih Pak Wito. Demikian sepenggal kata untuk Prof. Suwito terkasih.
(By: Dra. Erni, MA.Kes)
Agama dan Kesehatan 2012.
SUWITO
Henny Novita, MA.Kes
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Assamu’alaikum, wr.wb.
Sebagai salah satu alumni dari SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya
sangat bersyukur, karena sempat merasakan
bagaimana mengikuti proses belajar di
Pascasarjana tercinta ini. Perasaan campur
aduk ketika pertama kali diperkenalkan
dengan cara penulisan thesis dengan
berbagai jurnal internasional. Kaget? Tentu,
itu hal yang sama sekali baru bagi saya.
Dari prof. Suwito, saya belajar banyak hal
berkaitan tentang mengakses, mengunduh
dan menggunakan refrensi jurnal-jurnal
internasional.
Dari beliau pula, saya mempelajari banyak hal tentang penulisan karya
ilmiah, terutama yang berkaitan dengan tesis. Suatu ketika, saya konsultasi dengan
beliau tentang tulisan yang telah saya buat. Dengan penuh percaya diri bahwa
tulisan saya sudah benar sesuai penulisan karya ilmiah yang selama ini saya pahami,
ternyata-setelah diperlihatkan ke Pak wito, beliau bilang “ini bukan penelitian, tapi
mau membuat bahan untuk khutbah”. Sedih saya ketika itu, dan hampir putus asa
untuk menulis lagi.
Prof. Suwito bagi saya, seperti seorang Bapak, dosen, pembimbing, pengelola
yang bisa berbagi ilmu dikala formal maupun non-formal. Meski dalam canda
beliau di sela-sela papasan kami, akan selalu ada pengetahuan baru yang kami
dapati. Khusus saya pribadi, sangat merasakan dan merindukan sosok seperti beliau
sebagai panutan dalam bidang akademis. Masuk pascasarjana UIN, seperti masuk
kedalam dunia yang berbeda bagi saya, karena latar belakang pendidikan saya
sebelumnya adalah dibidang kesehatan. Berkat bimbingan, nasehat, pengajaran, dan
semangat yang terus beliau tularkan akhirnya saya dapat menyelesaikan study saya
Ucapan Selamat dan Komentar
288 | Mungkin Segalanya Mungkin
di SPs UIN Jakarta ini. Terima kasih banyak Pak Wito untuk setiap kebaikan yang
telah Bapak berikan kepada saya khususnya.
Selamat ulang tahun Prof. Semoga panjang umur, sehat, sukses dan jangan
lupa dengan mahasiswa-mahasiswa Bapak seperti dulu.
By: Henny Novita. Agama Kesehatan 2012.
PROF. SUWITO DI MATA SAYA...
Marwati Biswan, MA.Kes
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Selama kuliah di Pascasarjana UIN
Jakarta ini, saya mengenal prof. Suwito
sebagai sosok yang berperawakan
sederhana, wajahnya yang cerah serta
senyum yang selalu menghiasi rawut
wajahnya, tetapi juga tampak sangat
idealis. Sehingga, pada saat menjadi
mahasiswa baru sempat merasa takut bila
bertemu beliau. Seiring berjalannya waktu
belajar di Pascasarjana, saya makin
mengenal beliau dengan baik, ternyata
sosok yang sangat peduli terhadap
mahasiswanya.
Tidak pernah bosan memberikan motivasi agar kami ini dapat menyelesaikan
study tepat waktu. Selalu menyediakan waktu bagi kami untuk bertanya, konsultasi
dan membagikan ilmunya. Tidak pernah lelah dalam membimbing kami, dan sangat
bermurah hati. Ada satu ungkapan beliau yang hingga saat ini masih terngiangngiang
diotak saya, beliau bilang “saya tidak mau melihat anda lama-lama”, dengan
kata lain, beliau ingin kami segera menyelesaikan study kami dan lulus dengan
membuat karya ilmiah yang baik.
Saya pribadi sangat terkesan terhadap prof. Suwito. Bagi saya, beliau adalah
sosok guru yang bisa menjadi tauladan bagi mahasiswanya, terutama bagi saya
pribadi yang berlatar belakang pendidikan kesehatan. Selama saya kuliah, belum
pernah menjumpai dosen yang sangat peduli pada mahasiswanya seperti di SPs ini.
Saya merasa banyak belajar dan mendapatkan ilmu selama kuliah di Pascasarjana
UIN Jakarta ini. Sehingga saya merasa nyaman, dan semangat selama menempuh
study di Pascasarjana ini, walaupun umur sudah tidak lagi muda. Terima kasih Prof.
Suwito, Selamat Ulang Tahun Prof. Suwito semoga sehat selalu dan dapat terus
membagikan ilmunya pada mahasiswa.
By: Marwati Biswan
Agama dan Kesehatan 2012.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 289
PROF. SUWITO, TERIMA KASIH !
Chairunnisa Ahsana AS
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Belajar selama hampir tiga tahun di
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, sejak
2011 hingga awal 2014, bukan waktu
yang sebentar sebenarnya. Setiap dosen
yang saya jumpai dan memberikan kuliah
selama bersekolah, semuanya memiliki
kesan masing-masing di hati saya. Mereka
hadir ke ruang kuliah, membagi ilmu
pengetahuan dengan karakter mereka
masing-masing yang bagi saya.. semuanya
kece’.
Tapi yang satu ini, meski tidak
biasa ngobrol atau mendiskusikan secara
langsung tetang tesis yang saya tulis dulu, tetapi beliau telah mentransfer energi
positif dan semangat menulis demi sebuah karya, cukup melalui senyuman, ekspresi
wajah nan teduh penuh kebapakan, dan obrolan ringan penuh makna yang kadang
menurut saya dan teman-teman “mungkin hanya beliau dan Tuhan yang tahu?”
hemm,…
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dengan segala peraturan serta visi dan
misinya, menggiring mahasiswanya untuk mampu bersaing dan menghasilkan karya
orisinil dan layak dibaca dunia, di sana ada Prof. Wito. Susah memang, tapi
bukankah no pain no gain??
Sejujurnya, saya pernah merasa benar-benar berdarah-darah hingga rasanya
pernah hampir mati, mati kutu saat dibantai di salah satu ujian (serius). Hemm, tapi
di sana selalu ada Bapak yang menemani. Tanya kenapa? Karena, hanya Bapak
yang tidak pernah absen hadir ditengah-tengah setiap ujian yang saya hadapi dulu,
dengan sosok Bapak yang tulus membimbing, sebagai satu-satunya penguji tetap.
Tidak pernah sekalipun Bapak tidak hadir pemirsa!! Karena itulah mungkin, saya
merasa benar-benar tidak mati saat itu (hehehe). Prof. Wito adalah sosok yang
revolusioner dan penuh kesan. Sosok beliau meninggalkan kesan sangat dalam bagi
saya khususnya dan tentu teman-teman saya semuanya.
Saya mendoakan, semoga beliau disehatkan badan dan dipanjangkan usia,
terus bisa bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahuan, di mana pun beliau
ditempatkan. Salam silaturahim dari kejauhan untuk Bapak.
Terima kasih banyak Prof, untuk senyum dan ilmunya…!!
Chairunnisa Ahsana AS, (masyaallah86@gmail.com)
Ucapan Selamat dan Komentar
290 | Mungkin Segalanya Mungkin
PROF. SUWITO DI MATA KAMI, PARA MAHASISWA SEKOLAH
PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Fazlul Rahman
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/ Mahasiswa S-3 UGM
Yogyakarta)
Prof. Suwito merupakan sosok
yang bersahaja, santun, senang akan
humor dan teladan yang baik bagi
mereka yang mengenal beliau. Seorang
motivator bagi setiap mahasiswa.
Beliau mau mendengar segala macam
masukan dan keluhan yang dirasakan
mahasiswa, terutama di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sebagai akademisi yang
hampir seumur hidupnya diabdikan
dalam dunia pendidikan, tidak sedikit
kontribusi yang telah beliau berikan.
Taman Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif hidayatullah merupakan salah satu sentuhan beliau dalam membentuk
ekokampus sehingga membuat para mahasiswa, dosen maupun tamu merasa
nyaman untuk mengerjakan segala hal yang berkaitan dengan akademis, sosial
maupun personal. Adanya taman ini memberi kenyamanan bagi sebagian besar
mahasiswa yang merindukan rindangnya pohon yang tertiup angin diiringi ketikan
laptop dalam mencari inspirasi guna menyelesaikan tugas, tesis maupun disertasi.
Beliau juga berkontribusi dalam menyusun kurikulum dan tata tertib yang
ideal bagi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menjadi
standar kurikulum yang baik bagi Universitas di Indonesia pada umumnya.
Terutama dalam pedoman penulisan karya ilmiah-baik itu tesis maupun disertasiyang
dianggap sebagian besar mahasiswa sangat menyulitkan, akan tetapi
menghasilkan tulisan yang sangat layak dibaca dan dijadikan pedoman bagi
akademisi lain. Hal ini sesuai dengan semboyan yang terpampang pada dinding
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, mari membaca dunia agar dapat dibaca dunia.
Cita-cita inilah yang ingin senantiasa beliau wujudkan bagi para mahasiswanya agar
dapat memiliki sistem penulisan yang baik agar menjadi karya ilmiah yang baik
pula.
Hal lainnya yang tidak terlepas dari kebiasaan sehari-hari Prof. Suwito adalah
kesenangannya memberi nasihat dalam humor-humor ringannya pada setiap waktu
senggang dan bertemu dengan para mahasiswanya. Salah satu humornya yang saya
ingat dan popular di kalangan mahasiswa Pasca lainnya adalah… tolong tambahin
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 291
humornya ya mba, lg agak ngeblank nih, kebanyakan makan… trus tolong sekalian
dicekin semboyannya yang “mari dibaca dunia” dah betul belum?
UCAPAN ULANG TAHUN KEPADA PROF. SUWITO
Diana Sulaisih
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Bismillāh al-rahmān al-rahīm.
Alhamdulillāh rabb al-‘ālamīn.
Allāhumma salli ‘alā sayyidinā
Muhammad wa ‘alā ālih wa sahbih wa
sallim. Saya mengucapkan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada
Prof.Suwito. Suatu kehormatan bagi
kami (ditulis kami karena mewakili
semua 1 angkatan program beasiswa
Kementerian Agama) karena diundang
menulis kesan dan pesan untuk sebuah
buku biografi pribadi dalam rangka
ulang tahun Prof. Suwito.
Selamat ulang tahun Prof. Suwito. Dalam perjalanan usia ini semoga segala
keilmuan yang sudah diberikan dapatlah kiranya menuai manfaat, yang kemudian
keilmuan tersebut berestafet kepada ilmuwan-ilmuwan, intelektual-intelektual
berikutnya yang kemudian juga berestafet kepada generasi-generasi Islam.
Selanjutnya juga yang pada akhirnya menuai banyak manfaat, seperti yang pernah
saya dengar langsung dari beliau ketika mengisi perkuliahan “semoga dengan 30
orang mahasiswa yang hadir di kelas ini sekarang, nantinya masing-masingnya akan
mentransfer ilmunya di daerahnya masing-masing dan kemudian yang
menerimanya itu juga akan menyampaikan ilmu tersebut kepada yang lainnya,
begitu seterusnya”.
Mengenal dan berinteraksi dengan Prof. Suwito dalam kegiatan
pembelajaran, tak jarang ada terbersit pikiran seolah-olah ada sesuatu yang tidak
akan mungkin bisa saya lakukan. Misalnya, sebuah karya yang bisa dibaca dunia,
mata kuliah dan SKS yang sudah cukup diambil dalam 1 semester masih boleh
mengikuti mata kuliah yang lainnya tapi tidak terhitung sks, dll. Alhamdulillah
semua bisa saya lalui dengan baik meski awalnya sedikit tertatih-tatih, tentu saja
dengan bimbingan dan arahan dari Prof. Suwito juga. Di samping beliau membuat
sesuatu yang saya rasa tidak mungkin bisa saya lakukan, beliau juga sangat
membantu dan mengayomi semua mahasiswanya dengan menularkan semangatnya
Ucapan Selamat dan Komentar
292 | Mungkin Segalanya Mungkin
untuk terus berusaha bisa melakukan sesuatu yang tidak mungkin itu menjadi
mungkin.
Dengan berbincang-bincang senantiasa berkobar kembali semangat berusaha,
terutama berusaha untuk bisa menulis sebuah karya. Perbincangannya sederhana
saja tapi mampu mengobarkan semangat. Kira-kira begini yang selalu diucapkan
oleh beliau “pokoknya ditulis nanti baru dipikirkan mana bagusnya daripada cuma
di kepala nggak di tulis-tulis”. Prof. Suwito profil dosen ramah yang selalu berbagi
ilmu baik di kelas maupun di taman, dosen baik yang sangat perhatian selalu
mengingatkan mahasiswa untuk terus berusaha, dosen yang selalu bersemangat,
yang selalu menebarkan segala kebaikan-kebaikan yang bermanfaat, dosen yang
tetap menjaga dan menjalin silaturahmi baik dengan mahasiswa maupun alumni.
Kami sangat senang sudah pernah menjadi mahasiswa Prof. Suwito. Selamat ulang
tahun Prof.Suwito, semoga selalu mendapat keberkahan dan kebahagiaan dalam
hidup. Barakallah fi umrik. Amiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Diana Sulaisih
Aceh Tamiang, 10 September 2015
MENGENAL DUNIA DAN DIKENAL DUNIA
Harun Mulawarman
(Alumni S-2 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Namanya Prof. Suwito, sosok
guru besar yang memberikan motivasi
bagi mahasiswa Sekolah Pascasarjana
(SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam tahap proses penyelesaian tesis
atau disertasi. Salah satu motivasi yang
disampaikan oleh beliau adalah “Makin
sulit tulisan dibaca maka makin bagus”.
Mungkin ungkapan itu sangat relevan
bagi para penulis tesis atau disertasi,
karena mahasiswa/i dituntut untuk
menghasilkan karya semaksimal
mungkin untuk dibaca dunia,
sebagaimana slogan besar yang tertulis
di halaman SPs yaitu “Membaca Dunia dibaca Dunia”. Dengan demikian, Prof.
Suwito mengajarkan mahasiswa/i agar dapat dibaca dunia, harus memiliki referensi
jurnal internasional yang layak dan terkini.
Anjuran tersebut merupakan hal yang hukumnya wajib dilaksanakan bagi
para penulis tesis atau disertasi karena ketika anjuran tersebut tidak dilaksanakan
maka akan berakibat pembatalan nilai ujian-ujian tesis atau disertasi. Oleh karena
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 293
itu maka banyak mahasiswa/i yang mengalami pembatalan nilai akibat tidak
memiliki referensi jurnal internasional dalam tesis atau disertasi mereka. Bahkan
yang lebih ketatnya lagi, anjuran referensi jurnal internasional diwajibkan setiap
halaman memiliki satu referensi. Hal tersebut menjadikan kebanyakan mahasiswa/i
sedikit lambat dalam proses penulisan tesis atau disertasi. Meskipun demikian,
bukan menjadi alasan untuk tidak mengerjakan tesis atau disertasi karena alasan
jurnal internasional. Oleh karena itu, pelajaran yang sangat berharga dari beliau
yaitu ketika tulisan layak dibaca dunia maka referensi yang digunakan harus jurnal
international.
Kesan yang melekat dari Prof. Suwito yaitu “karena beliaulah maka
mahasiswa/i layak dibaca dunia, dan karena beliau pula maka mahasiswa/i
mengenal dunia”. Terima Kasih
SEKOLAH PASCASARJANA (SPS) DAN PAK WITO
Saepullah
(Mahasiswa S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tujuh semester saya menyelesaikan
kuliah di SPs UIN Syarif Hidayatullah.
Pertama masuk pada tahun 2011 dan lulus
awal tahun 2015. Dua tahun pertama, penuh
dengan kebingungan, kesulitan, dan
ketidaktahuan. Tahun ketiga mencoba lepas
dari kebingungan tersebut dengan menjauh
terlebih dahulu dari SPs dan kemudian
mencoba kembali memahami apa
sebenarnya yang diharapkan dari SPs, dan
awal tahun keempat proses penyelesaian
penelitian.
Awal perkenalan dengan para
“punggawa SPs”, yang pada saat itu sering disebut dengan sebutan “tiga sekawan”
yaitu Pak Wito, Pak Fuad dan Pak Yusuf, itu merupakan awal dari kebingungan,
kesulitan, dan ketidaktahuan. Dari tiga orang itulah, saya diperkenalkan dengan
jargon SPs “mari menghasilkan karya yang layak dibaca dunia”. Pak Fuad dengan
kalimat yang sering didengar, “mari kita tarik penelitian kita ini ke langit terlebih
dahulu, selanjutnya kita turunkan ke bumi”. Pak Wito selalu menekankan penulisan
harus dirujukkan ke Jurnal-jurnal Internasional.
Pak Wito bukan hanya sekadar seorang Dosen akan tetapi, bagi saya Ia
adalah seorang pendidik, bahkan lebih dari itu, di SPs Pak Wito bagaikan seorang
Bapak bagi para mahasiswanya. Saya memahami bahwa apa yang dilakukan oleh
Pak Wito bukan hanya sebagai dosen yang memberikan tugas kepada
mahasiswanya, akan tetapi seorang pendidik yang sadar betul bahwa itu harus
Ucapan Selamat dan Komentar
294 | Mungkin Segalanya Mungkin
dilakukan dengan proses. Proses yang bukan hanya sekadar dosen memberikan
tugas yang harus diselesaikan oleh mahasiswanya dengan segudang peraturan yang
mengikat para mahasiswanya, akan tetapi proses yang diberangi dengan fasilitas
yang semaksimal mungkin disiapkan untuk para mahasiswa untuk menyelesaikan
tugas-tugas itu.
Akademik merupakan tulang punggung dari proses pembelajaran. Hasil karya
berupa tesis dan disertasi merupakan hasil akhir dari proses akademik tersebut. Pak
Wito dalam obrolan sering menyatakan, “selesai kuliah kamu di SPs, kamu tidak
akan pernah ditanya berapa nilai mata kuliah, akan tetapi yang ditanya adalah apa
karya kamu yang dihasilkan”. Dan bukan hanya itu Pak Wito pun menambahkan,
“karya yang dihasilkan harus bisa menunjang karier kamu”.
Tesis atau disertasi merupakan momok yang terkadang mengerikan, di
kalangan mahasiswa SPs, sudah dikenal, bahwa penyelesaian tesis atau disertasi
harus diselesaikan dengan istilah “berdarah-darah”. Saya masih ingat ketika awal
ujian proposal, Pak Wito sebagai pimpinan ujian menyuruh saya untuk
mempresentasikan proposal saya. Pada saat saya mempresentasikan, tiba-tiba Pak
Wito berkata, “Kok rasanya saya sedang mendengarkan ceramah di Majlis Taklim”.
Dengan kebingungan saya sudah tidak bisa mengatakan apa-apa, karena saat itu
saya bingung apa sih yang diinginkan oleh Pak Wito dalam presentasi dan dalam
penulisan Abstrak yang wajib memakai kata “makin …..makin……”, atau “jika
(apabila) …. maka ….”.
Saya masih ingat apa yang dikatakan Pak Wito, “kesimpulan bukanlah
laporan tentang obyek, akan tetapi proses apa yang terjadi, dan proses yang terjadi
pada obyek penelitian tersebutlah yang menjadi kesimpulan berupa apa yang
menjadi temuan kamu dalam penelitian”. Saya memahami yang dimaksud oleh Pak
Wito, bahwa sebuah tulisan yang layak dibaca secara akademis, merupakan tulisan
yang secara akademik diperdebatkan, maka jurnal internasional baik bahasa Arab
maupun bahasa Inggris menjadi wajib sebagai bahan rujukan. Akan tetapi bukan
hanya itu tata cara penulisan, pembagian bab, dan hal-hal detil lainnya dalam
penelitian dan penulisan tesis atau disertasi wajib diikuti.
Setelah proposal diperbaiki, salah satu kewajiban mahasiswa untuk meminta
tanda tangan kepada para penguji. Saat meminta tanda tangan terakhir kepada Pak
Wito, beliau bertanya kepada saya “gimana nduk, sulit yah kuliah di sini?”, dengan
kesal saya pun menjawab “nggak kok, biasa-biasa aja”. Pernah saya protes kepada
Pak Wito, Pak Wito banyak sekali membuat peraturan. Dengan muka yang terlihat
serius Pak Wito menjawab, “siapa bilang saya yang membuat peraturan, kamu lihat
dari papan pengumumankan, saya tidak pernah membuatnya cuma
menempelkannya”.
Segudang peraturan yang ada yang sering dikeluhkan oleh mahasiswa SPs,
diimbangi pula oleh adminstrasi yang selalu memudahkan mahasiswa. Team Work
SPs bagi saya adalah team yang selalu mengedepankan bagaimana para mahasiswa
secara administrasi termudahkan. Surat-surat yang dibutuhkan untuk penelitian
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 295
secara cepat dapat diselesaikan, sehingga para mahasiswa terlebih dari luar daerah
sangat merasa terbantu. Penjadwalan ujian secara cepat dapat diterima oleh para
mahasiswa baik lewat sms, facebook, maupun telpon. Perkuliahan selalu terjadwal
secara rapih, dan para dosen terjadwal dengan baik. Apabila ada dosen yang tidak
hadir SPs selalu berusaha ada penggantinya, dan yang terakhir yang masuk adalah
di antara “tiga sekawan”, Pak Wito, Pak Fuad dan Pak Yusuf, dan para mahasiswa
pernah menyebutnya dengan sebutan “Dosen takmir”.
SPs terkadang disingkat bukan lagi Sekolah Pascasarjana akan tetapi
“Sekolah Pak Suwito”. Terkadang kalimat ini dijadikan sebagai gurauan yang
bukan hanya di kalangan dosen akan tetapi di kalangan mahasiswa SPs. Bagi saya
SPs dan Pak Suwito memang sepertinya sulit untuk dipisahkan, terlihat setiap pagi
sebelum mahasiswa datang Pak Wito sudah berdiri di pintu timur SPs,
memperhatikan taman, apabila ada yang kurang tidak segan-segan Pak Wito
secepatnya menugaskan staf untuk memperbaikinya. Lampu kelas, lampu taman,
pintu, WC, perpustakaan dan lain sebagainya, tidak luput dari perhatian Pak Wito.
Selama tiga tahun setengah saya kuliah di SPs, perubahan sangat terlihat di
SPs. Pak Wito pernah berseloroh, “saya telah difitnah oleh beberapa orang di Pasca
ini, bahwa saya telah melakukan penghijauan di Pasca”, saya dan kawan-kawan,
serius mendengarkan Pak Wito, selanjutnya dengan serius Pak Wito berkata,
“padahal saya tidak pernah melakukan itu, karena pohon yang ditanam bukan yang
hijau saja, tetapi ada yang merah, ada juga yang kuning”.
Pernah dengan nada gurauan saya ditanya oleh teman-teman, apabila nanti
ada penggantian kepemimpinan di SPs, siapakah yang harus dipertahankan. Saya
hanya menjawab, siapakah orang yang peduli dan mau memperhatikan taman.
Kawan saya kemudian tertawa “Kok taman sih”, saya hanya menjawab, “di SPs ini
banyak orang hebat, banyak doktor dan profesor yang diakui kehebatannya, tapi
adakah yang mau memperhatikan pada hal-hal yang kecil, seperti keindahan,
kenyamanan dan keasrian taman”. Harus diakui kita betah berlama-lama di kampus
ini disebabkan oleh taman yang nyaman, fasilitas kampus seperti Quiet Room dan
Wifi untuk mengakses jurnal-jurnal internasional.
Ucapan Selamat dan Komentar
296 | Mungkin Segalanya Mungkin
SATU TAMAN YANG MEMBERI WARNA-WARNI KAMPUS
Nurlaila Kemal Hasyim
(Mahasiswa S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Saya ingin menuliskan tentang
seseorang yang luar biasa “aneh” di
kampus UIN. Kisah ini bermula di selasar
arah menuju kantin. Hari itu aku sangat
terburu-buru, selain lapar juga harus
mengejar jam kuliah berikutnya. Di
sanalah aku berjumpa dengan beliau yang
akan kuceritakan tersebut.
“Mau ke mana, Nduk?" tanyanya
padaku. Spontan aku jawab, “...Eh Ust.
Assalamu'alaikum. Mau makan dulu, Ust.”
Beliau menimpali lagi. “Lho, kok makan
dulu. Bukan makan nasi, ya Nduk? Kupikir tadinya beliau serius, eh… rupanya
becanda. Aku tersenyum pahit sambil ngeloyor pergi.
Peristiwa berikutnya terjadi di kelas, saat presentasi. Setelah dipersilakan,
mulailah kawanku membuka presentasinya. “Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu'alaikum. Wr. Wb. Terima kasih atas waktu yang diberikan. Saya akan
mencoba untuk mengemukakan...” Belum selesai kawanku berbicara, beliau sudah
nimpali. “Lho, kok mengemukakan. Tadi ada di belakang, ya?” Karuan aja kawanku
tertegun sambil celingak-celinguk. Ia baru paham setelah kelas geeerrr semua.
Demikianlah orang yang kukatakan luar biasa itu, Ust. Wito.
Lagi-lagi aku bertemu dengan Ust. Wito, kali ini di taman. Seperti biasanya
aku berjalan seperti orang yang sedang “kejar tayang”, setengah berlari maksudku.
Setelah mengucapkan salam seperti biasanya, beliau bertanya, "Nduk, gimana
disertasinya?" Dengan santai aku jawab, “Sedang cari masalah yang mau diteliti
Ust..." Beliau menanggapi “Lho, kok masalah dicari sih, Nduk? Jangan cari
masalah. Masalah itu harus ditemukan!” Ampun, kena lagi deh. “Ya… ya… ya...,”
aku mengangguk dan tertawa lebar. "Aduh saya lupa Ust, kalau saat ini saya
sedang berhadapan dengan Ust Wito." Aku berjanji, lain waktu aku sudah
menyiapkan jawabanku bila bertemu dengan beliau lagi. Entah kapan dan di mana
saja.
Yup! Ready....tak perlu menunggu waktu lama, karena beliau ini sudah jadi
"hantunya kampus" (datang paling awal dan pulang kadang paling akhir).
"Assalamualaikum, Ust.”, kataku seperti biasa. Beliau menjawab salamku. Kali ini
beliau bertanya, “Kok buru-buru Nduk, nggak duduk dulu?” Aha...kesempatan!
Aku jawab, “Lho, kok duduk dulu Ust? “Saya mau duduk sekarang.” “Yess!, kena
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 297
Ust!,” gumamku sambil tertawa riang penuh kemenangan. Tawa beliau berderai.
“Iya, ya…duduk sekarang.”
Entah yang keberapa kalinya aku bertemu lagi dengan Ust. Wito. Saat itu di
Kelas Gabungan Metodologi dan Penelitian Studi Islam (MPSI) pada akhir
perkuliahan. Beliau tanya pada kami semua, "Sebelum kita akhiri, apa ada di
antara kawan-kawan yang mau memberikan masukan atau komentar apa pun
tentang perkuliahan, dan lain-lain?” Nah aku merasa inilah kesempatannya. Aku
mengangkat tangan. "Silakan, Nduk," beliau mempersilakanku bicara. “Begini Ust.
saya mohon maaf kalau tidak berkenan, tapi saya rasa saya harus
menyampaikannya.” “Ya, silakan” jawab beliau lagi. “Saya dan kawan-kawan yang
lain, maaf kalau ada yang nggak setuju, agak kecewa dengan para dosen. Saat
konsultasi, beliau seenaknya corat-coret tesis dan disertasi kami. Padahal untuk
bisa menulis satu baris saja, kadang-kadang samedi seminggu nunggu wangsit
sambil shalat hajat dan lain-lain.” karuan saja teman-temenku, gerrrr. "Nah itu”
sambungku lagi. Saat konsultasi, beliau-beliau bilang, “Lha, kok begini? Kayak
skripsi saja, harus bisa lebih baik dong.” “Sreeeet!” beliau mencoret tesis kami.
Tentu saja hal ini membuat kami stress. “Mestinya kan, kami diberi saran kalau
salah atau kurang bagus lalu beri tahu bagaimana seharusnya. Kalau referensinya
kurang tepat, pinjamkan bukunya, atau kalau kalimatnya masih belum benar, beri
tahu kami seharusnya bagaimana. Beri kami solusi, gitu lho! Dengan sengit aku
berbicara bagai meluahkan ratapan hati yang lama dipendam.
“Dosen siapa, Nduk? nggak apa, disebutkan aja. Nanti kan bisa dikasih
masukan.” pinta beliau. Aku jawab, “Semuanya, termasuk Ust Wito sendiri.” “Lho,
kok saya, Nduk?” tanyanya kebingungan. “Ya, Ust. Wito juga. Sama saja dengan
yang lain.” teman-temanku riuh. Mereka tepuk tangan. Aku nggak ngerti tepuk
tangan untuk apa. Saat kelas usai, ada seorang ibu dari program studi Kesehatan
menghampiriku. “Makasiih Mbak Laila, pahlawanku” (Nah, lho?) “Kami mau
ngomong, nggak berani, Mbak. Makasih banget, ya Mbak. Kami setuju. Bener
banget tuh, Mbak...makasih, ya.” Berkali-kali sang ibu menyalamiku. Aku cuma
melongo sambil mesem-mesem. Yang jelas, aku merasakan dadaku agak lega.
Meskipun aku sudah sangat sinis padanya, namun aku yakin, Ust. Wito tidak
dendam. Buktinya, sejak peristiwa tersebut semua biasa-biasa kembali.
Memang kawan-kawan banyak yang mengeluh. Bingung setelah konsultasi.
Itu sebabnya aku senang sekali kalau ada dosen yang memberikan catatan harus
ubah ini menjadi itu, atau memberi saran sesuatu, dll. Dengan demikian, tentu kami
tentu akan merasa lega dan tahu apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Yang
terjadi selama ini malah sebaliknya, setelah selesai konsultasi kami seakan masuk
ke dalam hutan belantara paling gelap dekat sungai Amazon.
Aku yakin, jika para dosen pembimbing memberi arahan seperti itu,
meskipun harus kerja keras tetapi kami masih memiliki semangat untuk menulis,
karena masih ada setitik cahaya (beeeuh! segitunya!) Ini benar, sumpah demi Allah.
Suatu malam, satu menit pun aku tidak bisa tidur karena memikirkan disertasiku.
Ucapan Selamat dan Komentar
298 | Mungkin Segalanya Mungkin
Sampai-sampai aku meminta suamiku membacakan doa di ubun-ubunku agar aku
dapat tertidur. Syukurlah, habis subuh, aku akhirnya bisa tidur. Tentu saja, datang
ke quiet room menjadi terlambat.
Ayahanda kami yang satu ini adalah "warna lain" dari kehidupan kampus.
Satu warna berbeda yang membuat mozaik kampus terasa makin indah dan
colourfull. Beliau terkadang menyebalkan. Bayangkan, suatu saat pada ujian
proposal ada mahasiswa yang tidak lulus. Dengan tenang beliau mengatakan,
“Nduk, belum dikasih nilai dulu, ya? biar nanti hasilnya lebih bagus.” “Ampuuuun!
ujian proposal itu kan disiapkan pakai ritual puasa sunnat segala…hehehehe”.
Kalau dipikir-pikir, benar juga sih. Lebih baik begitu...ketimbang lulus dengan nilai
di bawah 85. Hal ini hanya mendatangkan aib buat keluarga di kampung yang sudah
ditinggal begitu lama (maaf jika terlalu mendramatisirnya).
Baiklah, aku harus mengakhiri tulisanku dengan mengatakannya sekali lagi
bahwa Ust. Wito itu adalah satu taman di antara taman-taman kampus. Selamat
Milad ke-60, Ust. Semoga senantiasa sehat, bahagia, penuh keberkahan dalam ilmu,
umur, kesehatan, keluarga, kehidupan...selamanya. Aamiin.
(Aku, sing ayu sejagat...Nurlaila Kemal Hasyim)
PERANCANG KURIKULUM BERBASIS RISET SPS UIN JAKARTA
Suryani
(Dosen STAIN Malikussaleh Lhokseumawe dan Mahasiswa S-3 Konsentrasi
Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
"Uţlubū al-'ilma wa lau bi al-șīn."
Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri
Cina. Begitu bunyi pepatah Arab yang sangat
populer itu. Selama ini, umat Islam melihat
pepatah itu sebagai salah satu dari
banyaknya dalil tentang kewajiban dan
keutamaan menuntut ilmu pengetahuan.
Awal perjumpaan mengenal Prof. Dr.
Suwito, MA sekitar tahun 2009-2011 di Kota
Lhokseumawe, saat beliau melakukan
kunjungan dinas luar dalam rangka
menyampaikan komponen kenaikan pangkat
bagi dosen PNS Kemenag. Setelah acara,
saya mencoba memberanikan diri untuk berkenalan kepada beliau bahwa saya
pernah menimba ilmu pendidikan sekaligus alumni di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pertemuan itu begitu berkesan seakan-akan sudah
terbayang beliau akan mendidik saya secara progresif dan inovatif.
Berselang beberapa tahun setelah itu, di tahun 2014 alhamdulillah saya
berkesempatan disekolahkan Diktis Kemenag RI melalui Beasiswa Studi program
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 299
doktoral. Dari sekian kampus PTAIN yang availlable, tanpa sedikit keraguan hati
saya untuk memilih UIN Jakarta sebagai kampus yang memperkuat basis keilmuan.
Meskipun sangat berat dengan segala konsekuensi variabel rumah tangga, akhirnya
saya memutuskan berangkat dari Lhokseumawe Aceh dengan status ‘long distance
relationship’ sementara dengan suami dan harus memboyong kedua anak tercinta
menemani bersafari mengejar asa di Jakarta. Tapi ketika mengenang sejarah Nabi
Muhammad Saw dan sejarah para ulama yang begitu banyak rintangan, namun
perjuangan mereka melahirkan orang-orang berilmu, takwa, dan bijak.
Pertemuan ilmiah beberapa tahun silam dengan Prof. Dr. Suwito, MA
pergumulan masyarakat akademik di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta mulai
semarak. Prof. Dr. Suwito, MA adalah sosok yang ‚humble’, wise, dan friendly.
Sosok kebapakan yang sangat pantas untuk dikagumi. Ini yang menjadi testimoni
saya pribadi tatkala mahasiswa-mahasiswinya bergumul, bermu'asyarah dengan
Profesor yang murah senyum ini. Menurut hemat saya, sependek pengetahuan, dan
setipis dzauq sasterawi saya, mungkin sedikit yang bisa disibak (eksplored) dari
sosok Prof. Dr. Suwito. Di antaranya beliau harus saya akui memiliki karakter yang
khas atau distingsi, asyik, lucu, bahkan keunikan lainnya ketika mengajar di kelas,
di mana dalam mengemas metode pengajaran atau memberikan mata kuliah yang
menurut saya sangat out of the box, faridun min nauihalah.
Terlebih lagi Profesor di pikiran saya merupakan seorang motivator dalam
ranah keilmuan, pengembang akademik, dan mahasiswa selalu diarahkan pada riset
yang bisa dibaca dunia baik dalam penulisan makalah, jurnal, tesis, dan disertasi di
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Selain itu beliau senantiasa menjalin hubungan
dan kerjasama dengan universitas-universitas terkenal baik di dalam maupun luar
negeri.
PROFESOR MOTIVATOR SPS UIN JAKARTA
Irawan
(Dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung dan
Mahasiswa S-3 Pemikiran Islam SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Angkatan 2014)
“A student who has no study skills is
like a person with a driving license but can’t
drive.” Ungkapan Respicius Rwehumbiza ini
mengandung pelajaran bahwa meskipun suatu
perguruan tinggi memberikan berbagai
fasilitas dan tenaga pendidik secara lengkap,
maka hal ini tidak akan menjadikan para
mahasiswa terampil dalam menulis, meneliti,
dan berkompetisi selama keterampilan (skill)
itu tidak diajarkan atau dibimbing oleh para
Ucapan Selamat dan Komentar
300 | Mungkin Segalanya Mungkin
sivitas akademika di perguruan tinggi. Bahkan ketidakjelian civitas akademika
dalam melihat peluang akan menjadikan mahasiswa dan lulusan sulit berkompetisi
di tingkat nasional dan internasional (di bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan
sebagainya). Barangkali benar apa yang dikatakan Killosophy Criss Jami “If you
want to find the real competition, just look in the mirror. After awhile you'll see
your rivals scrambling for second place”.
Untuk meningkatkan kompetensi akademik para mahasiswa dan lulusan
sebagaimana asumsi di atas, setidaknya, telah dilakukan oleh Prof. Dr. Suwito, MA.
Semasa menjabat Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan selaku guru besar, beliau telah mendesain kurikulum, infrastruktur, dan
cara menulis kualitas karya ilmiah yang kompetitif dan layak dibaca dunia. Secara
pribadi, sejak kuliah di kampus ini, saya menemukan jati diri sebagai seorang
ilmuan dan pemikir yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan dan informasi
sehingga pemikiran yang bersifat analisis-kritis-filosofis ditemukan. Hal ini
tentunya tidak terlepas dari metodologi yang baik dan ketangkasan, kejelian, dan
update perkembangan ilmu pengetahuan setiap saat yang dilakukan oleh Prof. Wito
(begitu panggilan akrab para mahasiswa kepadanya) dan tim.
Kedisiplinan, tanggung jawab, integritas, dan kewibawaan memancar dari
diri Prof. Wito dan sekaligus diimplikasikannya dalam rutinitas kegiatan kampus.
Karakteristik kharismatik beliau akan menjadi teladan bagi para mahasiswa. Hanya
Allah yang dapat membalas segenap pengorbanan dan keikhlasan beliau.
Mendownload jurnal tuk menulis makalah
Sambil duduk di sebelah utara
Semoga Prof. Wito mendapat rahmah
Sebagai balasan telah mendidik mahasiswa
KESAN DAN HARAPAN TERHADAP PROF. DR. SUWITO, MA.
PADA ULANG TAHUN KE-60.
Dr. Soedarto KD
(Alumni S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pertama-tama marilah bersama-sama
menghaturkan puja dan puji syukur ke
hadapan Allah SWT yang telah
menganugerahkan kepada kita semua, nikmat
iman dan Islam, serta nikmat-nikmat lainnya
yang tidak terhitung jumlah dan ragamnya.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
junjungan kita Rasulullah SAW, keluarga dan
para sahabat serta umat-Nya sampai akhir
zaman nanti, selamat dunia maupun akhirat.
Selanjutnya kepada Prof. Dr. Suwito,
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 301
M.A, perkenankan saya mengucapkan “Selamat berbahagia atas Ulang Tahun yang
ke-60, semoga panjang usia, dianugerahi umur yang barakah, dan senantiasa dalam
perlindungan, pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT, senantiasa menjadi
panutan bagi putra-putrinya. Aamiin.
Kenangan saya, Prof. Suwito banyak memberi inspirasi dan motivasi bagi
kemajuan studi saya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beliau seorang yang gigih, berdisiplin tinggi, pekerja keras penuh semangat,
penasihat dan “guru” yang baik. Setiap saya tiba di Kampus antara pukul 6.30 –
7.00 untuk download jurnal-jurnal, hampir dapat dipastikan beliau sudah duluan
berada di kampus, kadang sedang di halaman luar, atau di halaman dalam kampus
menikmati taman yang tertata apik. Kepada saya beliau sering minta saran terhadap
sesuatu, adakah yang kurang baik, atau kurang pas, demi perbaikan kampus kita ini,
ujarnya. Menurutnya perubahan ke arah yang lebih baik perlu dilakukan terus
menerus.
Dalam setiap konsultasi tentang judul Proposal Disertasi saya, beliau selalu
memberi petunjuk yang sangat berharga. “Jangan berhenti, jalan terus, coba terus,
maju terus, nanti akan ketemu, katanya.” Betul juga pikir saya, hal ini sesuai dengan
ungkapan wong Jowo: “Ojo leren lamun durung kesel, yang artinya: Jangan
berhenti sebelum capek (lelah)”. Entah konsultasi yang ke berapa kalinya, beliau
bilang: “karena latar belakang anda sarjana kehutanan, maka cari judul disertasi
yang merupakan perpaduan antara Kehutanan dan Ketuhanan.” Singkat dan
simpel, tetapi ternyata arahan ini cespleng bagi saya. Saya langsung ke bagian
sekretariat, dan langsung pula diberi surat pengantar untuk melakukan survei
pendahuluan ke beberapa Kabupaten di Jawa Barat, mencari lokasi penelitian yang
fakta dan masalahnya bisa menjadi rencana judul disertasi.
Setelah beberapa kali mengadakan survei awal, saya segera mengajukan
rencana judul awal Proposal, dan setelah beberapa kali konsultasi, saya maju ujian
Proposal, ternyata belum lulus, perlu perbaikan. Atas saran Tim Penguji, akhirnya
Proposal saya perbaiki dan kembali maju ujian saat itu Prof. Suwito sebagai Ketua
Tim Penguji. Hasilnya sangat membanggakan dan membesarkan hati saya. Hal
inilah yang menjadi prime mover yang mampu mendorong semangat saya untuk
terus maju, walaupun ada hambatan dan masalah. Beliau bilang: hadapi segala
kendala dan masalah yang menghadang, pasti ada jalan keluar. Betul Prof, Allah
berfirman dalam QS. [94]: 5-6 bahwa: “fa-inna ma'a al-'usri yusrā; inna ma'a al-
'usri yusrā, yang artinya: Setiap kesulitan pasti ada kemudahan.” Firman Allah ini
menjadi pemicu dan pemacu semangat saya. Dan Syukur alhamdulillah program
studi pascasarjana strata-3 saya, dapat selesai dalam tiga tahun (2012 s.d. Februari
2014).
Demikian kesan singkat saya Prof, sekali lagi saya mengucapkan Selamat
Ulang Tahun ke-60, semoga Prof. senantiasa diberkahi kesehatan, panjang yuswo,
bahagia dan selamat dunia akhirat, istiqamah dalam memberi contoh dan
Ucapan Selamat dan Komentar
302 | Mungkin Segalanya Mungkin
keteladanan, baik di lingkungan Kampus, maupun di lingkungan keluarga. Usia
boleh bertambah, namun semangat perubahan tak pernah padam. Aamiin.
KESAN TENTANG PROF. DR. SUWITO, M.A.
Dr. Ayatullah Humaeni, M.A.
(Alumni S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Dosen IAIN Sultan Maulana
Hasanuddin Serang Banten))
Saya alumni Sekolah Pascasarjana
(SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2014. Saya sudah mengenal nama Prof.
Dr. Suwito, MA., jauh sebelum saya
mengambil S-3 di SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Namanya sering
saya dengar dari dosen-dosen IAIN
Sultan Maulana Hasanuddin (SMH)
Banten yang kuliah di SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Beliau dikenal
sebagai profesor yang cukup teliti dan
strict dalam hal aturan.
Tahun 2010, ketika saya resmi
menjadi mahasiswa S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mulai banyak
berinteraksi dengan beliau, baik di kelas maupun di luar kelas. Saya mulai
mengenal sosoknya yang apik, teliti, disiplin, dan strict dalam berbagai hal.
Gaya mengajarnya yang khas, dengan guyonan-guyonan khas ‘ala Suwito’,
membuat kelas selalu dalam suasana fresh, penuh tawa, tapi tidak meninggalkan
esensi materi yang disampaikan. “Hati-hati kalau bicara di hadapan Prof. Dr.
Suwito, M.A.!”, itu yang saya tangkap dari kawan-kawan saya satu angkatan. Hatihati
di sini bukan berarti kita tidak boleh bicara. Tapi, penggunaan kata-kata atau
kalimat yang salah, bisa jadi alasan beliau untuk mengkritik, tentu dengan gaya
khas nya yang penuh canda.
Soal ketelitian, disiplin, dan strict, Prof. Dr. Suwito, M.A. saya kira salah satu
contoh dosen yang perlu ditiru dan diteladani. Saya ingat betul pengalaman buruk
saya, tapi berujung manis bersama beliau. Dulu ketika saya meminta kebijaksanaan
beliau agar saya diperbolehkan hanya mengikuti Ujian WIP (Work in Progress)
hanya 2 atau 3 kali saja (di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, WIP harus
dilakukan 4 kali), beliau tidak mengizinkan. Padahal waktu itu, saya meminta
kebijaksanaan beliau karena satu alasan yang menurut saya saat itu sangat penting.
Saat itu saya mau mengejar supaya ketika saya Sidang Terbuka, ayah saya masih
ada. Saat itu ayah saya sedang sakit parah, karena penyakit jantung, dan sudah
bolak-balik rumah sakit. Tapi beliau tidak mengizinkan, dan saya harus tetap ikut
WIP 4 kali, dan merevisi berkali-kali draft disertasi saya. Akhirnya dengan perasaan
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 303
dongkol, saya menyerah dan menjalani aturan yang ada. Setelah WIP ke-4, ayah
saya meninggal dunia dan tidak sempat menghadiri Sidang Terbuka saya. Dari
pengalaman ini, saya memahami dan belajar satu hal dari Prof. Dr. Suwito, M.A.
bahwa kita tidak boleh melanggar aturan yang sudah kita buat.
Ketelitiannya dalam hal penulisan karya ilmiah pun tidak diragukan lagi.
Zero Tolerance yang diterapkan oleh SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta betulbetul
ia aplikasikan. Tidak boleh ada kesalahan-kesalahan bodoh (Stupid Mistakes)
dilakukan oleh mahasiswa dalam hal teknis penulisan karya ilmiah. Dalam hal ini,
beliau juga sangat strict. Proses penulisan disertasi menjadi lebih lama karena kita
diharuskan teliti dalam hal teknis penulisan disertasi. Tapi dari pengalaman ini, saya
juga mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman berharga dalam hal menulis
karya ilmiah. Disertasi saya dua kali mendapatkan penghargaan sebagai Salah satu
disertasi terbaik Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia. Saat ini,
disertasi saya sudah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dan sedang dalam proses
editing akhir untuk diterbitkan di penerbit bereputasi Internasional, yang didanai
oleh DIKTIS Kementerian Agama RI dalam program Idis Chow. Tentu apa yang
saya capai tidak lepas dari bimbingan dan masukan dari para pembimbing dan
penguji, termasuk Prof. Dr. Suwito, M.A.
Satu hal lagi yang menarik dari diri Prof. Dr. Suwito, M.A. adalah bahwa
meskipun ia sudah menjadi Profesor dan menduduki posisi strategis di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, ia tetap menjadi sosok yang low profile. Di tengah
kesibukannya, ia masih sempat menegur dan berbincang dengan para mahasiswa.
Telp, sms dan e-mail dari mahasiswa pun selalu ia respon. Beliau juga sering
memberi nasihat dan masukan agar mahasiswanya produktif menulis, dan menulis
sesuatu yang layak dibaca dunia. Beliau ternyata tidak hanya menasihati saya ketika
saya masih menjadi mahasiswa aktif di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saja,
ketika saya sudah lulus pun, beliau masih terus menjalin komunikasi, memberi
kabar melalui sms atau media sosial lain. Selalu mensupport saya untuk terus
berkarya dan cepat menjadi Profesor.
Banyak aspek lain yang saya kagumi dari kepribadian Prof. Dr. Suwito, MA.,
ia guru besar yang ramah, peduli, dan mau sharing pengetahuan dan pengalamannya
kapan saja. Ia salah satu contoh guru besar yang patut diteladani dalam hal
kedisiplinan, ketelitian, dan kebersahajaan.
Serang, 15 November 2015
Penulis,
Dr. Ayatullah Humaeni, MA
Dosen IAIN SMH Banten
Alumni SPs UIN Syarif Hidayatullah tahun 2014
E-mail: ayataditya@yahoo.com, HP. 081911036305
Ucapan Selamat dan Komentar
304 | Mungkin Segalanya Mungkin
OTOBIOGRAFI 60 TAHUN PROF. DR. SUWITO, M.A.
Dr. Aprilliantoni, MSE
(Alumni S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Mengenal beliau selama satu
tahun lebih seperti mata air yang tidak
pernah berhenti mengalir, penuh
dengan ide-ide segar yang tak
terbayangkan sebelumnya, dibanding
ketika mengambil studi di Perguruan
Tinggi lain. Bagi yang baru
mengenalnya, mungkin akan merasa
sedikit tidak nyaman dengan gayanya,
kalimat-kalimatnya yang out of the box,
joke nya yang kadang-kadang
mengagetkan bagi pendengarnya.
Namun ternyata ada dorongan inspirasi
dan motivasi agar para mahasiswa
selalu maju dan mempunyai energi positif. Bagi mahasiswa yang paham, maka akan
mengamini dan sami’na wa atha’na.
Mulanya saya sempat under estimate dengannya karena banyaknya begawanbegawan
yang sudah popular di tingkat nasional di Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta. Namun ternyata anggapan tersebut pupus, setelah bergaul dan mendapat
pencerahan darinya di kelas. Sikapnya yang patut ditiru adalah kepeduliannya
terhadap pendidikan. Suwito merelakan waktunya mulai pagi sampai malam untuk
memikirkan kegiatan belajar, bahkan di saat mahasiswa sudah tiba di kampus pukul
06.30, ternyata keberadaannya sudah lebih dulu di Pasca. Bahkan teman mahasiswa
yang belajar sampai larut malam masih menemui keberadaannya. Terbukti selama
kepemimpinannya, hampir tidak pernah ada kelas kosong. Hal ini menunjukkan
responsibility nya terhadap dunia pendidikan.
Semangatnya dalam manajemen pendidikan sangat detail, selain itu Suwito
adalah pribadi yang bersahaja dan rendah hati. Keberhasilannya dalam membangun
Sekolah Pascasarjana tidak pernah diklaim sebagai keberhasilan dirinya. Sebagai
contoh karyanya adalah kenyamanan dan keindahan taman Pasca, keberadaan Quiet
room, standarisasi belajar seperti Work in Progress (WIP), ujian pendahuluan dan
promosi. Selanjutnya mahasiswa wajib menguasai dua bahasa asing selain Bahasa
Arab dan Bahasa Inggris, patut diacungi jempol, bahkan ada seorang professor UI
yang terheran-heran dengan suasana belajar di taman Sekolah Pascasarjana (SPs)
yang tak ada duanya.
Suwito juga seorang yang visioner, sehingga seakan mengerti ke mana arah
pendidikan tinggi bergerak. Ia adalah salah satu pelopor modernisasi pendidikan
tinggi di UIN seluruh Indonesia. Ia membangun jaringan dengan dosen-dosen
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 305
terbaik dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, sehingga tidak salah disebut
jika Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta menjadi imam /panutan UIN lainnya.
Keberhasilannya dalam mengelola dunia pendidikan tinggi, menjadikan ia
menduduki banyak jabatan penting baik di UIN maupun di luar UIN. Namun yang
masih menjadi pertanyaan beberapa pendukungnya, kenapa dia belum bias
menduduki posisi Direktur Pascasarjana UIN. Spekulasi yang berkembang karena
sikapnya yang humble sehingga tidak punya kendaraan politik yang dapat
mengantarkannya ke posisi tersebut, sepertinya hanya waktu yang akan
membuktikan hal ini.
Salam Hormat & Selamat Berkarya Prof
Dr. Aprilliantoni MSE
Dosen sebuah sekolah di kawasan Edutown Serpong
SELAMAT ULANG TAHUN KE 60 SEMOGA BERKAH ALLAH SELALU
MENYERTAI PROF SUWITO
Dr. dr. Suginarti, M.Kes
(Alumni S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pertama kali saya melihat Prof
Suwito 2010, sedang mengamati taman
kampus Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta. Kesan serius, angker, atau
orang Jawa Timur biasanya
menyebutkan “kereng”. Beliau
mempunyai postur tubuh yang ideal
dengan tinggi badan di atas rata-rata
orang Indonesia. Beliau sering
berkemeja putih, rapi dan hampir setiap
pagi mengamati atau cenderung
menikmati taman Sekolah Pascasarjana
yang memang hijau, dengan beraneka
bunga. Saya juga penikmat tanaman dan
bunga, maka dengan sendirinya saya sering berjumpa beliau sebelum pelajaran
dimulai. Minimal kami mempunyai ketertarikan yang sama yaitu peduli kehijauan
lingkungan dan sekaligus sebagai penikmat keindahan. Seiring dengan berjalannya
waktu dalam mengikuti proses pendidikan S-3 konsentrasi Agama dan Kesehatan,
maka saya lebih sering berkomunikasi dan lebih mengenal beliau sebagai orang
yang extrovert dan tidak hanya sebagai pendidik, pembimbing, tapi juga seorang
pengelola mahasiswa yang peduli terhadap mahasiswa-mahasiswanya beserta
lingkungannya.
Ucapan Selamat dan Komentar
306 | Mungkin Segalanya Mungkin
Sebagai pendidik/dosen saya mendapatkan materi kuliah Kajian Islam
Komprehensif khusus Teologi dan Tasawuf. Sebagai mahasiswa, yang selama ini
banyak berkecimpung dalam ilmu terapan, banyak merasakan keefektifan dalam
menangkap materi Kajian Islam Komprehensif yang disampaikan beliau. Walaupun
materi tersebut sifatnya abstrak, tetapi dengan penyampaian yang sangat sederhana
penuh canda akhirnya saya memahaminya. Misalnya penjelasan tentang
pengalaman batin sufi menyatu dengan Tuhan yang digambarkan hanya dengan
cara membuat simbol-simbol, seperti panah-panah atau setengah lingkaran, gambar
hati dan diakhiri gambar bulat. Awalnya saya sama sekali tidak memahami apa
yang dimaksud, tetapi sampai di rumah saya melihat-lihat kembali, merenungi
berulang-ulang symbol-simbol itu dan alhamdulillah saya baru mengerti prinsip
dasar tasawuf tersebut. Sebelumnya sudah sering saya membaca berbagai buku
tentang tasawuf tetapi tidak pernah mengerti apa yang diuraikan si penulis buku. Di
situ saya baru menyadari bahwa orang-orang seperti Prof. Suwito inilah yang
dibutuhkan untuk mengajar prinsip-prinsip dasar sesuatu yang abstrak tetapi mudah
dipahami oleh mereka yang terbiasa dengan ilmu terapan. Betul memang yang
dikatakan orang bijak bahwa orang yang cerdas adalah yang mudah
menyederhanakan sesuatu yang sulit.
Sebagai pembimbing mahasiswa, dalam berkomunikasi sering melontarkan
kata-kata yang membuat saya mesti berhati-hati menjawabnya, karena sering
pertanyaanya di luar norma yang berlaku, sehingga menjawabpun harus berhatihati.
Lesson learn yang saya dapat sejak itu jika berhadapan dengan siapa saja harus
menyimak pertanyaannya dulu baru jawab. Dengan seringnya berkomunikasi maka
kesan angker itu menghilang. Sebagai pembimbing beliau cukup teliti terutama
dalam segi materi. Mahasiswa seperti saya dengan background
kedokteran/kesehatan, dalam penyusunan disertasi sering terjebak dalam penulisan
substansi yang sifatnya teknis kedokteran/kesehatan beliau sering mengingatkan
saya dengan menulis “anda belajar Kajian Islam dan ubah 30 halaman dari 150
halaman yang telah ditulis pada draft disertasi ini”. Di situ saya baru berpikir dan
berulang-ulang membaca draft tersebut dan baru sadar jika terjebak dalam substansi
kedokterannya. Kesadaran saya kembali muncul dan sekali lagi sebagai murid saya
menaruh respect terhadap Prof dengan lontaran pemikirannya sederhana tapi
mampu mengubah mind set saya tentang Studi Islam. Berangkat dari tulisan Prof
Suwito yang awalnya menurut saya tidak reasonable, dan dengan perenungan yang
bertahap akhirnya saya mampu memahami apa yang dimaksud dengan mencari
jawaban sendiri dengan berpikir kritis dan mencari kesalahan sendiri. Lesson learn
dari itu atau sejak paham apa yang dimaksud Studi Islam yang sesungguhnya, maka
penulisan disertasi saya lebih lancer dan hal ini mempercepat studi saya dalam
menyelesaikan S-3. Sampai saat ini coretan-coretan beliau tetap saya simpan
sebagai kenangan.
Sebagai penanggungjawab pengelolalaan S-3, maka kami yang konsentrasi
Agama dan Kesehatan mendapat kesempatan mendiskusikan materi maupun
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 307
pengajar bidang kesehatan walaupun belum sempurna. Penataan sistem
perpustakaan pasca cukup mendapat perhatiannya, sehingga memudahkan saya
untuk mencari referensi. Namun sayang saya baru menemukan beberapa buku yang
berkaitan dengan Islam dan Kesehatan. Buku-buku karangan Prof. Suwito juga
sangat minim sekali. Pembenahan ruang belajar terutama out door dengan taman
yang makin rimbun hijau perlu diacungin jempol dan ini sangat memfasilitasi
mahasiswa untuk diskusi baik dengan sesama mahasiswa maupun dosen. Sistem
security card untuk mereka yang masuk Pasca UIN dibenahi secara efektif.
Demikian juga sarana prasarana sekolah seperti toilet sangat memadai
kebersihannya. Langkah awal memfasilitasi klinik untuk kesehatan mahasiswa
maupun karyawan telah dimulai.
PESAN
1. Jaga kesehatan di umur 60th dengan olah raga ringan tetapi kontinyu Prof.
2. Teruslah berkarya dengan karakter Prof yang unik seperti itu, tetapi sebagai
orang Jawa Prof harus sedikit senyum biar mahasiswa tidak segan untuk
berkonsultasi.
3. Kembangkan networking dengan universitas dalam maupun luar negeri untuk
mendapatkan buku-buku tentang Islam dan Kesehatan lebih banyak lagi.
4. Apabila Prof masih punya banyak waktu sebaiknya perbanyak menulis agar
selain kognitif terlatih baik, juga menghambat proses kepikunan. Dan yang
terpenting mahasiswa banyak membutuhkan share pengalaman Prof dalam
menyerderhanakan pengetahuan-pemgetahuan agama yang abstrak itu yang
dituangkan dalam bentuk buku.Saya yakin Prof banyak mempunyai ilmu
pengetahuan dan mungkin belum semuanya di-share ke mahasiswa.
Terakhir saya sebagai murid, sangat berterima kasih karena Prof telah
berusaha mendidik membimbing saya yang temperamental ini, dengan telaten di
UIN Jakarta sehingga terbentuk seperangkat nilai-nilai positif yang member warna
pada kepribadian saya dan hal ini sangat bermanfaat untuk kehidupan saya,baik
sebagai dokter, pengajar maupun berhubungan social dengan masyarakat atau pun
sesame profesi.
Bekasi 28 September 2015
Suginarti / Mhsangk 2010
Ucapan Selamat dan Komentar
308 | Mungkin Segalanya Mungkin
PROFESSOR SOEWITO YANG SAYA KENAL
Any Widayatsari Soekadji
(Dosen Univeristas Riau/Alumni S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Saya pertama kali bertemu
Professor Soewito pada akhir 2010,
ketika saya menjadi mahasiswa baru di
Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta.
Pada awalnya saya tidak memiliki
penilaian yang positif tentang Pak Wito -
begitu beliau biasa di panggil. Saat itu
saya merasa Pak Wito adalah seorang
yang membingungkan, sedikit galak, dan
kebiasaan beliau yang selalu detail dalam
penggunaan kata dalam sebuah kalimat
mencegah saya untuk mengajukan
pertanyaan karena takut menyususun
kalimat yang salah. Di samping juga
jawaban-jawaban beliau atas pertanyaan-pertanyaan sangat tidak umum, sehingga
berkonsultsi dengan beliau justru membuat saya semakin bingung.
Sesuai dengan berjalannya waktu saya mulai melihat bahwa beliau jauh
melebihi apa yang ditampilkan di permukaan. Baik dari segi keilmuan, manajerial
dan perencanaan. Setiap pagi Pak Wito selalu berdiri di lobby dan menyapa
mahasiswa dengan pertanyaan-pertanyaan khas nya “Bagaimana nduk, susah ya
sekolah di sini?” dan untuk keluhan tentang beratnya belajar di Pasca beliau akan
menjawab “Ya, kalau sekolah di sini itu memang tidak normal, iya to?”. Entah
bagaimana pertanyaan dan jawaban di atas justru menjadi salah satu penguat saya
untuk terus berjuang keras menyelesaikan disertasi saya. Mungkin karena statement
tersebut membuat saya tidak merasa menjadi satu-satunya manusia tidak normal.
Pendapat saya akan kediktatoran Pak Wito, berubah ketika saya menyadari
bahwa meskipun SPs memiliki aturan dan ujian yang berat, namun mahasiswa
diberi fasilitas untuk mempermudah mereka. Fasilitas mahasiswa menurut saya
adalah yang terbaik dari semua universitas yang pernah saya kunjungi. Ruang
belajar yang nyaman dan terbuka 24/7 bagi mahasiswa, kampus dengan taman yang
asri dan fasilitas wifi di seluruh penjuru kampus serta keamanan yang dijamin
dengan adanya CCTV di setiap sudut kampus. Pola pendidikan keras dengan pola
autodidak melalui berbagai peraturan, denda, dan ujian-ujian yang seakan tiada
habisnya dapat dianalogikan sebagai kawah candradimuka. Bila mahasiswa berhasil
lulus dari SPs, maka mahasiswa akan memiliki standar yang tinggi dan mampu
mengatasi apapun dalam lingkup penelitian dan akademik. Saya yakin Pak Wito
bahkan menyadari kegelisahan mahasiswa dalam penyelesaian studi mereka karena
SPs pernah menerbitkan buku kumpulan doa anti galau bagi mahasiswa.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 309
Saat ini saya melihat Prof. Suwito sebagi sosok Bapak yang saya hargai dan
hormati. Saya sangat bersyukur ketika tanpa diduga beliau menjadi salah satu
penguji di ujian promosi saya, adalah kebahagiaan tersendiri diuji oleh paling tidak
salah satu dari pendidik yang telah membimbing selama 5 tahun saya di SPs.
Meskipun jarang membicarakan masalah keilmuan di luar kelas, Prof Suwito
memiliki kedalaman ilmu pengetahuan dan pengalaman yang tidak yakin akan
mampu saya tandingi pada saat saya mencapai usia yang sama. Bagaimanapun saya
berharap masih dapat menimba ilmu dari beliau (saya yakin beliau akan berkata
“koq menimba, saya kan bukan sumur”) bahkan setelah saya lulus dari SPs UIN
Jakarta.
Selamat ulang tahun Prof, semoga Allah melimpahi Prof dengan kesehatan
dan panjang usia sehingga dapat terus mendidik generasi berikutnya dengan
pengetahuan dan perluasan cakrawala berpikir.
(Any Widayatsari Soekadji – Mahasiswa Program Doktoral PPS UIN angkatan
2010).
“MY HERO”
Nur Arfiyah Febriani
(Dosen PTIQ Jakarta/Alumni S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
Saya ingin memulai testimoni saya
dengan menyatakan bahwa Pak Wito
adalah pahlawan bagi saya, karena beliau
adalah salah satu tokoh sentral yang
memberi kontribusi besar dalam
perjalanan hidup dan karir saya. Pak
Wito, begitu nama panggilan kami
kepada beliau, adalah sosok dosen yang
istimewa, tulisan ringan ini akan
mengungkapkan mengapa beliau begitu
istimewa di mata saya.
Keistimewaan pertama Pak Wito
adalah, beliau sangat kooperatif dan
sangat senang membantu mahasiswa. Contohnya dan ini salah satu hal yang
mendasari saya menjadi diri saya yang sekarang, ketika saya terbentur suatu
masalah teknis di akhir revisi tesis saya, beliau yang membantu saya mengatasi
masalahnya. Tidak cukup sampai di situ, beliau juga memberi saya surat
rekomendasi untuk mendaftar S-3 sambil menasihati saya: “Suatu masalah, jangan
menjadi penghalang kebahagianmu untuk terus belajar dan sukses Nduk, kamu
harus lanjut kuliah. Kamu harus terus berusaha yang terbaik dan tawakkal ya
Nduk”. Surat dan nasihat Bapak saat itu, saya sambut dengan ucapan terima kasih
dan mohon doa restu beruraikan air mata. Saat itu saya berjanji dalam hati, saya
Ucapan Selamat dan Komentar
310 | Mungkin Segalanya Mungkin
akan berusaha yang terbaik yang saya mampu dalam belajar untuk membuktikan
kepada Bapak, bahwa pertolongan Bapak kepada saya, tidak akan sia-sia.
Bapak selalu menyebut saya dengan panggilan “Nduk”, itu panggilan yang
sangat istimewa bagi saya, karena beliau adalah satu-satunya orang di dunia ini
yang memanggil saya dengan panggilan itu. Saya lahir dari keluarga Betawi, orang
tua saya biasa menyebut saya dengan panggilan “Neng”. Jadi, saya merasa setiap
kali beliau memanggil saya dengan panggilan itu, saya selalu merasa bahwa saya
sedang dipanggil oleh ayah saya. Saya menemukan sosok ayah dalam kepribadian
Pak Wito yang begitu bersahaja. Saya seperti mendapat ayah baru, karena saat saya
S-3, ayah saya sudah berpulang kepada Sang Pencipta. Kedekatan emosional itu
sangat membantu mood dan semangat saya dalam kuliah, karena saya jauh dari
keluarga.
Hari terus berlalu, proses belajar mengajar di UIN Jakarta saya lewati dengan
bahagia. Mengapa? Ini keistimewaan Pak Wito yang kedua, beliau sangat perhatian
dengan para mahasiswa. Tidak jarang dalam interaksi kami sehari-hari di kampus,
saat kami bertemu selalu ada percakapan hangat. Beliau sering bertanya kepada
saya: “Nduk, apa kabar? Bagaimana kuliahmu?”. Bapak bahkan paling tau progress
penulisan disertasi saya karena Bapak selalu bertanya: “Nduk, bagaimana
Disertasimu?”. Saat saya sudah lulus dan suka mendatangi kampuspun Bapak tetap
perhatian dengan menanyakan “Nduk, sibuk apa saja kamu sekarang?”.
Bagi saya itu semua bukan sekadar pertanyaan, tapi kedekatan emosional
yang Pak Wito ingin jalin dengan mahasiswa begitu terasa. Pertanyaan-pertanyaan
Pak Wito ini, menginspirasi saya melakukan hal sama terhadap mahasiswa saya di
Pascasarjana PTIQ Jakarta. Secara psikologis, cara ini memang ampuh untuk
menghilangkan jarak antara dosen dan mahasiswa.
Bahkan uniknya, dan beliau adalah satu-satunya dosen yang melakukan itu
kepada saya. Setiap momen hari raya, beliau yang selalu pertama kali yang
mengucapkan selamat hari raya dan mohon maaf lahir batin kepada saya dan
keluarga. Ucapan yang begitu tulus, saya sangat salut dan merasa malu dengan
beliau, karena seharusnya saya yang melakukannya terlebih dahulu. Demikian saat
bertepatan dengan hari-hari bersejarah atau ada acara-acara penting di UIN Jakarta,
beliau selalu intens memberikan kabarnya kepada kami sampai saat ini.
Keistimewaan Bapak yang ketiga adalah, Bapak sangat komunikatif dan low
profile. Bapak tidak sungkan untuk bertanya tentang pendapat mahasiswa. Saat
Bapak sedang mengawasi renovasi gedung kampus dan taman kampus misalnya,
Bapak bertanya: “Nduk, apa yang kurang menurutmu dari kampus kita ini?”, atau
jika saya kebetulan lewat di depan beliau, Pak Wito suka memanggil saya: “Nduk,
sini.. bagus tidak taman kampus kita Nduk?”. Saya selalu menjawab dengan
senyum, “Kampus kita sangat indah Bapak”.
Namun ada satu pertanyaan Bapak yang membuat saya kaget dan terharu,
suatu hari Bapak bertanya kepada saya: “Nduk, apa kamu membenci saya karena
berbagai peraturan yang ada di pasca memberatkanmu untuk menjadi seorang
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 311
doktor?”. Saya menjawab: “Bapak, bagaimana mungkin saya membenci Bapak,
kalau bukan karena berbagai kebijakan pasca, mungkin saya tidak akan senang
melakukan riset dan menulis karya ilmiah. Memang sulit bagi kami, tapi kebijakan
ini membuat kami jadi banyak belajar Pak. Saya justeru ingin berterima kasih
kepada Bapak”.
Memang, sebagai ahli tentang Ibnu Maskawih (Disertasi Pak Wito tentang
Ibnu Maskawaih), saya melihat Pak Wito banyak belajar dari tokoh yang dikenal
sebagai “Bapak Etika Islam” tersebut. Ibn Maskawaih terkenal sebagai tokoh yang
aktif dalam berkarya seputar Filsafat Akhlak dan karya lainnya. Hal ini terbukti
melalui karakter Pak Wito yang juga sangat kharismatik dan hasil pemikiranpemikiran
beliau yang tertuang dalam karya akademis beliau. Hal ini rupanya yang
ingin juga beliau tularkan kepada kami para mahasiswa.
Saya bahkan selalu mengatakan kepada teman-teman, bahwa Pak Wito
adalah tokoh Tiga serangkai Pascasarjana UIN Jakarta, bersama Dr. Fuad Jabali dan
Dr. Yusuf Rahman. Mereka adalah para tokoh yang berjuang jiwa dan raga demi
peningkatan kualitas akademis di almamater kami tercinta. Karya Pak wito bersama
segenap dosen UIN Jakarta, terpampang nyata di rak buku karya ilmiah.
Jadi, di mata kami Pak Wito bukan hanya sekadar dosen di dalam kelas. Di
luar kelas, beliau cenderung bersikap sebagai seorang ayah bahkan teman “ngobrol”
yang asyik, yang tidak melulu bicara tentang kegiatan akademis. Menuangkan isi
hati dan pikiran di tengah taman kampus yang indah bersama beliau adalah salah
satu kenangan yang menyenangkan buat saya. Bagi saya beliau sukses menciptakan
“my campus is my second home”.
Sekelumit tentang pujian saya terhadap Pak wito di atas menggambarkan,
beliau adalah sosok yang cerdas paripurna. Beliau sukses mendeskripsikan diri
sebagai sosok figur yang memiliki Spiritual Quotient, Emotional Quotient,
Intellectual Quotient, dan Adversity Quotient sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah saw. Isyarat ini dapat dilihat misalnya dalam Q.S. Ali Imran [3]: 164:
لَقَدْ مَنَّ للهَُّ عَلَى الْمُؤْمِنِینَ إِذْ بَعَثَ فِیھِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِھِمْ یَتْلُو عَلَیْھِمْ آَیَاتِھِ وَیُزَكِّ یھِمْ وَیُعَلِّمُھُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ
كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِینٍ
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-hikmah dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (Q.S. Ali Imran [3]: 164).
Demikian hal itupun diajarkan Pak Wito kepada kami. Cara ampuh tahapan
Rasulullah dalam mendidik para sahabat dalam ayat itu, terasa betul dilakukan oleh
Pak Wito terhadap saya dan teman-teman. Kami tidak hanya dididik dengan
pendekatan spiritual, emosional dan intelektual, tapi kami juga diajarkan untuk
bagaimana dapat survive dalam hidup, dengan mengambil keputusan dan bertindak
yang bijak dalam setiap aktivitas.
Ucapan Selamat dan Komentar
312 | Mungkin Segalanya Mungkin
Pujian untuk Pak Wito bukan hanya datang dari mahasiwa. Saya ingat betul,
di saat kuliah dengan Prof. Malik Fadjar tahun 2009 lalu di kampus kebanggan
kami Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, beliau pernah berkata: “Suatu institusi
tidak akan dapat berkembang optimal tanpa adanya orang “gila” di dalamnya.
Orang yang “gila” dalam bekerja keras menuangkan segala ide kreatif dan
mewujudkan visi dan misi institusi. Pascasarjana bersama segenap keluarga
besarnya, memiliki banyak orang gila itu, dan yang paling gila di antara mereka
adalah Pak Wito.” Sontak kami tersenyum lebar dan setuju dengan yang diucapkan
Pak Malik saat itu. Pak Wito memang sosok yang sangat gigih dalam mewujudkan
visi dan misi Pascasarjana UIN Jakarta.
Usaha keras yang dilakukan oleh Pak Wito, Prof. Azyumardi Azra dan
seluruh dosen kami tercinta di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, banyak melahirkan alumni-alumni berkualitas yang mengabdi untuk agama
dan negeri. Kebijakan tentang Disertasi atau Tesis yang harus diterbitkan untuk
syarat mengambil ijazah, membuat kami bergerak menerbitkan tulisan kami. Jadilah
disertasi kami dibaca dunia. Sesuai dengan moto Pascasarjana UIN Jakarta:
Membaca dan Dibaca Dunia. Alhamdulillah disertasi saya kini menjadi referensi
bagi penulis di dalam dan luar negeri. Bahkan disertasi saya menjadi bahan
penelitian oleh beberapa peneliti dari kampus UIN Jogja, ANU di Australia dan
Universitas Cairo di Mesir.
Tulisan dari teman-teman pascasarjana yang lain juga banyak diterbitkan, dan
menjadi contoh ideal dalam dinamika pemikiran kajian Islam. Ini menjadi
barometer kemajuan Islam dengan bermunculannya karya-karya ilmiah yang
berkualitas.
Sekadar tahadduts bi al-ni‘mah, yang saya ceritakan bukan apa yang saya
ingin nampakkan. Dampak dari ajaran Bapak tentang tawakkal membuat saya
banyak belajar bahwa: “Makin kita tawakkal makin jalan terbuka lebar, makin
tawakkal makin tenang dan semangat dalam melalukan yang terbaik, apapun hasil
dari usaha yang telah dilakukan, itulah ketetapan terbaik dari Allah, dan itulah
bentuk keridhaan Allah kepada kita agar kita secara kontinyu semangat belajar”.
Semangat ini yang pada akhirnya alhamdulillah mengantarkan saya menjadi
wisudawan Doktor terbaik UIN Jakarta 2011 lalu dengan predikat Cumlaude.
Hasil diskusi panjang lebar kami, tertuang dalam Disertasi saya dengan judul:
Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif al-Quran yang alhamdulillah telah
diterbitkan oleh Mizan Oktober 2014 lalu dan alhamdulillah mendapat respon
positif dari pembaca. Ajaran Bapak agar senantiasa berpikir dan bertindak bijak,
saya tuangkan dalam Disertasi. Tulisan yang baik adalah, tulisan yang memecahkan
masalah bukan tulisan yang provokatif. Jadilah ilmuan moderat, karena kita diutus
menjadi “ummatan wasathan”, pesan Bapak yang lain terhadap saya.
Saat ini, saya diamanahi sebagai Ketua program studi Ilmu al-Quran dan
Tafsir Program Doktor Intitut PTIQ Jakarta. Ilmu yang saya dapatkan dari Bapak
dan segenap dosen tercinta, saya bawa kemanapun saya berada. Saya suka
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 313
berkelekar: “Berkah ilmu dari Bapak, saya juga diamanahi kesempatan yang sama
dengan Bapak”. 
Terima kasih Bapak, terima kasih tiada terhingga atas segala curahan ilmu,
kasih sayang dan perhatian Bapak kepada kami semua. Bapak adalah dosen, Bapak
dan sahabat bagi kami mahasiwa Bapak. Semoga segala rahmah dan barakah dari
Allah selalu menyelimuti hari-hari bapak, semoga kesuksesan dunia dan akhirat
menjadi tanda keridhaan Allah kepada Bapak dan kita semua, Aamiin Ya Rabb al-
‘Alamiin 
My Hero,
It is because you save me from the hardest war
You are my bright star
You save my mind, my heart and my soul
You guide me how to live and wake up when I fall
You show me how to be myself without hurt somebody else
Spread the love, always cares and shares
work endlessly
establish yourself, family and country.
Karawang, 26 Agustus 2015
Nur Arfiyah Febriani
TOKOH PENDIDIK INSPIRATIF
Muh. Idris
(Dosen IAIN Manado/Alumni S-3 SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Berbicara seorang tokoh,
semisal Prof. Dr. Suwito, MA,
tentulah tidak dapat dipisahkan dari
komunikasi yang telah dibangun
selama saya menjadi mahasiswa di
Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN
Jakarta tahun 2005 - 2008. Tentunya
komunikasi itu hingga kini masih
terbangun dalam hal pengembangan
wawasan dan cakrawala berpikir
seputar pendidikan dan implikasinya
terhadap kemajuan Perguruan Tinggi.
Saya mengenal Pak Wito,
begitu panggilan akrab beliau oleh
mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta pada tahun 2003, dua tahun sebelum
saya terdaftar sebagai mahasiswa S-3 konsentrasi Pendidikan Islam UIN Jakarta.
Ucapan Selamat dan Komentar
314 | Mungkin Segalanya Mungkin
Ketika itu Pak Wito diundang oleh Ketua STAIN Manado Alm. Drs. Danial Alwi,
SH, M.Pd.I sebagai narasumber kegiatan Seminar. Satu hal yang menarik bagi saya
waktu itu adalah ungkapan beliau bahwa Nabi Muhammad itu sahabat kita.
Pernyataan beliau ini menimbulkan pertanyaan bagi saya kalau begitu Pak Wito
Sahabat Nabi Muhammad? Lalu dijawab beliau bahwa Iya… Nabi Muhammad kan
bukan musuh kita.
Jawaban Pak Wito ini sungguh dalam maknanya dan dapat dipahami bahwa
dalam kehidupan ini tidak ada atasan dan tidak ada bawahan, yang ada adalah
sahabat, partner, dan mitra kerja dan atasan tertinggi hanyalah Allah SWT. Pikiranpikiran
tersebut tertanam dalam jiwa saya dalam membangun semangat mitra
kesejajaran.
Ketika saya kuliah di SPs UIN Jakarta dan beliau adalah salah seorang di
antara dosen saya yang mempunyai cara mengajar yang khas. Banyak ilmu yang
beliau sampaikan yang berguna untuk kemajuan lembaga pendidikan tinggi Islam,
baik berdasarkan pengalaman beliau yang sudah matang di bidang birokrat maupun
sebagai dosen senior. Pak Wito menyatakan bahwa mengubah perguruan tinggi
untuk maju dan jaya itu tidak mudah, dan lebih tidak mudah lagi mengubah dosen
dan karyawan yang ada pada lembaga tersebut. Lalu dicontohkan bahwa Nabi
Muhammad saja di tanah Arab banyak musuhnya dan musuh-musuhnya ada di
kalangan keluarga sendiri. Apa lagi kita semua ini yang ada di Ciputat pasti ada
musuh kita. Bila kita mengkaji sejarah manusia mulai dari Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad dapat dipahami semuanya punya musuh. Musuh-musuh inilah yang
membuat manusia terangkat derajatnya di panggung sejarah sepanjang masa. Nabi
Adam dapat terkenal karena Iblis, Nabi Musa dapat terkenal karena Fir’aun, Nabi
Ibrahim dapat terkenal karena Namruz dan Nabi Muhammad SAW dapat terkenal
karena adanya Abu Jahal, Abu Lahab. Rupanya musuh penting disikapi dengan baik
karena dapat memperkuat keilmuan dan keimanan seseorang sehingga tampil
sebagai pemimpin yang tangguh di panggung sejarah.
Pada suatu hari ketika berdiskusi dengan kawan-kawan kelas di bawah pohon
depan ruang perkuliahan saya bertanya ke Pak Wito mengapa untuk menyelesaikan
studi di program doktor tidak mudah, banyak kesulitan dan penderitaan yang
dialami? Kata beliau untuk menjadi pemimpin itu selalu berhadapan dengan orangorang
yang suka berkeluh kesah, menderita dan kesulitan, maka bila menjadi
pemimpin kelak, kelola-lah mereka dengan baik agar dapat diingat dan dikenang.
Jawaban beliau ini dapat dipahami bahwa jika kelak nanti jadi seorang pemimpin
karena sudah merasakan sakitnya bila mengalami kesulitan dan penderitaan jangan
lagi memberikan kesulitan dan penderitaan yang sama kepada orang lain cukup
saudara yang merasakannya.
Sebagai seorang dosen Pak Wito sangat disiplin dalam mengajar. Beliau
selalu berusaha hadir di ruang kuliah tepat waktu meskipun beliau menjabat sebagai
ASDIR pada waktu itu. Ketika ada kegiatan penting lainnya yang membuat beliau
terpaksa tidak mengajar sesuai jadwal, pasti beliau mengkomunikasikan terlebih
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 315
dahulu. Rasa tanggung jawabnya sangat besar, sehingga nyaris tidak pernah
mengabaikan jadwal.
Pak Suwito sangat telaten dan teliti membaca tesis dan disertasi dan ketika
saya dibimbing beliau dalam menyelesaikan disertasi mengenai Pemikiran
Pendidikan A. Malik Fadjar pertama-tama ditanyakan adalah datanya, setiap
halaman ada catatan kaki lebih dari dua atau tiga buku. Apabila ada nama orang,
daerah, negara dan angka-angka dirujuk sumbernya kemudian dianalisis dengan
cermat dan teliti. Apabila menelaah seorang tokoh pendidik misalnya, setiap
halaman harus ada nama tokoh yang diteliti sehingga mendidik penulis agar lebih
teliti dan berhati-hati menulis seorang tokoh. Tiap halaman ada sumber buku lebih
dari dua buku kemudian ditelaah sehingga menghasilkan karya yang lebih baik.
Semua karya yang monumental sangat ditentukan banyaknya buku yang dibaca dan
dirujuk sumbernya secara jujur dan ilmiah.
Bila saya pahami pikiran-pikiran beliau dalam mendidik cenderung
“membebaskan dan membesarkan”. Beliau tidak pernah mengambil kesimpulan
sebuah masalah dalam sebuah diskusi atau seminar di kelas, namun memberikan
ruang pada mahasiswa untuk berpikir bebas dan objektif. Identik dengan dokter
dalam mendiagnosis penyakit tidak pernah menakut-nakuti pasien meskipun
penyakit tersebut berpotensi untuk melumpuhkan, namun memberikan sugesti
kepada pasien agar cepat sembuh.
Bagi saya Pak Wito bukan hanya sebagai tokoh pendidik tapi juga sebagai
Ayah yang baik dunia dan akhirat. Ayah di dunia karena beliau senantiasa
memberikan arahan dan bimbingannya dengan ikhlas dan penuh perhatian pada
mahasiswa dan anak-anak bimbingannya. Ayah di akhirat, karena disiplin ilmu
beliau yang ditanamkan termasuk pada saya sebagai anak didik masih terasa dan
membawa kesuksesan dan keselamatan hidup di akhirat jika diamalkan dengan
sebaik-baiknya.
Pak Wito sekarang ini sudah memasuki usia 70 tahun. Saya sebagai generasi yang
lebih muda, akan selalu mendoakan, semoga Bapak tetap sehat wal’afiat dan tetap
mengajarkan pada kami ketauladanan dan kearifan sehingga kami bisa mengikuti
jiwa dan semangat dengan mengisi kehidupan ini yang lebih bermakna.
Manado, 13 Septembar 2015
Ucapan Selamat dan Komentar
316 | Mungkin Segalanya Mungkin
MAS WITO YANG SAYA KENAL
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.
(Kawan Sesama Purek/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Persahabatan Saya dengan Mas
Wito, demikian biasa Saya memanggilnya,
sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1975
Saya mulai masuk Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Ilmu Agama (PAI),
sedangkan Mas Wito mulai masuk
Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Arab
pada tahun 1976. Jadi, Saya lebih dahulu
satu tahun masuk Fakultas Tarbiyah
dibandingkan Mas Wito. Namun dalam
menyelesaikan program doktor pada
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Mas Wito lebih
dahulu (28 November 1995) dibandingkan Saya (04 Maret 1997). Saya ingat
disertasi Mas Wito pada program doktor tentang konsep pendidikan akhlak Ibn
Miskawaih. Adapun disertasi Saya pada program doktor tentang konsep pendidikan
Ibn Sina. Jadi, saya dan Mas Wito berasal dari almamater dan mendalami bidang
keilmuan yang sama, yaitu tentang pemikiran pendidikan Islam. Lebih lanjut, saya
mengenal Mas Wito melalui beberapa karakter dan kebiasaannya sebagai berikut.
Pertama, Mas Wito Saya kenal sebagai orang yang rajin, tekun dan ulet.
Sebagai orang yang berasal dari desa dengan latar belakang kehidupan sederhana,
Mas Wito, sebagaimana halnya saya, nampaknya ingin mengubah nasib melalui
pendidikan. Semua orang tahu, bahwa pendidikan adalah pintu yang paling
strategis dan terukur yang dapat mengantarkan orang untuk dapat melakukan
mobilitas vertikal dan horizontal. Dengan pendidikan memungkinkan orang
memiliki modal untuk membangun relasi lebih luas; dan dengan pendidikan
memungkinkan orang memiliki modal untuk meningkatkan peran, fungsi dan posisi
pada level yang lebih tinggi. Teori ini nampaknya melekat pada diri Mas Wito. Ia
nampaknya percaya benar pada teori tersebut. Itulah sebabnya ia dari sejak kuliah,
sangat rajin, tekun dan ulet belajar. Sepengetahuan Saya, Mas Wito selain menekuni
pendidikan bahasa Arab pada tingkat Sarjana Muda (B.A.) dan Sarjana (Drs.), ia
juga tidak mengalami kesulitan dalam menguasai bidang ilmu lain, termasuk bidang
eksakta. Beberapa bidang ilmu yang tergolong agak rumit, seperti statistik dan
rumus-rumus kuantitatif lainnya ternyata juga dapat dikuasai dengan mudah oleh
Mas Wito. Itulah sebabnya, selain Mas Wito dapat mengajar mata kuliah bidang
pendidikan bahasa Arab, agama dan pendidikan Islam, ternyata ia juga dapat
mengajar metode penelitian yang menggunakan rumus-rumus korelasional dalam
penelitian kuantitatif, bahkan ia dapat mengajarkan mata kuliah statistik yang lebih
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 317
mudah dipahami oleh para mahasiswa daripada ketika mata kuliah tersebut
diajarkan oleh dosen statistik itu sendiri. Modal kerajinan, ketekunan dan
keuletannya itu ternyata telah membuahkan hasil yang manis. Perluasan jaringan
horizontal dan vertikal khususnya yang berkaitan dengan pengembangan ilmu dan
pendidikan akhirnya dapat diraihnya dengan baik.
Kedua, Mas Wito sebagai orang yang memiliki perhatian dan kegemaran
terhadap bidang IT (Information Technology) yang tergolong di atas rata-rata. Ia
begitu fasih dalam memanfaatkan teknologi informasi seperti komputer, laptop, dan
berbagai peralatan komunikasi lainnya. Saya ingat, ketika teknologi komputer baru
lahir yang masih menggunakan WS, Mas Wito termasuk di antara dosen yang lebih
awal menguasainya. Ketika Saya dan dosen lain masih membuat makalah dengan
mesin tik, Mas Wito sudah menggunakan komputer program WS. Saya sering
mondar-mandir ke rumah kediamannya di Jalan Bacang, Kampung Utan-Cempaka
Putih, Ciputat Timur, Tangerang Selatan Banten, untuk belajar komputer program
WS. Dengan demikian, Mas Wito adalah konsultan Saya dalam bidang IT. Selama
Saya belajar mengoperasikan komputer di ruang kerja di rumahnya itu, Saya juga
mengenal Mas Wito termasuk seorang kolektor yang serius. Hal ini Saya ketahui
dari jumlah koleksi buku dan bahan referensi lainnya yang jumlahnya mencapai
ribuan judul, dan tertata rapi pada beberapa rak dan lemari buku yang ada di
rumahnya.
Ketiga, Mas Wito sebagai orang yang kreatif, inovatif dan imajinatif. Selama
saya dan Mas Wito sama-sama menjabat sebagai pimpinan IAIN/UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada periode kepemimpinan Prof. Azyumardi Azra (1997-
2006), saya memperhatikan setiap hari ada saja ide atau gagasan yang diajukannya.
Jabatan sebagai Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Pengembangan Kelembagaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disandangnya, nampak begitu pas dengan
karakternya itu. Era transformasi IAIN menjadi UIN yang ditandai dengan program
Wider Mandate (Mandat yang Diperluas) dan pembukaan jurusan, program studi
dan Fakultas baru telah membuat daya kreativitas, inovasi dan imajinasi Mas Wito
makin tertantang dan berkembang. Lahirnya fakultas-fakultas baru, seperti Fakultas
Sains dan Teknologi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran,
dengan berbagai jurusan atau program studinya, sebagian besar diawali pada zaman
kepemimpinan Mas Wito. Karakter Mas Wito yang demikian itu sangat pas dan
sejalan dengan karakter yang saya miliki dan juga yang Prof. Azyumardi miliki.
Dalam keadaan demikian, muncullah semacam figur tri partit atau tree in one yang
solid. Prof. Azyumardi sebagai pengarah dan pemberi jalan, Prof. Suwito sebagai
yang mengisi arahan dan jalan tersebut dengan gagasan, kreativitas dan inovasinya;
sedangkan saya yang men-support sumber daya manusia, anggaran, sarana
prasarana dan fasilitasnya. Pada masa tree in one inilah terjadi transformasi IAIN
menjadi UIN, dan mengalami perubahan yang luar biasa yang mungkin tidak
diperkirakan orang sebelumnya. IAIN/UIN yang dahulunya dilihat sebelah mata,
mahasiswanya minder, dan gedungnya seperti “pabrik kaos” tiba-tiba berubah
Ucapan Selamat dan Komentar
318 | Mungkin Segalanya Mungkin
menjadi gedung bertingkat yang memadukan unsur ke-Islaman, kemoderenan, dan
ke-Indonesiaan sebagaimana tercermin dalam visinya; mahasiswa penuh percaya
diri, fakultas dan program studinya makin banyak, dan jaringan dalam dan luar
negerinya makin luas. Keadaan yang demikian tidak dapat dilepaskan dari karakter
Mas Wito yang senang membuat “bid’ah hasana (inovasi baru)”, membuah hal-hal
yang aneh-aneh, tapi kemudian menjadi rujukan berbagai perguruan tinggi Islam di
berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian menghadapi karakter Mas Wito
yang demikian itu, dalam kedudukan Saya waktu itu sebagai Wakil Rektor Bidang
Administrasi Umum terkadang dibikin repot. Hampir setiap hari ada saja “bid’ah
hasanah” yang diajukan Mas Wito yang disampaikan ke Saya untuk dilaksanakan
dan dibiayai. Enaknya, ketika yang diajukan Mas Wito itu anggarannya tersedia
dalam RAB (Rencana Anggaran Biaya) sehingga dapat dilaksanakan. Repot atau
sulitnya, ketika yang diajukan Mas Wito itu, anggarannya belum tersedia dalam
RAB, sehingga sulit dilaksanakan. Lebih repotnya lagi, ketika usulan Mas Wito itu
sudah mendapat disposisi dari Rektor, sedangkan anggarannya belum tersedia.
Dalam keadaan demikian, Saya terkadang bingung mengaturnya, mencari celah
yang dimungkinkan usulan tersebut dapat dilaksanakan, misalnya dengan
menyelipkan kegiatan tersebut ke dalam kegiatan yang sudah ada anggarannya.
Keempat Mas Wito, sebagai orang yang lebih banyak bekerja daripada bicara.
Setahu Saya Mas Wito lebih suka bekerja di belakang meja atau di ruang workshop
daripada berpidato di atas fodium. Karena keadaan yang demikian itu, maka Mas
Wito, kalau bicara malah agak ngaur, sering menggunakan kosakata atau bahasa
yang membuat orang lain sedikit “tersinggung” dan bingung. Ketika ada seseorang
datang dan berkata, bahwa ia datang dengan “membawa mobil”, Mas Wito
tersenyum dan mengatakan: “Mana mungkin kamu bisa bawa mobil yang berat itu.”
Kemudian, ketika orang itu berkata, bahwa ia datang dengan “naik mobil”, Mas
Wito juga tersenyum dan berkata: “Tidak mungkin kamu naik mobil. Kalau kamu
naik mobil, berarti kamu berada di atas atap mobil. Namun faktanya, kamu berada
duduk di dalam mobil.” Demikian juga ketika orang mengatakan “makan siang”
atau “makan malam” juga ditertawakan Mas Wito, karena “siang dan malam tidak
bisa dimakan, yang bisa dimakan adalah nasi dan lauk pauknya.” Perkataan Mas
Wito yang demikian itu membuat orang jadi bingung, bahkan agak tersinggung,
teruma bagi orang yang belum mengenalnya.” Apa yang disampaikan Mas Wito
memaksa orang harus berpikir mencari ungkapan atau kosakata yang pas dan tepat,
dan terkadang sulit ditemukan. Mas Wito memang suka mengada-ada saja; ia suka
bikin bid’ah hasanah. Namun demikian, keadaan ini menyebabkan ia mudah
dikenali setiap orang yang pernah bertemu dengannya. Dan setiap orang yang
bertemu dengannya biasanya sudah siap-siap menghadapi ulah Mas Wito dengan
kata-kata dan karakternya itu.
Kelima, Mas Wito, sebagai orang yang menguasai berbagai aturan
perundang-undangan. Jabatan yang pernah disandangnya sebagai wakil Rektor
bidang Pengembangan Kelembagaan dan Kerjasama, serta wakil Rektor Bidang
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 319
Akademik, menyebabkan Mas Wito harus menata dan mengelola berbagai masalah
yang terkait dengan bidang akademik. Tugas ini mengharuskan ia menguasai dan
mendalami berbagai undang-undang, peraturan, keputusan dan kebijakan
Pemerintah yang terkait, seperti tentang prosedur dan ketentuan pembukaan
Perguruan Tinggi, Jurusan dan Program Studi, kurikulum, beban kerja dosen,
kenaikan pangkat akademik para dosen, dan lain sebagainya. Ia begitu kenal dan
fasih dalam merujuk berbagai aturan perundangan tersebut, hingga terkadang
dibukukannya, sehingga dapat membantu orang lain yang memerlukannya.
Penguasaan terhadap berbagai aturan tersebut juga diiringi dengan kemampuan
merumuskan berbagai ketentuan turunannnya yang lebih detail, dalam bentuk
pedoman, petunjuk teknis, tata cara dan ketentuan lain tentang akademik dan
lainnya. Dari kemampuannya ini, Mas Wito sering terlibat pada panitia ad hoc di
Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan tinggi, Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN-PT), Tim Penilai Karya Ilmiah Dosen dan sebagainya. Melalui
berbagai kegiatan vertikal horizontalnya itu, menyebabkan Mas Wito banyak
dikenal oleh koleganya, terutama dari kalangan akademisi dan para pejabat di
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Keenam, Mas Wito, sebagai orang yang sederhana. Sejak masih mahasiswa
sampai dengan menjadi seorang yang mencapai jabatan tertinggi dalam akademik,
yakni sebagai guru besar (professor), Mas Wito tetap hidup sederhana. Selama
kuliah, bahkan ketika sudah menjadi dosen, Mas Witolah di antara mahasiswa dan
dosen yang datang ke kampus dari rumahnya dengan menggunakan sepeda yang
sederhana pula, sementara dosen lainnya sudah banyak yang membawa motor atau
mobil. Ketika, ia sudah punya rezeki, ia juga membeli kendaraan yang sederhana.
Seingat saya beliau menggunakan kendaraan Minibus Mitsubisi, dan kendaraan
Sedan Timor yang harganya relatif murah. Ia juga tinggal di perkampungan
penduduk biasa yang melewati jalan kampung yang tidak dapat dilewati kendaraan
yang berpapasan. Kesederhanaanya ini menyebabkan ia tidak mempunyai jarak
dengan semua orang; dan karakter seperti ini termasuk yang dianjurkan di masa
sekarang.
Selamat ulang tahun Mas Wito. Ketekunan, kerajinan, keuletan, serta
karakter inovatif, kreatif, dan imajinatif yang menghasilkan karya-karya inovatif
sebagai bid’ah hasanah yang dimiliki Mas Wito, dan terbukti telah memberikan
pengaruh signifikan dalam pengembangan perguruan tinggi Islam dan kegiatan
keagamaan dan kemasyarakatan lainnya, nampaknya perlu terus dilanjutkan.
Semoga menjadi amal shalih. Amin.
Ucapan Selamat dan Komentar
320 | Mungkin Segalanya Mungkin
SANG PIONEER MODERNISASI SEKOLAH PASCASARJANA
Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D.
(Dosen SPs/Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bekerja dengan Keyakinan
Sebelum saya mengenal langsung
dengan Prof. Dr. Suwito, yang sering
dipanggil Pak Wito, saya pernah
mendengar kiprahnya ketika menjadi
Pembantu Rektor ketika UIN masih IAIN
(sekitar tahun 2000-2002). Namun saya
tidak tahu secara detail bagaimana cara
kerjanya, pemikirannya dan kontribusinya
saat itu. Yang saya dengar bahwa dialah
orang yang berjasa menjadikan IAIN
menjadi UIN. Saya tidak ambil pusing,
kenapa demikian, karena saya anggap apa susahnya sih IAIN menjadi UIN? Itu
pertanyaan yang terpikir oleh saya karena tidak tahu banyak tentang seluk beluk
administrasi, birokrasi dan cara kerja di Perguruan Tinggi Islam
Setelah saya terlibat aktif di Sekolah Pascasarjana, saya mulai terlibat
langsung dan bekerja dengan Pak Wito. Mungkin sekitar 8 tahun saya berinteraksi
dengan Pak Wito. Di situlah saya mulai memahami dan menyaksikan langsung cara
kerjanya menangani Pascasarjana.
Saya akan menguraikan dari pengalaman saya sendiri. Kadang saya berbeda
paham dengan gagasan atau rencana yang akan dilakukan Pak Wito, tapi dia tetap
“keukeuh” untuk melakukan itu. Berikut cerita pertama tentang yang dirancang Pak
Wito, yaitu memindahkan kantor pengelolaan administrasi ke Lantai 3.
Di Lantai dasar, kantor Pasca yang baru dirubah ingin dipindahkan ke Lantai
3. Saya katakan, “Pak, itu bikin capek orang, turun naik ke atas, yang tua juga
Professor untuk mengurusi segala hal. Belum lagi pemindahan barang-barang yang
membutuhkan waktu, tenaga dan biaya.” Bahkan pernah juga saya melontarkan ke
staf, “Sudah jangan diikutin kemauan Pak Wito.”!! Ternyata, pemindahan tetap
berlangsung, karena Pak Wito pimpinan yang punya wewenang. Dalam hati saya
apa yang diinginkan dia dengan cara begini?
Reaksi saya memang bukan tanpa alasan, karena saya merasa nyaman dengan
ruang adminstrasi di Lantai dasar dan mudah. Inilah pikiran saya yang sering di
sebut “golden zone”, rasa nyaman, yang malas untuk berubah. Rupanya apa yang
dirancang Pak Wito, sudah digambar dengan rapih dan terstruktur. Karena saya
bukan pimpinan, memang tidak memahami dan juga tidak mencoba untuk cari tahu,
karena saya hanya sebagai dosen biasa.
Ketika awal dibuat, ternyata, rancangan Pak Wito dengan kantor di Lantai
tiga menunjukkan kerjanya dengan penuh keyakinan. Dibuatlah Sistem
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 321
Administrasi Terpadu. Kantor ini dirancang menjadi ruang terintegrasi,
administrasi, akademik dan umum. Konsep seperti ini memudahkan para tamu,
mahasiswa dan dosen menyelesaikan urusannya dalam satu pintu. Karena itu,
pelayanan mahasiswa sangat cepat dan selalu mudah. Itu yang saya dapatkan kesan
dari mahasiswa.
Cara kerja dan pikiran seperti ini mendorong kita (yang ada di Sekolah
Pascasarjana) untuk beradaptasi. Di sinilah saya sebut dengan “bekerja dengan
keyakinan”. Keyakinan yang saya maksud adalah Pak Wito bekerja demi untuk
pengembangan institusi, tidak ada tujuan materi. Maka ia bekerja dengan penuh
keyakinan. Hal ini dia lakukan juga ketika libur. Pernah kita protes karena Pak Wito
mengajak rapat pada hari libur, seingat saya hari Minggu. Saya sampaikan, “Pak,
kita masih punya anak kecil, hari Minggu adalah waktu bermain dengan keluarga.”
Protes kali ini, seingat saya, diterima dan rapat dialihkan pada hari lain. Namun, Pak
Wito tetap kerja sendiri, hingga di rumahpun saya yakin dia selalu memikirkan
kampus. Sebagai contoh, ketika ke kampus lagi, katakan hari Senin, Pak Wito sudah
dengan setumpuk hasil print out yang disearch di internet, baik itu konsep
kurikulum, sarana pengembangan atau desain kampus. Makanya saya sering
berseloroh, “Pak, kayaknya Bapak di rumah juga mimpinya kampus”. Beginilah
gaya dan penampilan Pak Wito yang selalu bersahaja, tanpa pamrih dan penuh
dengan keyakinan, mengabdi itu motonya, walaupun belum pernah terucap dari
mulutnya.
Menuju Pasca Berbasis Akademisi Dunia dan IT
Apa yang menjadi obsesinya dalam masalah ini? Jika dilihat secara simple,
Pak Wito ingin mengembangkan mahasiswa dan suasana akademik Pasca hidup
dengan kecintaan pada ilmu. Di inilah ia bangun sarana akses ke jaringan Wifi
dengan baik dan suasana belajar.
Tak terbayangkan memang di awal, dan ini suatu lompatan yang sangat
dahsyat. Saya tidak dapat membayangkan betapa hebatnya pengaruh seperti ini
dengan adanya penyediaan tempat yang memadai, ruang belajar dan akses
mahasiswa. Seingat saya, mahasiswa mau bertahan hingga larut malam belajar dan
menetap di kampus Sekolah Pascasarjana (SPs) hingga jam 23.00 itu paling awal,
bahkan ditemukan juga hingga ada yang menginap di SPs. Kenapa demikian?
Singkatnya karena dorongan dan semangat yang diberikan Pak Wito.
Di sinilah titik temu antara kebutuhan akademik dan IT sangat dominan. Pak
Wito nampaknya berpikir, tanpa IT ilmu pengetahuan yang bisa “dibaca dunia”
tidak mungkin tercapai. Salah satu dorongan, walaupun dianggap berat oleh
mahasiswa, karya tulis mahasiswa untuk tingkat S-2 perlu berbahasa asing selain
bahasa Arab dan Inggris dan untuk S-3 diperlukan 2 sampai 3 bahasa asing selain
bahasa Arab dan Inggris. “Wah berat, Pak di sini”. Begitu komentar beberapa
mahasiswa. Akan tetapi apa buktinya, apakah mahasiswa mundur? Ternyata mereka
Ucapan Selamat dan Komentar
322 | Mungkin Segalanya Mungkin
asyik dan menikmati. “Ini menantang Pak dan saya benar-benar belajar di sini”
begitu komentar para mahasiswa.
Akses yang mudah terhadap sumber data merupakan akibat IT yang
disediakan SPs. Gagasan Pak Wito kemudian berkembang lagi. Dia menyediakan
fasilitas yang nyaman, dan taman yang hijau dan indah. Banyak komentar bahwa
tempat ini sangat nyaman karena berada di tengah-tengah lingkungan kampus.
Apakah ada hal lain yang ditemukan dari Pak Wito? Di sinilah keunikan baru. Pak
Wito selalu melayani, mendengarkan dan menegur mahasiswa terutama dalam
penyelesaian tugasnya. Di sinilah interaksi dosen dan mahasiswa kembali makin
akrab.
Untuk menunjang ini, maka Pak Wito membuatkan ruang dosen yang
dilengkapi dengan komputer, mushalla, dan logistik (teh, kopi dan dispenser). Agar
di kantor dosen ini terjadi interaksi dosen dan mahasiswa secara aktif maka
dibuatlah sistem verifikasi tesis dan disertasi sebelum masuk ke sidang ujian.
Berdasarkan kebijakan ini maka terlihatlah perbedaan yang sangat kentara tesis dan
disertasi karena kualitas referensi yang digunakan. Jika dalam ujian WIP (Work in
Progress) tesis atau disertasi ditemukan adanya referensi bahasa asingnya kurang
banyak dan kurang otoritatif maka Pak Wito akan menyampaikan bahwa “karya ini
masih perlu diulang” karena tidak ada sumber data yang memadai. Menariknya,
makin mahasiswa dituntut keras seperti ini berupa berbagai regulasi, mahasiswa
merasa nyaman dan tertantang. Saya pikir, karena mahasiswa dilayani dan
didampingi terus, didorong dan diperhatikan. Inilah model pendidikan tinggi yang
berkarakter. Karena itu, mahasiswa dan dosen serasa seperti keluarga.
Langkah yang Membingungkan
Suatu hari, ketika pembenahan taman SPs, Prof. Azyumardi Azra sempat
mengeluh atau mungkin kasarnya “marah” karena Pak Wito menebang pohonpohon
yang ada di SPs. Kenapa emosi Prof Azra, yang sering di sebut Kak Edy ini,
muncul? Hal ini karena keindahan taman yang ada terusik. Ketika disampaikan ke
Pak Wito, dia hanya tersenyum, dan dengan khasnya ketawa “ha..ha..ha”. Apa yang
sebenarnya dipikirkan Pak Wito? Ternyata dia bukan tanpa alasan menebang
pohon-pohon tersebut. Menurutnya, pohon-pohon yang ada membuat capai para
pegawai kebersihan untuk membersihkan daun-daun karena daunnya kecil-kecil dan
banyak berjatuhan di rerumputan. Oleh karena itu maka Pak Wito menggantinya
dengan pohon-pohon yang daunnya lebar dan mudah dicomot agar tidak terlalu
merepotkan pegawai kebersihan dalam membersihkannya. Ternyata, tanaman baru
tersebut pohonnya tidak memudahkan jatuhnya dedaunan dan bahkan lebih rindang
dari sebelumnya. Ketika awal ditanam memang pohon-pohon baru tersebut tidak
ada dedaunan sehingga Prof. Azra masih belum tersenyum dengan tingkah Pak
Wito ini. Setelah berselang beberapa bulan, hasilnya terbukti, taman Pasca lebih
rindang, pepohonan lebih nyaman dan bunga-bunga yang indah. Di situlah keunikan
Pak Wito. Dia berani berbeda dengan yang dipikirkan biasa oleh orang lain. Dengan
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 323
keyakinannya yang kuat, dia melakukan sesuatu bukan karena untuk mendapat
pujian tetapi lebih pada keinginannya untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Suri Tauladan dan Berdisiplin
Kehadiran Pak Wito di kampus nampaknya lebih ia sukai daripada tinggal di
rumah. Saya sering sampai di kampus Pasca jam 7.00 walaupun kelas dimulai jam
8.00. Pada jam tersebut Pak Wito sudah hadir dan keliling-keliling di kampus.
Kebiasaan pertamanya adalah duduk-duduk di taman dan kita diajak minum teh. Di
situlah kita ngobrol ringan dan biasanya Pak Wito punya ide baru. Setelah
mahasiswa berdatangan, kita ngobrol dengan mereka tentang perkembangan
studinya. Statusnya sebagai Wakil Direktur atau Ketua Program Studi Doktor (S-3),
tidak menempatkannya seperti seorang birokrat. Pak Wito ya Wito yang apa
adanya.
Kehadirannya di setiap pagi mendorong karyawan lain datang untuk lebih
awal, terutama dalam persiapan kelas, kebersihan, persiapan ujian dan lainnya. Oleh
karenanya semuanya menjadi malu jika terlambat datangnya. Dialah yang
memberikan contoh langsung. Apakah Pak Wito sempat marah-marah kepada
karyawan? Seingat dan setahu saya belum pernah terjadi. Yang dia tunjukkan hanya
dirinya dan yang lainnya mengikuti. Jika tidak dilakukan, misalnya, maka Pak Wito
sendiri memberi contoh dan setelah itu yang lain mengikutinya.
Dalam masalah pengelolaan administrasi Pasca, Pak Wito tidak segan bareng
karyawan berdampingan di depan komputer. Cara ini bukan berarti dia tidak
percaya, tetapi saya lihat Pak Wito ingin meyakinkan kepada mereka dan
mendorong mereka agar kerja optimal. Dalam mendesain akses sistem “one touch
system” maka Pak Wito selalu membimbing para petugas IT (Information
Technology). Di sinilah pengembangan IT yang menjadi daya dorong
pengembangan Pasca saat ini.
Belajar dari Pak Wito
Mengelola perguruan tinggi dengan dinamika birokrasi tidak gampang karena
sistem anggaran, budaya kerja pegawai dan kompetensi yang selalu menjadi
pendukung sekaligus hambatan. Karena itu mengelola perguruan tinggi memang
memerlukan konsistensi, kemampuan, visi dan keikhlasan. Memang, keteladanan
juga menjadi bagian penting. Gaya birokrat atau pejabat yang sering diidentikkan
oleh kita dengan “jabatan” itu dapat menghambat perkembangan perguruan tinggi.
Saya dapat mempraktikkan berbagai hal tersebut setelah saya menjadi Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum dan setelah menimba ilmu dari Pak Wito. Tentu yang
masih sedikit ini selalu mendorong saya untuk menjadi lebih baik. Harapan saya
Pak Wito semoga konsisten dengan gaya dan karakternya hingga saat ini. Ilmu
utama darinya yaitu konsistensi, visioner dan ikhlas, tanpa tujuan kepentingan
pribadi.
Jakarta, 19 November 2015
Ucapan Selamat dan Komentar
324 | Mungkin Segalanya Mungkin
BEKERJA DENGAN SEORANG TECHNOKRAT SEJATI
Kusmana, M.A.
(Kawan ketika di PIC IISEP/Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Saya mengenal secara intensif
dengan Prof. Dr. Suwito, M.A. (selanjutnya
saya sebut Prof. Suwito saja) dari tahun
2002 sampai dengan 2007 dalam satu
proyek pengembangan perguruan tinggi,
IISEP (IAIN-Indonesia Social Equity
Project) kerjasama antara Departemen
Agama RI dengan CIDA (Canadian
International Development Agency) yang
fokus pada penguatan pendidikan dasar
dalam mata pelajaran MIPA, perpustakaan,
kesejahtraan sosial, dan Islamic Studies
melalui Program Interdisciplinary Islamic
Studies tingkat magister, dalam hubungan kemitraan tersebut saya sebagai Ketua
Kerja Sama Universitas dan Prof. Suwito sebagai Pembantu Rektor Bagian
Akademik (2000-2003) dan Pembantu Rektor bidang Pengembangan Kelembagaan
(2003−2006), dan sejak awal tahun 2015 sampai tulisan ini ditulis dalam hubungan
kerja saya sebagai Sekertaris Lembaga Penjaminan Mutu UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Suwito sebagai Sekretaris Senat Universitas. Pria yang lahir di
Sukolilo Pati, 7 Maret 1956, dikenal sebagai pekerja keras dan konsisten di upayaupaya
peningkatan kualitas dan pengembangan perguruan tinggi.
Dalam kesempatan ini, setidaknya saya ingin berbagi dengan pembaca. Ada
tiga hal dalam konteks pengembangan perguruan tinggi Islam di Indonesia, yaitu
membaca situasi, cara bekerja, dan cara komunikasi. Pertama, saya menangkap ada
yang menarik dari cara membaca Prof. Suwito atas realitas lingkungan kerja yang
positif. Dia membaca lingkungannya tempat bekerja dengan cara memaksimalkan
sikap effikasi dirinya yang disesuaikan dengan keinginan bersama khususnya
keinginan pimpinan perguruan tinggi. Cara menunjukkan effikasinya adalah
keyakinannya untuk memberi kontribusi pada upaya bersama, melalui
penerjemahan visi dan misi perguruan tinggi. Sesuai dengan aktivisme kampus yang
digeluti sepanjang kariernya, yaitu upaya peningkatan mutu perguruan tinggi, Prof.
Suwito, misalnya datang dengan tawaran dan atau penerjemahan kata kunci
“Universitas Riset,” di tengah IAIN Syarif Hidayatullah baru saja bertransformasi
menjadi UIN pada tahun 2002. Banyak orang bertanya dengan agak mengerutkan
alis mata, bagaimana mungkin lembaga yang baru saja alih status kelembagaan dan
dengan tradisi akademik yang masih perlu banyak ditingkatkan memberanikan diri
mengklaim sebagai universitas riset. Sebagian malah meragukannya dengan cara
sinis, menjadi Teaching University saja masih tertatih dan, apalagi menjadikan UIN
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 325
sebagai universitas riset yang fokusnya penguatan S-2 dan S-3. Ketika saya sendiri
menanyakan langsung kepadanya, Prof. Suwito meresponnya dengan santai,
“Mereka yang meragukan, yah nggak apa-apa. Malah bagus, karena keraguan
sebagian kalangan dapat dijadikan aspek pendorong bagi kita untuk
mewujudkannya.” Dia sendiri mendukung kebijakan riset universitas yang diambil
oleh rektor (kala itu, Prof. Azyumardi Azra, Ph.D., M.A.). Kebijakan pimpinan
ketika itu di mana Prof. Suwito di dalamnya adalah menerjemahkan visi universitas
risetnya dengan penguatan program studi S-1 dengan target meraih status A,
sebelum penguatan S-2 dan S-3. Langkah ini dianggap strategis, karena walaupun
sifatnya compliences atas administrasi pembukaan dan atau penguatan program
paska sarjana, langkah tersebut berimplikasi luas ke dalam maupun ke luar. Ke
dalam, pilihan pembenahan program studi mengenalkan sejumlah budaya baru
dalam pelaksanaan pendidikan tinggi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta antara lain
budaya tertib administrasi pelaksanaan pendidikan, budaya monitoring dan evaluasi
dan budaya keberukuran capaian-capaian pelaksanaan pendidikan.
Berbicara tentang mutu, mutu pendidikan di Indonesia mulai diukur sejak
tahun 1990-an dengan sifat sukarela. Akreditasi program studi diimplementasikan
pertama kali tahun 1996 dan sejak tahun 2003 dikenalkan akreditasi institusi dengan
uji pertama kali tahun 2009 saat itu 25 Perguruan Tinggi mendapat akreditasi
institusi. UIN Syarif Hidayatullah termasuk Perguruan Tinggi yang terakreditasi
secara institusi dengan A pada tahun 2013 pada masa kepemimpinan Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat. Kesiapan universitas ini untuk dinilai dan membuka diri
untuk perubahan lebih baik tidak lepas dari jerih payah Prof Suwito yang banyak
terlibat dalam banyak level persiapan mulai dari sosialisasi pentingnya akreditasi,
pendampingan penyiapan borang, sampai pendampingan proses visitasi.
Ke luar, perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah di mana Prof. Suwito sebagai salah satu agensi yang menggerakkan
dapur kerja kepemimpinan universitas sehingga dia, kolega dan tim dapat
menempatkan universitas ini sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri
(PTKIN) yang paling awal dalam merespon tuntutan perbaikan mutu Perguruan
Tinggi, dan menjadi pioneer transformasi kelembagaan dari IAIN ke UIN, yaitu
tahun 2002. Di tengah kekurangan yang ada, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat
ini sedang melangkah lebih luas lagi. Selain penguatan mutu di tingkat nasional,
UIN juga sedang berupaya untuk meraih recognition secara regional, yaitu
akreditasi ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA). Hal ini
sejalan dengan visi dan misi kepemimpian saat ini, Prof. Dede Rasyada, M.A., yang
berupaya merintis track menuju World Class University dalam kajian Islam dan
integrasi keilmuan di fakultas umum.
Kedua, saya pun ingin berbagi dengan pembaca tentang cara bekerja Prof.
Suwito. Dia bekerja secara efektif mempertimbangkan segala sesuatunya dan
diimplementasikan dengan pragmatisme yang dibutuhkan. Cara seperti ini
dilakukannya untuk mensiasati keadaan yang belum ideal dengan langkah-langkah
Ucapan Selamat dan Komentar
326 | Mungkin Segalanya Mungkin
kongkret yang sesuai dengan jalur pengembangan pendidikan tinggi, yaitu
mengukur perkembangan Perguruan Tinggi dengan akreditasi. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa kita bekerja sebagai insan akademik dalam cara kerja yang
masih banyak keterbatasannya, mulai dari budaya akademik yang belum kuat,
fasilitas yang belum sepenuhnya mendukung, belum kuatnya ritme pengembangan
program dengan siklus anggaran, sampai dengan lingkungan yang sedang dalam
tahap pembenahan. Situasi seperti ini sudah berjalan sejak lama dari sebelum saya
mengenalnya, masa ketika saya bekerja secara intensif dengannya, atau masa
sekarang walaupun di sana sini keadaannya sudah jauh lebih baik. Kendala seperti
ini bersipat umum, semua perguruan tinggi di negeri ini menghadapinya. Artinya
sebagian penyelesaiannya menjadi bagian kewenangan yang lebih tinggi. Hanya
saja antara kewenangan yang lebih tinggi dengan Perguruan Tinggi itu sendiri
bersifat saling melengkapi. Oleh karenanya, kemampuan Perguruan Tinggi itu
sendiri menghadapi keadaan menjadi penting. Pendekatan pragmatisme Prof.
Suwito menurut hemat saya merupakan salah satu contoh untuk dapat bekerja
kreatif di tengah keterbatasan yang ada. Salah satu yang umum dari cara dia bekerja
adalah apa pun pekerjaannya Prof Suwito selalu datang dengan draft di tangan.
Dalam suatu kesempatan saya bertanya dan pada saat itu saya diajak beliau ke
rumah dan tempat bekerja beliau di Lantai dua di rumahnya. Kuncinya menurutnya
adalah membaca, dan dia secara rutin melakukan browsing internet mencari
informasi terkini tentang dunia pendidikan. Tidak heran, kalau pikiran dan
gerakannya selalu update. Hal ini selalu terlihat di mana dia bekerja di Universitas
Muhammadiyah, di UIN, di Sekolah Pascasarjana, dan di Senat Universitas UIN
Syarif Hidayatullah.
Dunia pendidikan termasuk pendidikan perguruan tinggi saat ini sedang
menghadapi dilema yang cukup serius. Satu sisi Perguruan Tinggi dituntut untuk
berbenah dengan cara cepat, bergerak mengikuti percepatan perkembangan
teknologi informasi. Percepatan peralihan informasi membongkar cara peralihan
informasi lama yang lamban. Konsekuensinya dunia pendidikan harus beradaptasi
dengan situasi baru secara cepat. Perguruan Tinggi yang tidak mengikuti
perkembangan ini maka Perguruan Tinggi tersebut akan ketinggalan. Di sisi lain,
tugas Perguruan Tinggi, tridharma, khususnya menyangkut keilmuan, dituntut untuk
tidak hanya memelihara ilmu pengetahuan melalui transformasi tapi juga
mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan baru. Untuk bisa menunaikan
tugas terarkhir ini yang diperlukan mungkin bukan hanya akselerasi tapi juga
akurasi sehingga dapat mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan.
Akurasi ini menuntut kecukupan banyak hal mulai dari waktu, dana, fasilitas dan
dukungan kelembagaan. Apabila tuntutan seperti ini ditambahkan ke dalam situasi
obyektif Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) saat ini dan
dihubungkan dengan keinginan bersama untuk memajukan pendidikan tinggi Islam
di negeri ini, maka diperlukan pragmatisme yang kreatif dan konsisten. Beruntung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mempunyai sosok seperti Prof. Suwito.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 327
Ketiga, saya ingin sharing tentang cara berkomunikasi Prof. Suwito yang
unik dan terampil dalam melakukan ice breaking, menempatkan dirinya sebagai
sosok yang mudah bergaul. Tidak ada kesan “seram” karena seseorang telah bertitel
Professor, suatu hierarki formil teratas dalam dunia pendidikan. Memanggil
seseorang sebagai Professor sama seperti memanggil seseorang sebagai “Pak Haji”
atau “Bu hajjah,” atau sama seperti memanggil seseorang sebagai “Kyai” di tengah
masyarakat umum. Artinya itu panggilan kehormatan. Dalam masyarakat kita
umum memanggil seseorang dengan Pak Haji atau Bu Hajjah sebagai
penghormatan atas kesempurnaan penunaian rukun Islam yang tidak semua muslim
dapat menunaikannya, sama persis penghormatan diberikan kepada Kyai karena
keilmuan agamanya dan karena integritas kepribadiannya. Hal yang sama dengan
Professor, panggilan Prof dilakukan untuk menghormati pencapaian akademik
formil seseorang. Panggilan tersebut menjadi “seram” atau ada aura tertentu karena
banyak hal termasuk pembawaan si pemegangnya. Dalam kasus Prof. Suwito, dia
membawakannya secara cair dan ringan. Sebagai yang terdidik dalam bahasa Arab,
kesadaran kebahasaannya dia bawakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam
komunikasi dengan orang lain. Dia sendiri membahasakannya dengan kata
“ngegomloh” yang secara harafiah berarti ‘membodohi’ tapi yang dia maksudkan
adalah dekonstruksi pemahaman kebahasaaan yang digunakan sehari-hari. Prof
Suwito mendekonstruksi ulang penggunaan sejumlah kata yang digunakan secara
umum yang membuat orang berpikir pada akhirnya, Oh iya yah, betul juga apa yang
dimaksudkan Prof. Suwito”. Misalnya, istilah “makan siang” yang secara umum
sudah diterima didekonstruksi dengan mengatakan apa bisa “siang” dimakan. Yang
bisa diterima adalah makan makanan di siang hari. Dekonstruksi tersebut
sebenarnya mengandung kelemahan, antara lain secara semiotik, hubungan penanda
dan petanda itu memang bersifat arbitrer dan hanya konvensi pengguna bahasa saja.
Jadi, tidak bisa diukur dengan logika seperti Prof. Suwito lakukan. Namun
demikian, terlepas benar atau tidaknya dekonstruksi tersebut, cara komunikasi Prof
Suwito tersebut selalu efektif berfungsi sebagai ice breaking. Saking efektifnya
seseorang yang baru kenal saja akan merasa langsung akrab dan tidak ada halangan
apapun untuk berkomunikasi. Setidaknya itu yang saya rasakan waktu pertama kali
saya mengenal beliau.
Dalam berkomunikasi selain bagaimana kita mampu mengembangkan
komunikasi yang elegan dan simpatik, pada saat yang sama sebenarnya tuntutan
yang sama berlaku pada bagaimana kita dilihat, direspon dan disikapi orang lain
dalam berkomunikasi. Apa yang dilakukan Prof. Suwito adalah salah satu cara yang
unik yang bisa mencairkan suasana. Dan komunikasi di era informasi ini menjadi
kunci dari kesuksesan banyak hal. Bagaimana UIN Syarif Hidayatullah dan agensi
di dalamnya mengembangkan cara berkomunikasi yang dapat menyampaikan
pesan-pesan ilmu pengetahuan, manajemen, dan kemajuannya. Cara yang unik tapi
kreatifnya bisa jadi menjadi salah satu alternatifnya.
Ucapan Selamat dan Komentar
328 | Mungkin Segalanya Mungkin
Gabungan tiga hal di atas menurut hemat saya adalah kualitas yang
menghantarkan Prof. Suwito seperti yang kita kenal. Tidak heran, secara internal,
walau tidak di pimpinan puncak, tapi dia selalu mendapat amanah dalam posisi
mendekati puncak dan yang lebih penting realitas UIN seolah mengatakan bahwa
UIN masih memerlukan kiprahnya secara manajerial, akademik dan politik lokal.
Secara eksternal, Prof. Suwito sering diminta menjadi nara sumber terkait akreditasi
dan pengembangan mutu perguruan tinggi secara umum. Dia adalah salah satu
asesor senior Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), bahkan dari
dua tahun (1996) sejak berdirinya 1994 dia sudah menjadi asesor. Tugas tersebut
masih diembannya sampai sekarang. Selain itu dia juga diamanati menjadi salah
satu anggota tim penyusun instrumen akreditasi program studi, dan fasilitator
pelatihan asesor. Selamat berulang tahun Prof., tetap konsisten dengan apa yang
diusahakan selama ini, kami masih memerlukan Prof, dan khusnul khatimah.
Pondok Ranji 1 Desember 2015
PROF SUWITO: SOSOK KRITIS DALAM BERBAHASA
Suparto, M.Ed., Ph.D.
(Dosen SPs UIN/Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Perkenalan saya dengan Prof. Suwito
bermula pada tahun 2000. Saat itu saya
ditunjuk oleh Rektor, Prof Azyumardi Azra
menjadi Kepala Kantor Rektorat, sebuah
jabatan yang pada dasarnya membantu
administrasi dan layanan rektorat,
utamanya yang terkait dengan urusan Luar
Negeri. Saat itu, Prof. Suwito menjabat
sebagai Purek bidang Akademik yang
kantornya bersebelahan dengan kantor
Rektor. Sehingga saya dan beliau sering
bertemu dan saling sapa. Sosok yang
periang dan suka canda adalah pribadi yang saya tangkap pertama kali mengenal
beliau. Prof. Suwito orang yang tak ingin dikenal melalui citra birokrat atau
kacamata struktural. Beliau ingin dikenal sebagai dirinya, ya Suwito. Nama
sederhana yang dalam bahasa Jawa bermakna ‘melayani dan mengabdi’. Tampilan
sederhana yang ditunjukkannya bukanlah dibuat-dibuat karena memang tumbuh
dari dirinya. Bahkan kisah Prof. Suwito yang saat mahasiswa suka ngonthel sepeda
ke kampus adalah akar kebersahajaan yang masih kuat dalam pribadinya.
Selama menjabat menjadi Pembantu Rektor, Prof. Suwito tak pernah
menggunakan fasilitas mobil kantor (plat merah). Pada masa lalu, rektor dan
pembantu rektor hingga dekan dan seluruh pejabat struktural yang memiliki jatah
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 329
inventaris mobil dinas membiarkan mobilnya yang plat merah tetap pada plat
merah. Namun sekarang atas nama keamanan, plat merah berubah menjadi plat
hitam. Prof. Suwito seolah tidak “gimir” ingin menggunakan mobil kantor. Prof.
Suwito selalu menggunakan mobil sedan silver Timor, tanpa supir. Saya yang masih
lugu waktu itu bertanya pada Prof Suwito, “Pak Wito, kok gak menggunakan mobil
kantor?”. Dengan santai Prof. Suwito menjawab, “Saya kan sudah punya mobil
sendiri, To. Sayang kalau tidak dipakai rusak.”
Ide-ide liar
Di tangan Prof. Suwito, ide-ide akademik berlari begitu “liar”. IAIN
diarahkan menjadi UIN yang kemudian mendapat restu presiden di tahun 2002.
Tidak hanya itu muncul gagasan Research University sebelum muncul World Class
University. Munculnya program studi-program studi umum di saat IAIN memiliki
wider mandate dan di saat IAIN sudah bertransformasi menjadi UIN adalah masamasa
penting keterlibatan Prof. Suwito. Prof. Suwito sempat melontarkan ide bahwa
seluruh fasilitas di universitas bukanlah milik masing-masing fakultas, tetapi milik
universitas, sehingga nantinya bakal ada mahasiswa yang “mobile” bagai santri
kelana dari satu fakultas ke fakultas lain saat mengambil mata kuliah tertentu.
Muncul ide lagi dari beliau, bahwa wajib hukumnya bagi mahasiswa UIN
menguasai bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sejak 2003, gagasan TOEFL dan
TOAFL diperkenalkan kepada mahasiswa baru dan mahasiswa yang akan
mendaftar ujian skripsi meski pun banyak ditentang sebagian kalangan yang menilai
bahwa TOEFL dan TOAFL hanya mempersulit mahasiswa saja. Ketepatan waktu
lulus jadi terhambat gara-gara penerapan TOEFL dan TOAFL ini. Belum lagi
benchmarking dosen pengampu bahasa Arab dan Inggris yang andaikata dites
TOEFL dan TOAFL-nya tak sepadan dengan syarat lulus mahasiswanya. Pro dan
kontra berkelindan silih berganti.
Prof. Suwito tak bergeming. Baginya untuk menjadi world class university,
mahasiswa UIN harus mampu menguasai bahasa asing. Prof. Suwito mengakui
bahwa dirinya tak pandai berbahasa Inggris, namun ide wajibnya TOEFL sebagai
bagian dari tes masuk dan prasyarat ujian skripsi adalah hal spektakuler yang keluar
dari benaknya. Bahkan beliau nyatakan bagi mahasiswa yang sudah bagus nilai
TOEFL dan TOAFL-nya tak perlu lagi mengikuti mata kuliah bahasa Inggris dan
Arab. Dalam beberapa kesempatan Suwito juga mengkritisi beberapa program studi
yang masih menerapkan mata kuliah dengan sks kecil. Dia menginginkan sebaiknya
mata kuliah memiliki minimum 3 SKS agar kedalaman dan keluasan materi bisa
meningkatkan pengetahuan dan keahlian mahasiswa. Selama Prof. Suwito menjabat
menjadi Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Pembantu Rektor Bidang
Pengembangan Kelembagaan, ada fasilitas fisik yang sekarang makin dilupakan
orang, yakni membangun tempat penitipan sepeda di beberapa titik di Kampus 2.
Ide-ide beliau kadang dishare melalui SMS tanpa kenal jam. Pernah saya
mendapatkan SMS Beliau pada pukul satu pagi. Kalau tidak salah, waktu itu beliau
Ucapan Selamat dan Komentar
330 | Mungkin Segalanya Mungkin
memohon kepada rektor baru agar mengendalikan kapasitas lahan parkir Kampus 1
yang sangat terbatas. Prof Suwito meminta Rektor agar dibatasi pengguna mobil
dan sepeda motor sebatas kapasitas lahan parkir saja. Nurani Prof. Suwito
terpanggil untuk menyuarakan hal itu meskipun gayung tak selalu bersambut.
Kebiasan beliau SMS masih saja berlanjut, semisal harapan di pergantian tahun,
moment penting di hari-hari Islam, milad UIN dan sebagainya. Prof. Suwito masih
saja rajin kirim SMS menyampaikan harapan tentang hidup yang lebih baik dan
sukses. Beliau termasuk orang yang paling telaten dan rela “angkrem” di kampus.
Saya yakin rindangnya gedung Pascasarjana di Kampus 2 dan perolehan akreditasi
A pada program studi Magister dan Doktor dari BAN-PT karena buah dari
kerelaannya “ngangkremi” kampus dengan begitu telaten.
Bagi saya, Prof. Suwito ini hidup melampaui zamannya. Ide-idenya meski
ditertawakan pada awalnya, namun dunia mengiyakan kebenarannya. Sebagai
contoh, ketika Prof. Suwito tidak lagi menjabat Purek di kampus satu, beliau
ditunjuk untuk menjadi Asisten Direktur (Asdir) Pascasarjana mendampingi kolega
sejatinya, Prof Azyumardi Azra. Bagi Prof. Suwito ini merupakan “pulang
kampung” karena pada periode Prof. Harun Nasution, Prof Suwito pernah menjadi
Asisten Direktur Pascasarjana. Begitu ditunjuk untuk menjadi Asdir Bidang
Akademik, Prof. Suwito langsung “menembakkan” ide-ide baru pengembangan
Pasca. Misalkan saja, moto pasca yang menyatakan “Bacalah, maka kamu dibaca
dunia”. Logo ini menginsipirasi Suwito untuk mewajibkan mahasiswa Pasca
memperkaya referensi berbahasa asing. Tesis atau disertasi harus menggali
khasanah “dunia lain” tidak hanya berkutat pada dunia kecil bernama Indonesia.
Kursus bahasa asing gratis dimunculkan. Kursus bahasa Perancis, Kursus bahasa
Persia, Kursus Bahasa Rusia, Kursus Bahasa Jerman dan sebagainya mewarnai
kehidupan Sekolah Pascasarjana saat itu. Aturan-aturan baru yang begitu cepat dan
seolah berkembangnya hari pastilah diikuti dengan berkembangnya aturan. Aturan
mahasiswa DO pun menyentak banyak kalangan. Bagi Prof. Suwito, aturan DO
wajib diterapkan karena banyak mahasiswa yang terlalu lama melampaui batas
perkuliahan. Spanduk dan televisi di lingkungan Pascasarjana dihiasi peringatan
lama mengikuti perkuliahan.
Beberapa fasilitas baru lahir dari ide nakalnya, fasilitas quite room (tempat
belajar mahasiswa yang dibuka hingga jam 10 malam), klinik kesehatan, pintu yang
bisa dibuka hanya dengan kartu untuk menjaga keamanan kampus, dan ruang dosen
yang representatif. Tidak hanya itu, atas ide Prof. Suwito, kampus Pascasarjana
selalu memutar musik-musik lembut untuk menemani sivitas akademika belajar di
kampus nan teduh itu di pagi hari. Oleh karena itu, beberapa pihak menamakan SPs
sebagai “Sekolahnya Prof. Suwito”, karena Suwito lah yang dipandang paling
bertanggung jawab mengharubirukan kampus Pascasarjana Kampus 2. Saya pikir
halaman ini tidak akan cukup untuk mendata ide-ide Suwito tentang Kampus 1 dan
Kampus 2. Buku otobiografi tentang dirinya pun lahir dari ide “gila”nya, bahwa
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 331
seorang professor wajib memiliki buku otobiografi agar bisa diambil hikmah dan
uswah hasanah bagi generasi lainnya.
Kritis berbahasa
Suatu ketika di sebuah pertemuan di Badan Akeditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BANPT), pada jamuan makan siang, salah seorang yang makan bareng di
meja Prof. Suwito bercerita kalau dirinya datang terlambat ke acara BAN-PT. Prof.
Suwito bertanya kepada beliau, “Mengapa Anda terlambat? Naik apa ke sini?”.
Dengan spontan yang ditanya menjawab, “Saya naik pesawat terbang, Prof”,
kemudian naik taksi ke sini dari bandara. “Mendengar jawaban ini, Prof. Suwito
menimpali, “Ah…Anda jangan berbohong kepada saya, ya.” “Bener Prof.”, jawab
asesor tersebut. Lalu sambil menjawab dengan mimik serius, Prof. Suwito berkata,
“Anda bener-bener berbohong mengatakan kepada saya bahwa Anda naik pesawat
dan naik taksi. Itu tidak mungkin, yang mungkin Anda duduk di dalam taksi atau di
dalam pesawat. Kalau naik, tentu Anda sudah terbang terbawa angin...
hahahaha…” Tawa lepas di ruangan itu pun meledak karena asesor tersebut dan
seluruh yang mendengar tak membayangkan hal tersebut.
Lain lagi ketika di sebuah acara ujian WIP (work-in progress), Prof. Suwito
mengingatkan mahasiswa untuk tidak menuntut ilmu. Semua mahasiswa di dalam
ruangan 106 terdiam. Masing-masing bertanya dalam hati apa yang dimaksud Prof.
Suwito. Kemudian Prof. Suwito menjelaskan, “Kalian tidak perlu menuntut ilmu,
karena ilmu tidak memiliki kesalahan apa pun. Oleh karena itu jangan sekali-kali
menuntut ilmu, ya. Yang penting kalian belajar saja.” Seisi ruangan pun tertawa
lebar setelah mendengar penjelasan Prof. Suwito. Guyonan ini jauh sebelum Cak
Lontong terkenal di televisi. Ujian WIP yang sarat keseriusan berubah menjadi
ajang tawa dan canda. Begitulah Prof. Suwito, di samping mengusung ide-ide
perubahan melalui kebijakan-kebijakan yang “ketat”, namun sisi humanisnya jauh
lebih kuat dibanding sisi strukturalnya. Suatu hari ada seorang mahasiswa
mendekati Prof. Suwito yang punya kebiasan masuk paling pagi dan duduk di kursi
taman sambil menikmati bunyi air dan suara burung yang bernyanyi memecah sunyi
kampus Pasca tersebut. “Assalamu ‘alaikum Prof., “sapa mahasiswa itu. Prof.
Suwito pun menoleh, “Wa ‘alaikumus salaam… apa kabar? Sudah beres kamu?” Si
mahasiswa menjawab, “Alhamdulillah Prof sudah hampir beres.” Ngomongngomong
kampus Pasca jadi nambah cantik, ya. “Ini gara-gara Prof membuat
gerakan penghijauan.” Maksud mahasiswa tersebut tentunya ingin basa-basi di pagi
itu. Apa jawab Prof. Suwito mendengar basa-basi mahasiswa tersebut? “Anda
jangan membuat fitnah tentang saya. Saya tidak pernah melaksanakan penghijauan
di kampus ini!” Sentak Prof. Suwito. Si mahasiswa diam dan memandang bingung.
Selanjutnya, seperti yang bisa ditebak, Prof. Suwito menjawab sambil tersenyum,
“Saya justru melakukan pemerahan, penguningan, pemutihan dan sebagainya.
Karena bunga-bunga yang ditanam di sini bukan hanya yang hijau-hijau.
Keduanya pun tertawa renyah di pagi itu.
Ucapan Selamat dan Komentar
332 | Mungkin Segalanya Mungkin
Canda Prof Suwito yang kritis berbahasa ini menjadi semacam “ikon”
tersendiri untuk Prof. Suwito. Jika kita bercanda dengan mempermainkan kata,
maka banyak kolega di UIN akan berkata, “Waaaah... sudah ketularan Suwito
nih..”. Dia lebih suka dipanggil Professor Gombloh daripada Professor hebat.
Gombloh (makna negatif untuk mereka yang tidak pandai) lebih disukainya sebagai
bentuk kerendahhatiannya. Di ujung tulisan ini, saya ingin mengatakan kepada Prof.
Suwito bahwa dalam dirimu banyak uswah hasanah bagi orang-orang di sekitarmu.
“Urip ojo digawe abot. Lakonono sing wis dadi pestine” (Hidup jangan dibuat
berat. Laksanakan saja yang sudah menjadi takdir).
Cirendeu, 2 Februari 2016
PROF. SUWITO YANG SAYA KENAL
Yunasril Ali
(Dosen SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pengantar
Sebelumnya saya ingin mengucapkan
“Selamat Ulang Tahun yang ke-60” kepada
Pak Wito (sapaan akrab Prof. Dr. Suwito).
Tidak .terasa waktu melintasi kita, baru saja
rasanya kami duduk di bangku kuliah
Pascasarjana bersama Pak Wito dan temanteman,
ketika masih berusia di bawah empat
puluhan tahun, tiba-tiba usia kami sekarang
sudah mencapai “kepala enam”. Pak Wito
adalah kakak kelas kami, tetapi sering
ketemu dan kuliah bersama dalam beberapa
mata kuliah tertentu, sehingga kedekatan
kami terasa demikian akrab. Keakraban makin menyatukan kami dalam wadah
Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (IKMPS), karena isteri Pak Wito (Ibu Hj.
Nilfa Yetty Tanjung) sama-sama aktif dengan isteri saya (Hj. Jasmi Yatra) sebagai
pengurus organisasi itu.
Selesai kuliah di Pasca, saya ditakdirkan Allah tidak kembali ke almamater
semula di Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin di Kerinci, tetapi
meneruskan pengabdian di Jakarta. Pada tahun 2001, saya diberi peluang oleh Prof.
Said Agil Husin Al Munawar, Direktur Pascasarjana waktu itu, untuk memberikan
kuliah di Pasca dalam mata kuliah: Tasawuf Pasca Ibn `Arabi dan Studi Naskah
Tasawuf Abad Modern. Di sini, saya ketemu kembali dengan Pak Wito yang telah
lebih dahulu ada di sana.
Kiprah dan kreativitas Pak Wito sedemikian menonjol ketika beliau
menduduki jabatan sebagai Asisten Direktur (Asdir) I pada periode Prof.
Azyumardi Azra, sehabis beliau duduk sebagai Pembantu Rektor I UIN Jakarta, dan
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 333
saya sebagai tenaga pengajar menjadi lebih dekat dengan beliau karena sering
ketemu dalam ujian proposal dan work in progress (WIP).
Untuk itulah dalam tulisan ini saya ingin merekam kembali memori masa lalu
itu sampai perjalan saat sekarang untuk dituangkan dalam tulisan ini.Namun, tentu
saja tidak semua dapat dikisahkan dalam ruang waktu yang sangat terbatas. Karena
itu, dalam kesempatan ini saya hanya akan merekam kembali episode-episode
tertentu yang dirasa sangat berkesan untuk dituangkan dalam tulisan singkat ini. Di
balik itu, dalam tulisan ini tidak ada yang perlu mengerenyutkan dahi, karena
memang dirancang hanya untuk bercerita, bukan untuk menganalisis. Semoga saja
cerita ini akan berkenan di hati teman-teman
Yang Rendah Hati, Pemurah, dan Peduli
Saya pertama kali ketemu dengan Pak Wito - seingat saya - bukan di dalam
kampus UIN (IAIN ketika itu), tetapi terjadi di Jalan Solo, Kampung Utan, di
belakang kampus, ketika saya mencari tempat tinggal Prof. Asafri Jayabakri
(sekarang Walikota Sungai Penuh), Jambi, yang kebetulan seangkatan dengan Pak
Wito.Saya ingin bertemu beliau karena sama-sama dari Jambi untuk lebih banyak
menimba pengalaman di S-2 dari beliau. Ketika itu kebetulan Pak Wito akan ke
rumah Pak Dr. Ahmad Dardiri. Kami sungkan kepada beliau sambil menanyakan
tempat tinggal Pak Asafri.Pak Wito menunjukkannya karena memang tempat
tinggalnya bersebelahan dengan tempat tinggal Pak Ahmad Dardiri.Ketika itu kami
belum tahu bahwa Pak Wito adalah mahasiswa S-2 bareng kuliah dengan Pak
Asafri.Setahu saya, ketika ketemu pertama itu, beliau memakai kemeja warna telur
asin, celana abu-abu, sederhana sekali, ramah, dan saya kira beliau adalah penduduk
setempat.Kami tahu bahwa beliau adalah mahasiswa S-2 adalah ketika ketemu di
kampus. Hampir selama perkuliahan, saya lihat beliau selalu berpakaian yang
berwarna sama dengan ketika saya ketemu pertama, sederhana sekali, dan sangat
rendah hati.
Ketika di kampus kami makin sering ketemu dalam mata kuliah Bahasa Arab
yang diajar oleh Prof. Bustami Abd. Gani dan mata kuliah Ilmu Kalam di bawah
bimbingan Dr. Muslim Nasution.Selama perkuliahan,Pak Wito selalu datang
dengan sepeda berpikir sambil membonceng isterinya, yang juga tugas di IAIN
Jakarta. Mereka selalu lewat di depan rumah kami di Jalan Solo. Saya tidak mengira
ketika itu masih ada orang yang memakai sepeda sebagai alat transportasi ke kantor,
padahal pada waktu itu sepeda motor sedang trendi sebagai sarana transportasi
sederhana. Pak Wito tidak merasa canggung mendayung sepeda sport-nya dari
rumahnya di Gang Bacang ke kampus.Padahal, kata teman-teman, beliau sudah
memiliki sejumlah angkot yang disewakan untuk angkutan umum. Begitu
sederhananya Pak Wito, dan sepeda sport itu masih beliau gunakan sampai berakhir
kuliah di Pascasarjana.
Di samping kerendahhatiannya Pak Wito, kemurahan hati, dan kepeduliannya
untuk berbagi adalah suatu hal yang tak bisa dilupakan. Saya barutahu alamat dan
Ucapan Selamat dan Komentar
334 | Mungkin Segalanya Mungkin
rumah beliau ketika diundang makan oleh beliau - dan ini terjadi beberapa kali - dan
saya lupa untuk acara apa saja beliau mengundang kami ketika itu. Kami datang
bareng dengan teman-teman yang bertetangga ketika itu, seperti Prof. H. Ramli Abd
Wahid (UIN Sumatera Utara, Medan), (alm.) Dr. Aceng A. Kuseiri (UIN Riau), dan
lain-lain. Tampaknya Pak Wito sangat pemurah dan perhatian, dan kabarnya
sekarang pun ada sejumlah mahasiswa Pesantren Sabilussalam, pesantren yang
beliau kembangkan, menempati pesantren itu, dan banyak mendapat uluran tangan
dari keluarga Pak Wito. Apa ya atau tidak, Pak Witolah yang paling tahu.
Cerita lain dari kepedulian Pak Wito adalah “suka mengganggu”. Tidak
sedikit cerita dari para mahasiswa yang “diganggu” oleh Pak Wito sehingga mereka
berhasil selesai dari perkuliahan.Ketahuilah, ketika selesai mengikuti tatap muka
dalam perkuliahan terasa dunia ini agak legakarena tidak dihantui oleh jam-jam
tatap muka di kelas.Tetapi, ada bahaya di baliknya, kita bisa tertinggal jauh kalau
tidak ada yang mengingatkan, karena sudah keenakan dalam kesantaian, tanpa
diusik oleh kewajiban tatap muka. Saat-saat seperti inilah, yang kadang-kadang
membuat mahasiswa terlena, hingga drop out dari perkuliahan. Di sinilah peran
yang dimainkan Pak Wito, selalu mengirim sms kepada mahasiswa-mahasiswa
yang dia kenal, untuk mengingatkan tugas-tugas mereka. Saya dapat cerita dari Dr.
Anwar Abbas (Sekjen PP Muhammadiyah). Kata beliau, “Kalaulah tidak atas
usikan Pak Wito yang tak kenal lelah mengusik saya dengan sms, pastilah saya
sudah gagal menyelesaikan kuliah.Tetapi, karena selalu mendapat gangguan sms
Pak Wito, maka saya bersyukur bisa selesai kuliah dengan baik.”
Tidak hanya itu, dalam momen-momen hari besar Islam atau hari besar
nasional pun Pak Wito sering “mengganggu” kita dengan sms-nya sekadar
mengucapkan selamat hari besar Islam atau hari besar nasional.Usikan seperti itu
pastilah bermanfaat bagi kita yang sering lalai terhadap waktu. Kita tidak sadar
bahwa usia negeri kita sudah 70 tahun, usia Sumpah Pemuda sudah 88 tahun, dstdst.,
termasuk usia kita sendiri yang makin menua dan makin dekat ke ujungnya.
Apakah itu hanya usikan?
Pekerja Keras, Tanpa Pamrih
Saya tidak tahu persis apakah bekerja keras itu adalah bakat yang dibawa
sejak lahir atau kebiasaan yang sudah dimulai dari dini, sehingga seseorang tak
pernah merasa lelah dalam bekerja dan bekerja. Kalau tidak bekerja justru yang
membuat ia sakit atau tidak enak badan, dan paling tidak membuat rasa jemu dan
tak berguna dalam kehidupan. Ayah saya termasuk tipe seperti ini, tidak bisa diam.
Baginya, tidak ada yang namanya tidur siang. Setahu saya sejak kecil ayah saya
tidak pernah kekurangan pekerjaan setiap hari. Sebagai petani dan peternak, sehabis
subuh hidupnya sudah dimulai dengan mengeluarkan ternak dari kandangnya,
kemudian ke sawah sampai sore. Malamnya ke mushalla atau ke masjid, makan,
baru istirahat.Demikian hari-hari yang beliau jalani.Katanya, badannya menjadi
penat kalau tidak bekerja.Tuturan ini hanya sebagai bandingan bagaimana aktivitas
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 335
manusia tipe pekerja, tidak bisa diam, tetap selalu mengalir bagaikan air mengalir
yang tak bisa berhenti.
Pak Wito termasuk tipe pekerja seperti itu, walau berbeda pekerjaan yang
ditanggulangi.Ketika menjadi Asdir di Pasca Pak Wito menerapkan sistem kerja
keras seperti itu, sehingga tidak jarang beliau dan para karyawan harus pulang
malam. Saat-saat akan mengurus akreditasi adalah kerja full bagi Pak Wito, karena
dituntut kerja keras dan kerja teliti, dan hasilnya Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
meraih Nilai A dalam akreditasinya. Baginya, pada saat-saat seperti itu tidak ada
beda hari Minggu atau Senin, di hari Minggu pun beliau masuk kantor,
menyelesaikan tugas-tugas yang masih terbengkalai, merapikan yang masih
tumpang-tindih, dst. Apa yang ditularkan Pak Wito itu memang berkembang di
Pasca. Tetapi, tentu saja tidak semua orang memiliki waktu dan kesempatan untuk
itu. Pada hari-hari libur tidak sedikit teman-teman telah memiliki agenda keluarga,
karena hidup ini bukan hanya kerja rutin kantor, tetapi multiaktivitas yang harus
diberikan porsinya masing-masing, itu hanya dapat dilakukan pada hari-hari libur
itu. Namun, kita angkat jempol kepada Pak Wito yang telah dapat memotivasi para
crew-nya di Pasca sehingga Pasca menjadi kampus yang indah, bersih, dan nyaman.
Biasanya manusia tipe ini badannya jarang yang bisa gemuk, karena lemaklemaknya
selalu larut oleh pekerjaan yang ditanggulangi.Kita lihat postur tubuh Pak
Wito tidak bisa gendut, karena lemak-lemaknya selalu larut oleh pekerjaan.
Biasanya tipe seperti ini jarang sakit, karena tubuh yang biasa sakit adalah tubuh
yang biasa dalam kemanjaan, terkena hujan sedikit sudah sakit.Selama berteman
dengan Pak Wito, saya hampir tidak pernah mendengar beliau sakit. Semoga saja
akan selalu sehat sampai ke akhir hayat!
Yang Kreatif
Bekas kreativitas Pak Wito jelas kelihatan di gedung Pascasarjana. Kalau
Anda masuk gedung ini, akan kelihatan seperti sebuah taman yang indah, pohonpohonnya
rindang, di bawah pohon-pohon yang rindang itu ada bangku-bangku
permanen yang dibuat melengkung, dan tentu saja dihubungkan dengan arus listrik
yang sengaja dibuat untuk colokan note book para mahasiswa yang sedang belajar.
Kalau Anda duduk di atas bangku bawah pohon-pohon itu, pastilah akan merasakan
kesegaran dan kenyamanan. Di situlah para mahasiswa duduk-duduk dan belajar
sehabis tatap muka di kelas.Kerja kreatif ini tidak lepas dari ide dan sentuhan
tangan Pak Wito.
Sementara itu, diinding pun tak bisa aman dari kreativitas Pak Wito.Selain
tempat pengumunan, di sana tertulis berbagai dokumen penting yang perlu
diperhatikan mahasiswa, mulai dari aturan membuat tesis/disertasi sampai foto-foto
pimpinan Pasca sejak periode awal sampai terakhir dan foto para dosen, semuanya
dipampangkan rapi di dinding bagian yang menghadap ke taman Pasca. Gunanya, di
samping unsur estetik tidak kalah penting adalah agar mahasiswa ingat dengan
Ucapan Selamat dan Komentar
336 | Mungkin Segalanya Mungkin
aturan, ingat akan para pengasuh mereka. Jangan sampai ada mahasiswa tidak kenal
dosennya.
Tidak hanya sampai di situ, dalam sistem penulisan tesis/disertasi pun Pak
Wito ingin agar para mahasiswanya betul-betul mengetahui apa yang akan mereka
teliti dan apa yang akan mereka tulis. Kami diwajibkan menuliskan “Kesimpulan
Besar” terhadap apa yang akan kami teliti dalam proposal yang diajukan ke pihak
SPs (Sekolah Pascasarjana). Tentu saja ini sangat baik bagi kelanjutan penelitian
mahasiswa agar mereka tidak asal-asalan dalam mengajukan judul tesis/disertasi.
Hanya saja jika dituliskan “kesimpulan” biasanya adalah di akhir sebuah penelitian.
Bagaimana kita akan menyimpulkan sesuatu yang belum digubris. Dalam istilah
penelitian mungkin apa yang dimaksud itu adalah dalam bentuk “hipotesis”
(anggapan sementara) yang memerlukan penelitian lanjut untuk membuktikannya.
Jadi, memang tujuan yang diinginkan Pasca itu baik, hanya saja peristilahan yang
dipakai belum mengena kepada sasaran.
Apa pun yang kita bicarakan itu tidak lepas dari kreativitas Pak Wito, yang
waktu itu sebagai salah satu Asisten Direktur. Kalaulah UIN Jakarta memiliki
banyak orang kreatif pastilah akan melejit lebih maju dari apa yang dibayangkan.
Aktivitas Ilmiah
Menyebut aktivitas ilmiah, mungkin rata-rata dosen hanyut dalam aktivitas
demikian, mulai dari aktivitas mengajar, meneliti, dan mengabdikan ilmu kepada
masyarakat.Pak Wito termasuk dosen yang aktif dalam berkolaborasi dengan
mahasiswa dalam “menuntut” ilmu. Di sini saya sengaja memberi tanda petik pada
kata “menuntut”, karena bagi Pak Wito ilmu tidak perlu dituntut, karena penuntutan
adanya di pengadilan, ilmu perlu diproduk melalui penelaahan, dan lebih-lebih
penelitian. Upaya kita di Perguruan Tinggi semuanya mengacu kepada memproduk
ilmu, sehingga dapat menerangi masyarakat.
Pengembangan ilmu melalui tatap muka di kelas adalah kewajiban setiap
dosen, termasuk membimbing karya ilmiah mahasiswa. Akan tetapi, mengabdikan
ilmu melalui sarana publikasi ilmiah mungkin belum semua dosen mau berkiprah
dalam bidang ini, di samping menghabiskan banyak waktu juga menghabiskan
banyak tenaga.Pak Wito sendiri masih belum banyak menggeluti bidang yang satu
ini.Hal demikian mungkin karena waktu beliau banyak tersita untuk tatap muka di
kelas dan penelitian.Kalau bidang ini mau ditekuni, niscaya ilmu kita tidak hanya
sebatas untuk mahasiswa, tetapi dibaca oleh manusia sejagad. Dengan demikian.
manfaatnya akan lebih luas daripada hanya dikonsumsi oleh mahasiswa, dan bagi
awam tentu pahalanya lebih berat ketimbang hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Semoga Pak Wito panjang umur, sehat, dan makin tekun dalam memberikan
sumbangsihnya bagi kampus UIN Jakarta dan masyarakat kita umumnya!
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 337
PROF. DR. SUWITO YANG SAYA KENAL
Euis Amalia
(Dosen/Wakil Dekan I Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta)
Ketika diminta menulis tentang
Pak Wito saya langsung mengiyakan
kendatipun saya gak bingung tentang
yang mau ditulis. Saya kenal dengan p
Wito demikian beliau biasa dipanggil
dalam konteks beliau sebagai wakil
Rektor bidang akademik dan saat itu saya
dalam kapasitas sebagai ketua progam
studi Muamalat dan juga sebagai
mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana UIN.
Yang saya amati beliau sangat concern
dalam penataan sistem administrasi
akademik. Berbagai buku-buku pedoman
terkait akademik dan penjaminan mutu
banyak diterbitkan pada masanya.
Demikian pula beliau sangat rajin mengirim sms tentang berbagai informasi terbaru
tentang peraturan dan kebijakan yang ada, kalender akademik, masa berlaku
akreditasi dan lain-lain. Khusus dalam hal penyusunan borang akreditasi bisa
dibilang beliau adalah “mbahnya” tempat di mana kami berguru dan bertanya,
borang yang sudah kami susun pernah dibahas dan kami tertawa karena sebagian
yang kami susun keliru semua baik dari sudut teknik penulisan maupun
substansinya. Kami disadarkan untuk merujuk pada panduan penyusunan danpenilai
borang yang benar, bahkan termasuk layout borang dengan full colour dilengkapi
tabel dan bagan untuk menunjukan bahwa borang yang kami susun harus spesifik
dan detail. Dengan panduan dari beliau dan kami ikuti sesuai arahannya meskipun
untuk hal tersebut kami harus bekerja keras bahkan lembur untuk memaksilkan
pengerjaannya. Kerja keras kami serasa terganti saat kami mendapatkan surat
keputusan dari BAN PT tahun 2011 bahwa borang kami susun khususnya program
Studi Muamalat memperoleh nilai yang tinggi yaitu 375 (A).
Hal yang menarik juga dari beliau adalah memberikan banyak guideline
dalam teknik penulisan tesis dan disertasi. Pada awalnya kami sebagai mahasiswa
pascasarjana merasa sangat menyebalkan atas aturan tersebut, teknis penulisan
disertasi sangat detail berikut gaya penuturan bahasa yang harus lugas, tidak
menulisakan ayat-ayat dalam bahasan, penulisan catatan kaki, cara membuat
kesimpulan, pembuatan abstrak dan aspek-aspek teknis penulisan. Meskipun
demikian sebagai mahasiswa saya mengikuti benar arahan beliau tersebut dan
alhamdulillah disertasi saya mendapatkan predikat terpuji tentu juga dengan
Ucapan Selamat dan Komentar
338 | Mungkin Segalanya Mungkin
mengikuti arahan terutama para pembimbing dan penguji yang ada. Pada akhirnya
kami menyadari bahwa untuk menulis tidak saja harus difokuskan aspek substansi
tapi tekniknya.
Secara personal beliau selalu memanggil saya dengan panggilan “gendo”
semula saya merasa aneh tapi ternyata banyak teman-teman lain juga yang
dipanggil dengan sebut tersebut. Dengan panggilan tersebut ternyata malah
membuat kearaban sehingga kami merasa dekat dan seperti orang tua kami sendiri
dan hal ini membuat saya tidak sungkan untuk bertanya terkait banyak hal
utamanya masalah akademik. Saat saya melamar asesor, mengikuti tes dan dan
dinyatakan lulus selanjutnya saya banyak belajar dengan Pak Wito cara penilaian
atau desk evaluation atas borang program studi secara cepat. Saya benar-benar
mendapat arahan dan mendapatkan kunci-kunci yang efektif untuk menilai borang
dengan cepat terutama saat desk dimana kami harus menilai borang program studi,
borang institusi, dan evaluasi diri untuk 2 buah program studi. Saya benar-benar
belajar bersama beliau untuk menjadi seorang asesor BAN PT professional dan saat
ini alhamdulillah saya sering secara personal diminta kawan-kawan daerah maupun
perguruan tinggi lain untuk memberikan peltihan dan pendampingan penulisan
borang akreditasi. Dengan pengalaman yang ada saat ini saya pun mendampingi
penyusunan borang akreditasi 5 program studi yang di Fakultas Syariah dan Hukum
meskipun saya tetap mengundang beliau untuk memberikan pencerahan kepada
kawan-kawan program studi agar mendapatkan penjelasan langsung dari beliau.
Akhirnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas arahan dan bimbingan Pak
Wito selama ini dan di usia Pak Wito yang ke 60 ini saya ingin mengucapkan
Happy Milad semoga Pak Wito sehat selalu dan senantiasa berada dalam
keberkahan Allah SWT, terus berkarya dan produktif serta memberikan
kemanfaatan bagi banyak orang.
Euis Amalia, Senin 04 Januari 2016
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 339
PROF. SUWITO YANG SAYA KENAL
Prof. Dr. Masri Mansoer
(Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta)
Saya mengenal Kak Wito, begitu
kami memanggilnya pada waktu saya
mulai aktif di IMM Cabang Ciputat
tahun 1982. Ketika itu, saya hijrah dari
Solok Sumatera Barat ke Ciputat untuk
melanjutkan studi dan langsung mondok
di Asrama IMM selama satu semester.
Lazimnya, calon mahasiswa yang akan
masuk ujian seleksi UIN (dulu IAIN)
Jakarta adalah mengikuti bimbingan test
yang diadakan oleh organisasi ekstra
kampus (IMM, HMI dan PMII) yang
diharapkan setelah mereka diterima di
UIN nanti menjadi anggota organisasi ekstra kampus. Saat mengikuti bimbingan
test itulah saya mengenal Kak Wito yang waktu itu memberikan materi bimbingan
bahasa Arab bahkan setelah menjadi mahasiswa di Fakultas Ushuluddin pun saya
sempat diajari oleh Kak Wito bahasa Arab yang diselenggarakan oleh Lembaga
Bahasa. Pada masa itu kuliah bahasa (Arab, Inggris dan Indonesia) diselenggarakan
oleh Lembaga Bahasa, tidak terintegrasi ke dalam mata kuliah fakultas seperti
sekarang. Positifnya, waktu itu kita dapat berkenalan dan bersahabat dengan teman
mahasiswa dari fakultas lain (Tarbiyah, Adab, Ushuluddin dan Syari`ah) sehingga
terjadi ukhuwah dan integrasi karakter secara tidak langsung. Berbeda dengan
sekarang, UIN Jakarta yang mengusung integrasi keilmuan, keislaman dan
keindonesiaan tetapi tidak ada wadah integrasi mahasiswa satu fakultas dengan
fakultas lain.
“Logika Gombloh yang Tekstual”
Bagi anggota IMM Cabang Ciputat, istilah “Gombloh” adalah ucapan yang
sering dilontarkan Mas Wito pada saat Makasa (saya mengikuti Makasa tahun
1982), kegiatan penerimaan calon anggota baru Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
yang sekarang dinamakan Masa Ta’aruf Mahasiswa (Masta’ma), Kursus Reguler
maupun Darul Arqam Dasar (DAD). Di kampung, saya sudah mengenal juga
Muhammadiyah, tapi baru mengetahui lebih banyak ketika saya mengikuti Makasa
dan DAD, bahkan saya menjadi aktifis IMM sampai ke tingkat DPD IMM DKI
Jakarta. Ucapan gombloh keluar, baik untuk peserta yang berprestasi maupun yang
melakukan kesalahan. Secara harfiah gombloh itu berarti sangat bodoh. Kak Wito
Ucapan Selamat dan Komentar
340 | Mungkin Segalanya Mungkin
memilih kata ini apakah untuk menggambarkan ke-gombloh-an orang lain atau
dirinya sendiri. Pernah suatu hari kita sedang rapat di FAI UMJ dan salah seorang
teman minta izin mau melaksanakan shalat zuhur karena rapat belum juga di-skors
pada waktu shalat, dan teman ngomong “mohon izin saya mau shalat dulu”, lalu
Kak Wito komentar “memang ada shalat dulu, bukankah yang ada itu shalat Subuh,
Zuhur dan setertusnya”, lalu dia tutup dengan kata “gombloh”.
Dalam logika suatu kata dikenal dua makna, yaitu denotasi dan konotasi.
Secara denotatif suatu kata atau term memiliki makna objektif atau konvensi.
Ketika kita sebut rumah sakit, makna denotatif rumah itu sakit sebagai lawan dari
sehat, tetapi makna konotasi rumah sakit adalah tempat yang disediakan untuk
mengobati orang sakit supaya sehat. Dalam suatu proposisi terdiri atas subjek,
predikat dan objek. Contoh: Saya makan nasi siang dulu (saya = subjek, makan =
predikat, nasi = objek penderita, dan siang dulu = keterangan waktu). Karena sudah
konvensi dan dipahami ketika orang berkata: “Kita makan siang dulu” secara
kontektual, maka sama maknanya dengan “Kita makan nasi siang dulu”.
“Kesederhanaan-Tekun”
Sejak saya mengenal Kak Wito sampai tahun 1995 saya selalu melihat beliu
pergi mengajar ke IAIN, UMJ dan BPKM dengan mengendarai sepeda, bahkan
ketika Mas Wito dilantik menjadi Pimpinan salah satu fakultas di UMJ, Mas Wito
mengendarai sepeda memakai pakaian lengkap, berdasi dan berjas. Hanya dua
orang yang saya kenal waktu itu pergi ke kantor IAIN dengan bersepeda, yaitu Pak
Arifin Toy dan Kak Wito. Kak Wito adalah orang yang tekun dalam belajar, rajin
membaca dan juga menulis. Mungkin tidak banyak di antara kita yang memiliki
ruang perpustakaan sendiri di rumahnya, sehingga banyak di antara kawan-kawan
Kak Wito datang untuk belajar dan mengkaji ilmu-ilmu. Ketekunannya membaca
dan menulis inilah yang mengantarkan Kak Wito cepat menyelesaikan studi Sarjana
sampai Doktor. Pernah suatu kali dia berkata kepada saya: “Masri, saya ini bukan
pintar tetapi saya rajin, tekun dan teliti. Itulah modal saya sukses dalam studi,
sehingga saya bisa sampai ke tingkat Doktor dan meraih pangkat akademik
tertinggi. Profesor”. Ketelitian ini jugalah barangkali sampai sekarang dipercaya
sebagai salah seorang Tim Penilai Angka Kredit Dosen di Kemendiknas yang
sekarang berpindah ke Kemristekdikti).
“Sang Inovator”
Ketika perpindahan tiga fakultas agama UMJ dari Kampus Garuda dan
Kramat Raya ke Cirendeu tahun 1992 terjadiah sedikit konflik antara Rektor dengan
pimpinan fakultas yang tidak mau pindah, yang berakibat pada peminat masuk FAI
UMJ berkurang sampai 1997/1998. Di tangan Kak Wito lah mulai terjadi banyak
mahasiswa. Ide dan gagasan dalam meningkatkan kualitas guru PAI (Pendidikan
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 341
Agama Islam), adalah gebrakan yang berhasil mendongkrak jumlah mahasiswa dan
kualitas pendidikan Agama Islam pada masa itu. Dibukalah kelas-kelas jauh kerja
sama dengan Kandepag untuk mensarjanakan guru-guru MI, MTs, MA dan guru
agama pada sekolah umum.
Inovasi yang berkualitas, kadang-kadang sulit diterima oleh sebagian orang
tentang gagasan Kak Wito. Ia antara lain menerapkan ketentuan di Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta tentang referensi dan catatan kaki. Ketentuan tersebut
adalah setiap halaman tesis dan disertasi wajib menggunakan referensi yang sangat
banyak, yaitu minimal 3 untuk tesis dan minimal 5 untuk disertasi. Referensi
tersebut harus memuat kutipan dari sumber aslinya, berbahasa Arab dan Inggris. Ini
adalah ide yang cemerlang dari Kak Wito, tetapi tidak semua mahasiswa dapat
menerima dan mengikutinya sehingga tidak jarang didengar ledekan bahwa SPS
UIN Jakarta adalah Sekolah Prof. Suwito.
Ia adalah sosok inspiratif bagi siapa pun yang mengenalnya. Ide-ide “gila”
yang dilontarkan adalah karakteristiknya yang kontruktif dan berkemajuan. Sistem
komputerisasi yang digagas beliau pada masa menjadi Pembantu Rektor I bidang
Akademik UIN Jakarta, sudah menjadi keharusan. Ide itu ia sampaikan ketika saat
itu belum terpikirkan dan terwacanakan oleh siapa pun. Ketika saat ini berkembang
teknologi yang pesat, sebenarnya sudah ada dalam pemikiran beliau pada masa itu.
Semangat selalu berubah dan melakukan perubahan adalah konsep yang selalu
dikembangkan untuk mencapai keberhasilan dan kemajuan dalam berkiprah
mengemban amanat.
Selamat milad ke-60 Kak Wito, selamat panjang umur, sejahtera, sehat
sentosa, dan bahagia dunia akhirat. Āmīn.
PROF. SUWITO: SANG PENCARI MASALAH
Yusuf Rahman, M.A., Ph.D.
(Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta)
Dalam suatu pertemuan rutin
pimpinan dan karyawan Sekolah
Pascasarjana, salah satu peserta rapat
mengungkapkan bahwa agar pekerjaan kita
selalu terlaksana dengan lancar, maka kita
harus bisa menghindari masalah yang
mungkin dapat menghalangi kelancaran
pekerjaan kita. Prof. Suwito tidak setuju
dengan pernyataan tersebut. Sebaliknya ia
menyampaikan kita harus selalu berusaha
untuk mencari dan menemukan masalah,
bukan menghindari masalah.
Ucapan Selamat dan Komentar
342 | Mungkin Segalanya Mungkin
Demikianlah yang saya dapatkan dari “filosofi” kinerja Prof. Suwito ketika
bersamanya di Sekolah Pascasarjana (SPs). Tentu saja tidak banyak yang paham
dengan pernyataan Pak Wito (begitu saya sering memanggilnya) ini. Pak Wito
dikenal sering bermain dengan kata-kata bahkan mempertanyakan ungkapan
seseorang, yang kadang, bahkan sering, membuat jengkel orang tersebut. Tidak
jarang, orang tersebut kemudian tersenyum atau tertawa sendiri setelah paham yang
dimaksud Pak Wito, atau sebaliknya malah “ngedumel” kesal. Kata “mencari,”
misalnya, bagi Pak Wito sebenarnya kurang tepat, karena kalau hanya “mencari”
maka tidak akan pernah menemukan sesuatu. Oleh karena itu, ia lebih setuju dengan
kata “menemukan.”
“Menemukan Masalah”
Itulah yang diinginkan Pak Wito agar lembaga SPs, atau lembaga lainnya,
menjadi maju dan lebih baik. Setiap karyawan diharapkan untuk mencari dan
menemukan masalah. Mulai dari Kepala Bagian SPs hingga pegawai kebersihan
diharapkan dapat menemukan masalah di bidangnya masing-masing atau di bidang
yang lainnya. Itulah yang mungkin disebut dengan “hole” (lubang) atau “big hole”
(lubang besar), dalam suatu pekerjaan rutin maupun akademik, yang kemudian
harus diikuti dengan langkah selanjutnya, yaitu menemukan solusi untuk
memecahkan dan menyelesaikan masalah serta menutup lubang tersebut.
Ini tidak hanya dilakukan oleh karyawan SPs, akan tetapi juga diperankan
langsung oleh Pak Wito. Tidak heran jika Pak Wito sudah berada di kampus SPs
setiap paginya pukul 07.00 pagi, dan pulang setiap sorenya selepas Maghrib –
kecuali jika ada agenda-agenda tertentu -- untuk menemukan masalah dan
menyelesaikannya. Sangat jarang untuk mendapatkan Pak Wito berada di ruang
kerjanya, misalnya membaca artikel atau buku, dan menulis karya untuk
kepentingan pribadinya, karena ia selalu melakukan “blusukan” dan “tawaf”
berkeliling taman, ruang dosen, ruang kelas, kantor administrasi, perpustakaan, dan
lain-lain. Ia sering mengatakan bahwa ruang kerjanya ada di mana-mana, sehingga
mahasiswa bisa konsultasi dengannya di meja taman, surat-surat bisa langsung
ditandatanganinya di kantor administrasi, di depan ruang kelas, atau di meja taman,
di sela-sela “blusukannya.” Pak Wito juga merasa risih jika ia hanya mengerjakan
kegiatan-kegiatan yang hanya untuk kepentingan pribadinya di kantor SPs. Baginya,
ketika berada di kantor SPs, waktunya adalah untuk kepentingan mahasiswa,
karyawan, dan dosen SPs, dan bukan untuk kepentingan pribadinya. Bahkan,
totalitas Pak Wito untuk SPs bisa dikatakan 24 jam per hari, tujuh hari per minggu.
Tidak jarang karyawan SPs mendapatkan sms dari Pak Wito di malam hari atau
pukul 4 pagi mengingatkan berbagai hal terkait dengan program dan kegiatan SPs.
Ia sering mengatakan, kalau tidak segera disampaikan melalui sms atau wa,
khawatir akan lupa menyampaikannya. Tidak hanya satu atau dua kali, Pak Wito
mengajak rapat/pertemuan di hari Sabtu atau Minggu untuk menyelesaikan
pekerjaan SPs, seperti penulisan Brosur, Buku Pedoman, Borang Akreditasi,
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 343
Persiapan ujian atau pengumuman kelulusan mahasiswa baru, dan kegiatan lainnya.
Pak Fuad Jabali (yang saat itu sebagai Deputi Akademik) sering mengkritik Pak
Wito di hadapan para karyawan, “Kalau bagi Pak Wito, rapat di hari libur (Sabtu
dan Minggu) tidak masalah, karena posisi Pak Wito sudah mapan dan selesai, baik
dalam hal akademik (karena sudah Profesor) dan juga keluarga, karena ia sudah
lama berkeluarga dan anak-anaknya pun sudah dewasa dan berkeluarga. Akan tetapi
bagi kita-kita “yang masih muda” baik dalam karier akademik maupun berkeluarga,
kita masih memerlukan hari libur untuk bisa berkumpul bersama keluarga atau
untuk melakukan kegiatan non-kantor lainnya.” Tidak mengherankan jika yang bisa
dan siap mengikuti totalitas Pak Wito untuk bekerja secara total tersebut adalah
mereka yang masih single “belum berkeluarga,” seperti Adam Hesa, Arief
Mahmudi, Nurun Nisa. Sementara yang sudah berkeluarga, lebih sering “on dan
off” mengiringi kerja keras Pak Wito di luar jam kantor atau di hari libur.
Hasil dan bukti dari totalitas Pak Wito dalam menemukan masalah dan
menyelesaikannya sangat kentara selama kiprahnya di SPs, yang tentu saja
didukung dan direstui oleh Pak Edy (Prof. Azyumardi Azra), Direktur SPs UIN
Jakarta. Dalam konteks akademik, misalnya Pak Wito dan Pak Fuad mendapatkan
bahwa model presentasi di saat ujian proposal, ujian tesis atau disertasi sangat
deskriptif, tidak to the point, dan terlalu bertele-tele. Akhirnya bersama Pak Fuad, ia
mengubah model presentasi/abstrak menjadi terdiri dari: Kesimpulan Awal/Besar,
Perdebatan Masyarakat Akademik, Posisi Tesis/Disertasi, serta Sumber dan
Metodologi. Dengan presentasi seperti ini, pembaca dan audiens paham di mana
tema keilmuan penulis tesis/disertasi, apa perdebatan keilmuannya, serta di mana
posisi akademik penulis tesis/disertasi, dan bagaimana membuktikan posisi
akademik tersebut. Tentu saja ada yang tidak setuju dengan model presentasi
semacam ini, dengan berbagai alasan, seperti kritikan mereka bahwa model abstrak
seperti di atas tidak lazim dalam penulisan karya ilmiah, belum jelas masalahnya
tapi sudah ada kesimpulan, atau belum melakukan penelitian tapi sudah memiliki
kesimpulan. Komentar dan kritikan-kritikan tersebut dengan berjalannya waktu
terus diperhatikan, diklarifikasi, dan dituangkan dalam Buku Pedoman Akademik
dan tempelan dinding beserta contohnya, sehingga sedikit demi sedikit dapat
memperjelas apa yang diharapkan SPs. Dengan model presentasi dan abstrak seperti
ini, sebenarnya SPs menginginkan mahasiswanya untuk percaya diri dan bangga
dengan hasil karyanya, sehingga seakan-akan memiliki “kesombongan akademik”
karena mereka dituntut untuk membantah atau merevisi teori dan kesimpulan
masyarakat akademik yang selama ini sudah ada, serta mengajukan teori baru. Teori
dan kesimpulan yang diperdebatkan pun bukan kesimpulan yang sudah diajukan
hanya oleh teman dan alumni yang sudah menulis tesis/disertasi, atau penelitian
dosen dan peneliti di Indonesia sebelumnya. Kesimpulan model ini masih bersifat
lokal. Mahasiswa dituntut untuk surfing the web, bertanya ke Mbah Ustadz Google,
dan artikel-artikel akademik yang terdapat di e-journal untuk mendapatkan hasil
penelitian masyarakat akademik internasional, baik yang berbahasa Arab maupun
Ucapan Selamat dan Komentar
344 | Mungkin Segalanya Mungkin
Inggris, dan juga bahasa internasional lainnya. Itu sebabnya, selama
kepemimpinannya, mahasiswa diwajibkan untuk mengikuti kursus bahasa Turki,
Persia, Jerman, Perancis, Rusia, dll., agar mereka bisa mengakses karya-karya yang
ditulis dalam bahasa-bahasa tersebut, selain yang berbahasa Arab dan Inggris. Tesis
dan disertasi di SPs diharapkan tidak hanya deskriptif, menggambarkan pemikiran
seorang tokoh atau fenomena tertentu, akan tetapi bersifat argumentatif – argue for
dan argue against …. Tesis dan disertasi tidak cukup hanya mendeskripsikan dan
membandingkan suatu fenomena, pemikiran atau kajian, akan tetapi harus dikaitkan
dengan kesimpulan dan teori dalam tema keilmuan. Kesimpulan tesis/disertasi harus
lulus dari pertanyaan “So what?” Memangnya kenapa? Memangnya kalau
pemikiran seperti itu kenapa? Memangnya kalau ada perbedaan kenapa? dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya untuk menunjukkan urgensi penelitian dan
kontribusi akademik dari penelitian yang dilakukan. Selanjutnya, jika perdebatan
akademik hanya merujuk kepada penulis dan peneliti lokal (Indonesia), maka akan
dikatakan kepada penulis tesis/disertasi bahwa penelitian tersebut hanya berdebat
dengan tetangga dan kerabat saja; jika hanya merujuk kepada karya internasional
“Barat” maka Pak Wito akan mengatakan bahwa penelitian tersebut masih “kafir”,
dan selanjutnya, jika lebih banyak rujukan internasional berbahasa Arab, maka Pak
Wito akan mengatakan bahwa penelitian tersebut “terlalu Islami.” Yang diharapkan
adalah penelitian yang merujuk mayoritas kajian sarjana Barat, Muslim dan juga
lokal yang terkini dan berkualitas. Pak Fuad sering mengatakan “Jika kita makan
makanan yang basi dan tidak berkualitas, maka kita akan sakit perut dan (maaf)
mencret, dan begitupun sebaliknya. Demikian pula, jika kita membaca karya-karya
yang up to date, tidak basi dan second (bekas) serta berkualitas, maka kita akan
menghasilkan karya yang berkualitas pula.” Moto SPs pada saat itu berbunyi
“Membaca Dunia Dibaca Dunia,” karena mahasiswa diharapkan untuk membaca
karya-karya masyarakat dunia akademik, sehingga kemudian karya-karya mereka
juga akan dibaca dunia. Hal ini karena rujukan dan kajian kita juga merupakan
kajian yang sedang diperdebatkan masyarakat dunia akademik. Oleh karena itu,
dalam berbagai sesi-sesi ujian, Pak Wito akan selalu bertanya “Penelitian Anda mau
membantah siapa?” atau “Anda mau mengajukan teori apa di bidang keilmuan
Anda?” Inilah barangkali yang diharapkan dari para mahasiswa SPs untuk memiliki
“kesombongan” akademik. Tapi, “kesombongan” ini harus dibuktikan dengan
perdebatan teori dan argumentasi, serta didukung dengan bukti-bukti dan
argumentasi, serta metodologi yang kuat. Dikarenakan banyak mahasiswa yang
belum tahu bagaimana cara membuat teori, Pak Wito memberikan salah satu
formulanya yang terkenal, yaitu “Semakin … maka semakin ….” Sebagai misal,
“Semakin eksklusif suatu penafsiran, maka semakin radikal penafsiran dan
pemahaman tersebut.”
Selain merombak model presentasi abstrak, Pak Wito dan timnya juga
merombak cara mempresentasikan hasil penelitian dalam tesis dan disertasi. Penulis
tesis dan/atau disertasi harus mengajukan minimal dua bab inti untuk mendukung
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 345
kesimpulannya, sehingga persentase bab inti ini mencakup 70% dari keseluruhan
babnya, sementara bab-bab pengantar persentasenya 30%, tidak lebih banyak dari
bab inti. Kita sering mengumpamakan “Jangan sampai komposisi tesis/disertasi kita
seperti komposisi orang yang mau naik haji. Yang berangkat haji hanya satu orang,
tapi yang mengantarkan terdiri dari rombongan tiga bis. Jangan sampai bab intinya
hanya satu bab (bahkan ada yang hanya terdiri dari satu subbab), tapi bab-bab
pengantarnya (yang mengantarkannya) terdiri dari tiga bab.” Ditambah lagi dengan
kebijakan-kebijakan akademik lainnya, seperti penggunaan banyak referensi dari ejournal,
setiap halaman minimal terdiri dari tiga sampai lima referensi (bukan tigalima
footnote), verifikasi tesis/disertasi baik dari sudut teknis maupun substansi,
serta kegiatan Work in Progress (WIP) tiga sampai empat kali untuk
mempresentasikan isi bab-bab pengantar dan inti. Lagi-lagi kebijakan tersebut
sempat dipertanyakan. Ada pembimbing tesis/disertasi yang merasa perannya
dilangkahi oleh proses verifikasi dan WIP. Dalam salah suatu ujian WIP, salah satu
mahasiswa mempertanyakan kegiatan WIP ini dengan menyatakan “Kami sudah
menulis tesis/disertasi, dan sudah melalui proses bimbingan dosen pembimbing, tapi
kemudian tesis/disertasi kami “diobok-obok” lagi dalam WIP.” Kebetulan saat itu,
salah satu penguji WIP-nya adalah Prof. Azyumardi Azra, yang kemudian
merespon bahwa tujuan dari WIP adalah untuk memberi masukan kepada
mahasiswa penulis tesis/disertasi, selain masukan dari dosen pembimbing. Apalagi
sebelumnya banyak didapatkan dosen pembimbing yang kurang – atau tidak –
membimbing. Dengan kritikan dan masukan dari tim penguji WIP tersebut, penulis
tesis/disertasi kemudian bisa mendiskusikannya dengan dosen pembimbing, dan
mempertimbangkan masukan-masukan dan kritikan yang ada. Proses yang berlikuliku
ini, yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas tesis/disertasi, sering
diistilahkan oleh para mahasiswa dengan “proses yang berdarah-darah” karena
harus melalui berbagai macam verifikasi, ujian, sebelum akhirnya sampai pada
ujian promosi.
Salah satu masalah lagi (dari berbagai masalah yang ditemukan) Pak Wito
dalam kaitannya dengan bidang akademik adalah format tesis/disertasi. Pak Wito
menemukan bahwa bentuk tesis/disertasi yang diserahkan ke Tim Penguji
tesis/disertasi, maupun ke perpustakaan, sebelum ataupun setelah ujian akhir,
berbentuk terlalu besar dan tebal, karena dalam format kertas HVS A4 yang
dibundel dan dijilid, sehingga agak sulit dan berat untuk dibawa ke mana-mana. Pak
Wito kemudian mengusulkan untuk mengubahnya menjadi format buku, dengan
kertas B5, dan dicetak/diprint bolak balik, sehingga bentuknya berupa buku dan
lebih mudah dibawa-bawa, serta bisa dipajang di rak buku. Ketika usul ini
disampaikan ke Pak Edy, Pak Edy langsung setuju dan menunjukkan kepada Pak
Wito disertasi di Belanda yang juga berbentuk buku. Oleh karena itu, akhirnya,
muncullah kebijakan format tesis/disertasi dalam bentuk buku. Sebenarnya, pada
awalnya kebijakan tersebut menentukan bahwa tesis/disertasi yang akan diujikan
sudah dalam bentuk buku dan diterbitkan oleh penerbit kredibel. Lagi-lagi
Ucapan Selamat dan Komentar
346 | Mungkin Segalanya Mungkin
kebijakan ini dipertanyakan, terutama kebijakan bentuk tesis/disertasi yang sudah
diterbitkan sebelum diujikan. Mereka berargumen, bagaimana kita mau mengkritik
dan memberikan masukan dalam ujian kepada tesis/disertasi yang sudah
diterbitkan? Mereka mengusulkan agar penerbitan tesis/disertasi dilakukan setelah
selesai ujian promosi, yang pada akhirnya usulan ini diterima. Walaupun sebetulnya
maksud dari bentuk format buku dan sudah dalam kondisi diterbitkan, adalah agar
penulisan tesis/disertasi sudah berkualitas dan benar-benar terhindar dari kesalahan
konyol (stupid mistake) dalam istilah Pak Edy, dan juga terhindar dari plagiasi.
Adapun kritikan terhadap buku yang sudah terbit masih sering kita dapatkan, apa
lagi terhadap tesis/disertasi yang belum diterbitkan. Itulah makanya ada penerbitan
edisi kedua dan selanjutnya, karena penulisnya memperbaiki, mengembangkan dan
merespon terhadap kritikan dan masukan dari para pembaca. Pak Fuad, dalam
konteks yang berbeda, sering merujuk ke ucapan dosennya di McGill University,
Prof. D.P. Little, yang menyampaikan bahwa kita tidak perlu takut atas kiritikan
terhadap karya kita, Bibel saja (atau dalam konteks kita al-Qur’an) sering dikritik,
apalagi karya kita. Pernyataan ini untuk menunjukkan bahwa walaupun sudah terbit
dan dibukukan, itu tidak menghalangi dari berbagai kritikan.
Demikianlah beberapa kebijakan akademik – yang lahir dari berbagai
masalah yang ditemukan selama blusukan. Berbagai proses dan kebijakan akademik
ini, yang meliputi penelitian, penulisan, verifikasi-verifikasi baik teknis dan
substansi, serta ujian-ujian Proposal, WIP tiga hingga empat kali, ujian
komprehensif, ujian pendahuluan dan ujian promosi “yang berdarah-darah” telah
menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan layak dibaca dunia. Beberapa hasil
penelitian diterima untuk dipresentasikan dalam seminar nasional maupun
internasional, mendapatkan dana penelitian dan publikasi, seperti Diktis Kemenag,
Mizan maupun lainnya, serta diterbitkan penerbit yang kredibel dan dijual di
beberapa toko buku. Kalaupun tesis/disertasi tersebut belum diterbitkan, beberapa
peneliti bisa dan telah merujuk karya-karya tersebut. Tidak sedikit ada perbedaan
mencolok antara tesis/disertasi yang belum terbit dengan yang sudah diterbitkan,
karena tuntutan pasar atau penerbit yang mengharuskan pengubahan judul dan
substansi, teknik penulisan kutipan, atau penghilangan aspek metodologi. Oleh
karena itu, posisi tesis/disertasi yang belum terbit, tetap bisa dijadikan rujukan dan
juga dikutip, karena beberapa perbedaan tersebut.
“Sudah Terlanjur Baik dan Bagus”
Jika pembahasan di atas terkait dengan masalah-masalah yang ditemukan
dalam konteks akademik, hasil beberapa blusukan juga menghasilkan perubahan
dan pengembangan fasilitas dan urusan administrasi. Yang sangat mencolok adalah
pengembangan fasilitas untuk mahasiswa. Pak Wito mendapatkan masalah di mana
pada setiap pagi para petugas kebersihan sibuk menyapu dan membuang daun dari
pohon sawo kecik, sehingga waktu mereka habis untuk menyapu dan membuang
sampah dedaunan. Padahal mereka juga harus membersihkan dan merapikan ruang
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 347
kelas dan administrasi. Oleh karena itu, Pak Wito, tanpa diskusi dengan Pak Edy,
memerintahkan untuk menebang pohon tersebut, dan menggantinya dengan pohon
ketapang. Pada awalnya Pak Edy sempat marah dengan pemotongan tersebut, tapi
pada akhirnya ia menyetujuinya, karena hasilnya, mahasiswa merasa nyaman
berada di taman SPs. Pohon ketapang tersebut daunnya lebat dan rindang, dan tidak
mudah gugur daunnya. Yang terpenting lagi, petugas kebersihan tidak terlalu repot
menyapu dan membuang sampah dedaunan setiap paginya. Setelah menanam pohon
yang rindang, Pak Witopun memperbaiki meja dan bangku di taman, agar
mahasiswa lebih nyaman membaca dan menulis di bawah naungan pohon, maupun
berdiskusi dengan teman-temannya. Ditambah lagi, di setiap meja taman disediakan
colokan listrik dan lampu, serta fasilitas wifi, sehingga mahasiswa bisa berlamalama
mengerjakan tugas atau menulis tesis/disertasi di meja taman, bahkan sering
hingga tengah malam. Fasilitas ini diberikan kepada mahasiswa, karena SPs
menuntut mereka untuk membuat karya yang layak.
Selain memperbaiki dan mengembangkan taman yang layak dan asri, serta
diiringi dengan musik instrumen dan bacaan al-Qur’an khususnya di hari Jum’at,
mahasiswa juga diberikan fasilitas Quiet Room, ruang belajar. Pada awalnya, SPs
hanya menyediakan satu ruang belajar yang digunakan bersama, baik mahasiswa
laki-laki maupun perempuan, di Lantai 3. Namun karena ada kekhawatiran moral di
mana laki-laki dan perempuan berada dalam satu ruangan hingga larut malam, serta
untuk memberi fasilitas kepada mahasiswi perempuan yang hamil yang
mendapatkan kesulitan dan keberatan untuk naik ke Lantai 3, maka Pak Wito
menyediakan kembali ruangan belajar di Lantai 2, sehingga saat itu terdapat ruang
belajar untuk mahasiswa laki-laki dan satu ruang belajar untuk mahasiswa
perempuan. Ruangan ini juga didukung fasilitas wifi, meja, kursi, lemari, dan
colokan listrik, sehingga mereka bisa membawa laptop mereka, mengakses internet,
dan juga menyimpan buku referensinya – untuk sementara waktu – di lemari meja.
Dengan keberadaan fasilitas meja taman, ruang belajar, dll., petugas sekuriti SPs
sering menyampaikan bahwa banyak mahasiswa yang memanfaatkan fasilitas
tersebut hingga larut malam untuk mengerjakan tugas-tugas mereka. SPs sadar
bahwa kebanyakan mahasiswa tinggal di rumah kontrakan, dengan ekonomi yang
pas-pasan, bahkan ditambah lagi dengan membawa serta keluarga mereka, sehingga
kondisi dan fasilitas rumah atau kamar kontrakannya kurang kondusif untuk
kegiatan penelitian dan penulisan. Oleh karena itu, SPs memanjakan mereka dengan
memberikan fasilitas-fasilitas yang dapat mempercepat penyelesaian studi mereka
dan menghasilkan karya yang berkualitas.
Selain fasilitas ruang belajar untuk mahasiswa, Pak Wito juga mendapatkan
masalah bahwa kebanyakan dosen datang ke SPs hanya ketika memiliki jadwal
mengajar atau menguji. Setelah selesai dengan tugas mengajar dan menguji, mereka
segera pulang dari SPs, sehingga mahasiswa tidak bisa melanjutkan diskusi dan
berkonsultasi dengan mereka. Oleh karena itu, agar para dosen betah berada di SPs,
Pak Wito mengajukan pengubahan ruang kelas, perpustakaan dan kantor sekretariat
Ucapan Selamat dan Komentar
348 | Mungkin Segalanya Mungkin
dan administrasi di Lantai 1 menjadi ruang dosen. Selanjutnya ruang perpustakaan
dipindah ke gedung eks perpustakaan utama (dan Fakultas Psikologi), serta kantor
sekretariat dan administrasi ke Lantai 3. Agar dosen betah berlama-lama berada dan
berkantor di ruang dosen, maka fasilitas di ruang dosen ditingkatkan, selain itu juga
para dosen sering dilibatkan dalam kegiatan mengajar, membimbing, menguji,
verifikasi dan lain-lain (bahkan menyusun proposal penelitian bersama) sehingga
mereka sering datang ke SPs dan terlibat dengan kegiatan SPs, serta merasa at
home.
Tentu saja, kegiatan pengubahan, perpindahan dan pembangunan ruangan
sangat menguras tenaga dan dana. Hampir terjadi setiap minggu dalam bulan-bulan
tertentu, pimpinan dan karyawan SPs bekerja bakti mengangkut-angkut buku,
komputer, meja, kursi, lemari, dan barang-barang lainnya, dari Lantai 1 ke
perpustakaan di gedung eks Fakultas Psikologi; dari Lantai 1 ke kantor administrasi
dan sekretariat di Lantai 3. Pak Anin, salah satu petugas kebersihan sempat
beberapa kali sakit (turun berok), karena sering mengangkut barang berat. Yang
lebih pusing tujuh keliling adalah bagian keuangan, karena usulan-usulan Pak Wito
jika dituruti semua, sangat menguras dana yang dianggarkan untuk SPs. Tidak
jarang, SPs harus mengajukan dana tambahan ke UIN untuk biaya renovasi dan
pengadaan barang di SPs, karena dana yang tersedia di SPs sudah habis digunakan.
Pak Wito selalu mengatakan bahwa dana yang ada bukanlah dana milik kita pribadi,
sehingga kalau digunakan untuk kepentingan fasilitas pelayanan untuk mahasiswa
dan dosen, dan bukan untuk kepentingan pribadi, maka penggunaan dana tersebut
lebih bermanfaat.
Dalam hal ini, Pak Wito sering mengatakan bahwa SPs “sudah terlanjur baik
dan bagus”, maka fasilitas dan administrasi SPs, termasuk kualitas akademik SPs,
harus lebih baik dan bagus dari yang ada. Pengadaan beberapa titik CCTV ditujukan
untuk memelihara keamanan dan kenyamanan di lingkungan SPs, karena
sebelumnya ada laporan kehilangan laptop di mushalla, bahkan motor. Dengan
adanya CCTV tersebut, serta TV monitor CCTV, tidak terdengar lagi berita
kehilangan laptop. Pengadaan beberapa titik hotspot wifi di ruang belajar (Quiet
Room), di tiap lantai gedung SPs, dan lainnya juga untuk melayani mahasiswa
menyelesaikan tugas-tugas studi mereka. Bahkan, Pak Wito juga mengajukan iklan
di airporteve, sehingga siapapun yang berada di ruang tunggu airport, dapat melihat
dan membaca iklan SPs baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selain iklan di airporteve, juga ada iklan di koran Kompas dan Republika. Pernah
Pak Wito juga mengusulkan untuk memasang iklan di kereta, namun usulan ini
belum terlaksana. Ini semua, karena filosofi Pak Wito bahwa SPs sudah terlanjur
baik dan bagus, maka fasilitas dan citra SPs juga harus baik dan bagus, dan yang
lebih penting tidak menyalahi ketentuan keuangan.
Pak Fuad sering mengatakan dengan nada guyon, bahwa Pak Wito memiliki
penyakit autis, karena tidak pernah bisa berdiam diri. Bahkan mungkin kalau
berdiam diri malah akan sakit. Pak Wito juga pernah menyatakan bahwa kalau ideOtobiografi
Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 349
idenya tidak direspon dan tidak disetujui Pak Edy, maka dia lebih baik mundur dari
jabatannya, karena baginya tidak ada gunanya menjabat, jika tidak bisa berbuat
banyak untuk kepentingan meningkatkan kualitas SPs. Oleh karena itu, selalu saja
ada ide-ide baru dan selalu berusaha untuk mengimplementasikan ide-ide baru
tersebut. Pak Wito baru bisa berhenti dan tidak kuasa untuk mengimplementasikan
ide-ide tersebut, jika memang dana dari SPs maupun dari UIN tidak ada.
Tampaknya, hanya ini (ketiadaan dana) yang bisa menghentikan implementasi
kucuran ide Pak Wito.
Dengan kegiatan blusukan dan didukung dengan “penyakit” autis Pak Wito
yang tidak pernah berhenti menghadirkan ide-ide baru, lingkungan dan fasilitas SPs
sangat asri, aman dan nyaman sehingga mendukung terciptanya karya yang layak
dibaca dunia. Terima kasih Pak Wito dan Selamat ulang tahun ….
SWT. : “BERANI BEDA”
Prof. Dr. Yusron Razak, M.A.
(Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta)
Mas Wito, begitu saya biasa
memanggil Prof. Dr. Suwito, MA.
Selain karena usia, dia lebih tua dari
saya juga karena dia adalah senior saya
di organisasi ekstra Universitas, Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ciputat. Melalui organisasi inilah saya
mengenal Mas Wito tahun 1980. Mas
Wito menjadi panitia orientasi
mahasiswa baru IMM yang namanya
Makasa (Masa Kasih Sayang) ketika
itu, sekarang dinamakan Masa Ta’aruf
Mahasiswa (Mastama), saya menjadi
pesertanya. Hal menonjol yang
ditampilkan Mas Wito dibanding panitia lainnya ketika itu adalah semangat dan
kreativitasnya. Dia sangat bersemangat mengajak peserta Makasa menyanyikan
lagu Mars/Hymne IMM dengan meminta peserta berdiri dan memimpin secara
bergantian sehingga mampu mengalahkan lelah dan kantuk yang mendera kami.
Interaksi dan komunikasi kami terus berlangsung dalam bentuk hubungan
antara yunior dan senior di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat,
setelahnya, dan bahkan sampai saat ini. Mas Wito sebagai Sekretarais Senat UIN
dan saya sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan. Sewaktu saya
menyelesaikan studi sarjana dengan gelar doktorandus (Drs) tahun 1985 dari
Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah dan Filsafat, Mas Wito sudah menjadi dosen
di Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Fakultas Pendidikan
Ucapan Selamat dan Komentar
350 | Mungkin Segalanya Mungkin
Ilmu Pengetahuan Sosial (FKIS) IKIP Muhammadiyah Jakarta. Saya menyusul
menjadi dosen di tempat yang sama atas bantuan Kak Yunan (Prof. Dr. M. Yunan
Yusuf), senior IMM Ciputat yang sudah lebih dahulu menjabat dan menjadi dosen
di beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta dan paling banyak
merekrut alumni IMM Ciputat untuk menjadi dosen di IKIP Muhammadiyah
Jakarta (sekarang menjadi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka). Pada
masa itu, alumni IMM Ciputat berpandangan bahwa angkatan muda
Muhammadiyah, khususnya IMM, adalah sebagai kader terdidik di
Muhammadiyah, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Oleh
sebab itu, alumni yang memenuhi persyaratan untuk menjadi dosen di Perguruan
Tinggi Muhammadiyah, menjadi sebuah “panggilan” kalau bukan keharusan.
Dalam konteks ini posisi Mas Wito dalam menggerakkan amal usaha
Muhammadiyah, cukup mengesankan. Dia sangat kreatif mengembangkan amal
usaha Muhammadiyah yang dipimpinnya. Ketika menjadi Direktur Balai
Pendidikan keterampilan Muhammadiyah (BPKM), yang dulu berlokasi di dekat
Sekolah Tinggi Ekonomi Muhammadiyah (sekarang menjadi bagian dari lokasi
STIEAD), dia berhasil mengubah manajemen, “wajah” dan kegiatan BPKM
menjadi bervariatif dan beragam. BPKM yang semula terkesan “kumuh”, tidak
terurus, berubah, menjadi indah, dan nyaman, sehingga dapat “mengundang”
masyarakat untuk mengenal lebih jauh tentang BPKM. Ketika Mas Wito menjadi
salah seorang pimpinan Fakultas Tarbiyah dan Program Studi Agama Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Jakarta, ia “berhasil” mempromosikan kedua fakultas
tersebut sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat yang ditandai oleh
meningkatnya jumlah mahasiswa secara significant. Semua ini tidak terlepas dari
kerja kreatif Mas Wito. Hal yang sama juga dapat dilihat dari kepemimpinannya di
IAIN/UIN, selama dua periode, bersama dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra, sebagai
rektor. Diakui atau tidak, Mas Wito sangat berperan dalam mewujudkan
transformasi IAIN menjadi Universitas (UIN). Kepemimpinannya bersama
Azyumardi terus berlanjut pada Sekolah Pascasarjana UIN. “Wajah” Mas Wito di
sini kelihatan “garang”. Betapa tidak, demi menjaga reputasi dan akreditasi, Mas
Wito, “tega” men-DO (drop out) teman-temannya sendiri sesama dosen UIN yang
telah melewati masa studi, baik pada tingkat Strata dua (S-2) maupun Strata tiga (S-
3). Kebijakan yang tidak popular ini, tentunya, mengundang “kontroversi” di
kalangan dosen UIN sendiri maupun mahasiswa Sekolah Pascasarjana yang menjadi
korbannya.
Mas Wito, selain “bertangan dingin”, dapat memajukan apa saja yang
dipercayakan kepadanya. Dia juga “berani berbeda” dalam hal pemikiran yang oleh
umum sudah dianggap benar. Misalnya, ketika orang mengatakan: “Mari kita
makan siang/malam”. Pernyataan ini, tidak tepat, menurut Mas Wito, karena,
“Bukankah siang atau malam, tidak bisa dimakan?” Contoh lainnya adalah
mengenai kebiasaan kita membuka dan menutup pertemuan/rapat. Ini pun tak luput,
menjadi sasaran kritik Mas Wito. “Penggunaan kata “membuka” dan “menutup”,
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 351
tidak tepat digunakan untuk membuka dan menutup acara”, katanya. Yang tepat
menurutnya adalah menggunakan kata “diawali” untuk membuka dan “diakhiri”
untuk menutup acara. Inilah pilihan kata yang digunakannya ketika memimpin
sidang senat terbuka dalam rangka wisuda UIN Jakarta, menggantikan posisi Prof.
Dr. H.M. Atho Mudzhar, sebagai ketua senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akibatnya, bagi orang yang sudah mengenal Mas Wito, harus berhati-hati dalam
pembicaraan dengannya, karena apa pun yang kita bicarakan, selalu ada peluang
untuk dikritik, manakala ungkapan kita kurang/tidak tepat.
Saran saya, “Berhati-hatilah berbicara dengan Mas Wito. Gunakan logika dan
pilihlah kata yang tepat. Kalau tidak, maka bersiap-siaplah menjadi “korban”
gugatannya”. Akhirnya, saya ucapkan selamat ulang tahun Mas Wito, tetaplah
kreatif dan kritis.
SEDERHANA, TEKUN, DAN PEDULI
Ahmad Dardiri, M.A., Ph.D.
(Teman ketika Kuliah Sarjana Lengkap/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pribadi kawan saya yang satu ini,
Mas Wito, sungguh mengagumkan. Saya
berkawan dengannya sejak menempuh
pendidikan doktoral di Jurusan Bahasa
Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta.
Saya sangat terkesan dengan
kesederhanaan, ketekunan, dan
kepeduliannya. Di mata Mas Wito, saya
dianggap orang yang polos dan lugu.
Bahkan mungkin dinilai tidak bisa
“mencari calon pendamping hidup”
sendiri. Ternyata dugaan saya tidak salah.
Mas Wito adalah orang yang menjadi
“mak comblang”, “makelarcinta”, atau
“tim sukses cinta” saya dengan sang istri saya saat ini. Tidak tanggung-tanggung,
supaya saya bisa “berpacaran”, hampir setiap akhir pekan saya diajak nonton
bioskop di Ciputat oleh Mas Wito bersama sang “pacar” yang tidak lain adalah putri
Alm. Prof. Dr. Hadjid Harnawidagda.
Saya melihat Mas Wito itu tidak hanya peduli terhadap masalah pribadi yang
sedang dihadapi kawan-kawannya, tetapi juga sangat peduli terhadap masalah
“sekolah” atau akademik, terutama masalah studi lanjut, penyelesaian studi, dan
pengurusan kenaikan pangkat. Pernah suatu ketika, saya mendengar dari Mas Wito
langsung bahwa kenaikan pangkat itu perlu diurus karena menyangkut urusan
“dapur”, urusan kelangsungan hidup, meski kepangkatan bukan satu-satunya
variabel yang menentukan dapur itu tetap mengepul atau tidak. Sayangnya, saya ini
Ucapan Selamat dan Komentar
352 | Mungkin Segalanya Mungkin
termasuk yang malas mengurus masalah administrasi, termasuk kepangkatan
akademik. Dalam hal ini, saya menganggap Mas Wito orang spesial yang tidak akan
pernah saya lupakan dalam hidup ini.
Kesan saat pertama kali saya bertemu/berkawan dengannya adalah bahwa
Mas Wito itu culun, lugu, dan kampungan. Penampilan ini bisa dimaklukmi karena
latar belakang beliau dari kampung, wong ndeso, anak dukun bayi, dan baru
pertama kali menginjakkan kaki di ibukota. Namun, jiwa sosial dan kepeduliannya
begitu tinggi. Saya masih ingat ketika Mas Wito selalu membantu dan memudahkan
teman-teman seangkatannya yang berjumlah 7 orang di Jurusan Bahasa Arab,
termasuk saya, dalam mengambilkan formulir registrasi sebanyak 7 lembar dan
mengisikannya. Ketika ada masalah dalam memahami matakuliah, Mas Wito selalu
memprakarsai belajar kelompok. Bahkan hingga penyelesaian studi, terutama
penulisan skripsi, Mas Wito lah pelopornya dalam mengumpulkan kawan-kawan
agar menulis skripsi bareng dan selesai studi dengan bareng.
Kepedulian itu terus berlanjut setalah saya menyelesaikan studi doctoral dan
diangkat menjadi dosen Fakultas Tarbiyah. Mas Wito selalu mengingatkan saya
untuk segera melanjutkan studi S-2. Begitu selesai S-2, beliau mendorong dan
mengajak saya melanjutkan S-3. Meskipun saya tidak menyelesaikannya di kampus
UIN ini, tetapi Mas Wito pula yang meyakinkan saya untuk melanjutkan S-3 di
Universitas Jamia Millia Islamia India, dan Alhamdulillah saya bisa
menyelesaikannya. Terima kasih Mas Wito atas segala kepedulian, dorongan, dan
motivasinya.
Kepedulian Mas Wito juga ditunjukkan dengan mengundang teman-teman
seangkatannya di program pascasarjana yang belum selesai. Waktu itu, Mas Wito
selesai lebih dahulu dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Pak Saad
Ibrahim, Pak Zuhad, Pak Cut Aswar, dan lainnya diminta tinggal di rumahnya
dengan makan, minum, perpustakaan, dan fasilitas lainnya secara gratis. Bahkan
Mas Wito menjadi “dukun disertasi” mereka. Mas Wito memang enak dijadikan
sebagai teman diskusi, teman konsultasi, dan curhat, terutama dalam masalah
akademik. Kepedulian dan bantuan Mas Wito terhadap teman-temannya itu
membuahkan hasil yang luar biasa. Semuanya yang “mondok” di rumahnya selama
sekian bulan, akhirnya selesai dan menjadi doktor.
Dalam bekerja, Mas Wito itu sangat tekun dan rapi. Saya lihat
perpustakaannya benar-benar tersusun rapi. Jika beliau ingin mencari sebuah buku
misalnya, dengan mudah beliau langsung mengambil dari tempatnya. Ketekunan
Mas Wito juga terlihat ketika beliau menjadi Direktur BPKM Cirendeu. Di masa
kepemimpinannya, BPKM menjadi maju dan terkenal sebagai balai pelatihan dan
kursus, seperti kursus montir mobil, menjahit, bahasa, akuntansi, dan sebagainya.
Meskipun saat itu, sang direktur hanya memakai “sepeda ontel”, spirit dalam
pemajuan lembaga yang dimiliki sangat visioner, sehingga BPKM menjadi lembaga
yang sangat bergengsi di kawasan Ciputat saat itu. Sayangnya BPKM itu kini
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 353
tinggal nama, karena lokasinya digusur dan dijadikan sebagai (pelebaran) jalan
masuk UMJ Cirendeu.
Ketekunan Mas Wito sangat dirasakan oleh karyawan atau pegawai UIN saat
beliau menjadi Wakil Rektor Akademik maupun Wakil Direktur Sekolah
Pascasarjana. Kesan saya, Mas Wito orangnya tidak mau “diam”. Dia senang
“obrak-abrik” yang sudah mapan. Tekun mengobrak-abrik dengan sentuhan
kreatifnya itu membuat kampus SPs seperti yang ada sekarang. Legasi (warisan)
pengabdian yang ditinggalkannya, baik di SPs maupun rektorat sungguh terasa,
meskipun tidak semua orang “menyukai” gaya (style) Mas Wito yang kadang
“nyeleneh” dan “nggombloh”. Mas Wito yang saya pahami juga seorang
administrator yang rapih dan tertib. Selain itu, Mas Wito juga seorang konseptor
ulung sekaligus aplikator yang sulit ditiru. Orang lain boleh jadi baru “mau mikir”,
tapi beliau sudah menindaklanjuti konsepnya menjadi aksi nyata. Contoh paling
konkret adalah hampir semua produk regulasi, akademik, dan lingkungan asri di
kampus SPs.
Setahu saya, Mas Wito juga bukan tipe pemimpin yang hanya “tahu beres”,
tapi tidak pernah mau tahu proses. Mas Wito menurut pengamatan saya termasuk
tipe pemimpin yang merakyat, mau duduk bersebelahan dengan karyawan atau
pegawai dalam menyelesaikan tugas tertentu. Beliau bisa akrab dengan siapa saja
dan biasa mengambil hati orang yang menjadi mitra kerjanya. Inilah salah satu
kelebihan Mas Wito yang perlu diteladani.
Mas Wito yang saya kenal juga merupakan orang yang sangat sederhana,
baik dari segi penampilan maupun kesehariannya. Bagi beliau, naik sepeda ontel ke
kampus dan tempat lain itu biasa. Bahkan tidak jarang, sepeda ontelnya itu juga
digunakan untuk membonceng istri tercintanya, bu Nilfa Yetty Tanjung, pulang
pergi dari Kampung Utan-kampus IAIN-kampong Utan. Beberapa kali saya
memergoki Mas Wito pulang ke rumah sambil membawa tabung gas 12 kg dengan
sepeda antiknya itu. Beliau baru mau membeli kendaraan bermotor setelah menjadi
doktor. Namun, beliau melakukan satu lompatan, setelah naik sepeda langsung
menyetir mobil, tanpa belajar naik motor terlebih dahulu. Mas Wito memang orang
yang unik: sederhana, ulet, tekun, banyak ide, banyak karya nyata, dan sekaligus
peduli. Semoga Mas Wito diberikan oleh Allah Swt kesehatan dan umur panjang
sekaligus dalam melanjutkan karya-karya monumental bagi kemajuan UIN, umat,
dan bangsa. Selamat berulang tahun ke-60 Mas Wito!
Kampung Utan, 25 Februari 2016
Ucapan Selamat dan Komentar
354 | Mungkin Segalanya Mungkin
KAYA INSPIRASI, MOTIVASI, DAN KREASI
Dr. Muhbib Abdul Wahab, M.A.
(Mantan Mahasiswa/Teman IMM/Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Saya merasa beruntung bisa
berkenalan dan berkawan dekat dengan
Pak Suwito (selanjutnya dipanggil: Pak
Wito). Pertama kali saya mengenal Pak
Wito ketika beliau mengajar mata kuliah
Qirā’ah Mudarrajah pada semester III
Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah
IAIN (sekarang: PBA FITK UIN)
Jakarta. Semula saya mengenalnya
sebatas dosen saya. Artinya hubungan
saya dengan Pak Wito adalah hubungan
mahasiswa-dosen. Ketika beberapa kali
mengikuti kuliahnya, saya kurang begitu
tertarik dengan cara dan gaya
mengajarnya yang “kurang sistematis”:
loncat sana-sini atau sering keluar dari topik perkuliahan, selain karena bahasa
Indonesianya terlalu kental logat Jawanya atau medhok. Yang membuat saya dan
sebagian besar mahasiswa Jurusan PBA kurang menyukainya saat itu adalah karena
Pak Wito memberi tugas berat untuk ukuran waktu itu, yaitu menerjemahkan buku
berbahasa Arab, Falsafah al-Lughah al-Arabīyah karya Uthmān Amīn.
Perkenalan dengan Pak Wito ternyata tidak sebatas di dalam kampus. Ketika
saya tinggal di Asrama IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang berlokasi di
depan kampus UIN, atau samping kampus IIQ, nama Suwito mulai terdengar oleh
saya dari pembicaraan beberapa Immawan senior seperti Kiageng Abdul Fattah
Wibisono (alm), Noor Chozin Agham, dan lainnya. Setelah itu, saya
memperkenalkan diri kepada Pak Wito sebagai kader Muhammadiyah dari
Lampung (Lamongan Kampung). Saya menyatakan ingin belajar dengan tekun dan
sungguh-sungguh agar menjadi orang sukses. Pada semester III, saya pernah
mendapat kesempatan beasiswa studi di al-Azhar Mesir dari Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Saat itu, orang tua di kampung sesungguhnya sudah merestui
untuk pergi ke Mesir, namun ketika konsultasi dengan Pak Wito, saya dicegahnya
dan disarankan: “Ah kuliah di Ciputat saja, karena sudah pasti bisa selesai…
Sementara kuliah di Mesir belum tentu bisa selesai dan harus mengulang dari
semester I lagi.”“Masuk akal juga…” pikir saya saat itu, sehingga saya memutuskan
untuk tetap melanjutkan studi di Ciputat.
“Pergaulan” saya dengan Pak Wito sempat “terputus” agak lama, karena
beliau tidak lagi mengajar di jurusan PBA. Pada saat saya lulus S-1 pada Desember
1991 dengan predikat sebagai wisudawan terbaik, saya dipanggil Dekan Tarbiyah
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 355
waktu itu, Pak Muhsin Idham (Allāh yarham), dan ditawari untuk menjadi asisten
dosen. Saya terima tawaran itu, sambil bekerja sebagai guru ngaji atau les privat,
dan menekuni profesi lain sebagai kaligrafer (khaţţāţ). Saya pernah menuliskan
khat untuk tulisan Arab buku-buku Departemen Agama, kalau tidak salah untuk
buku ajar MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), hingga mencapai lebih dari 3.000
lembar. Pada waktu itu, tulisan khat saya “dihonori” 1.000,- (seribu rupiah) per
lembar, di samping mengerjakan revisi dan penulisan ulang khat Arab untuk skripsi
teman-teman PBA (yang rata-rata setiap semester bisa mengerjakan 10-15 skripsi).
Kawan-kawan mempercayai saya untuk menuliskan khat Arabnya karena mereka
sambil meminta direvisi atas catatan atau coretan dosen penguji. Alhamdulillah
begitu diwisuda, saya bisa membeli sebuah sepeda motor merek Honda keluaran
tahun 1991, seharga 2,3 juta dari Pak Abdul Ghofar, dosen Fakultas Adab yang
selama ini memberi “proyek” penulisan khat Arab untuk buku-buku MAK.
Pada awal Februari 1992, saya mulai dijadwal mengajar bahasa Arab di
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia sebagai dosen tidak tetap. Pada akhir tahun
1992, Pak Muhsin Idham meminta saya untuk mendaftar PNS, dan Alhamdulillah
pada tahun 1993 saya dinyatakan lulusan CPNS. Pada tahun 1994 terjadi
kekosongan Sekretaris Jurusan PBA, karena Kajur dan Sekjur sebelumnya, Drs.
HD. Hidayat, MA dan Drs. Moh. Matsna HS, MA. telah habis masa baktinya. Kajur
baru terpilih adalah Alm. Drs. Moh. Mansyur. Kebetulan saat itu saya termasuk
mahasiswa yang cukup dekat dengan almarhum karena setiap kali menulis Inshā’
nyaris tidak ada coretan atau yang dikoreksi oleh almarhum. Saya lalu ditawari
sebagai sekjurnya. Karena tidak ada alasan untuk menolaknya, maka saya jalani
“tugas baru” sebagai sekretaris Jurusan PBA. Selain dipercaya sebagai sekjur,
almarhum juga meminta saya menjadi Sekretaris Umum Yayasan Sabilussalam,
yang lokasinya persis di depan rumah Pak Wito.
Ketika menjadi sekjur inilah, pertemanan dengan Pak Wito kembali berlanjut.
Selama kurang lebih 2,5 tahun mengalami masa jeda, mungkin karena Pak Wito
sedang tugas belajar (S-2), sehingga tidak dijadwal mengajar di Jurusan PBA. Pada
waktu mengabdikan diri sebagai sekjur, saya mengusulkan Pak Wito mengampu
mata kuliah Seminar Proposal Skripsi sekaligus membimbing dan menguji skripsi.
Alhamdulillah kesempatan ini menjadi “titik balik” pertemanan yang sangat
mengesankan. Pak Wito juga tampaknya menikmati mengajar di Jurusan PBA, yang
selama ini beliau “kurang mendapat kesempatan”.
Kami berdua mulai merintis pembenahan penulisan karya ilmiah bagi para
calon lulusan PBA. Kami kemudian bersepakat menulis sebuah buku panduan yang
diberi judul “Proposal Penulisan Skripsi”, yang sebelumnya baru berupa diktat dan
belum dilengkapi contoh-contoh proposal berbahasa Arab. Buku ini kemudian
diterbitkan oleh UMJ Press (1995), karena kebetulan waktu itu Pak Wito, kalau
tidak salah, diberi amanah sebagai ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam di
Fakultas Agama Islam FAI. Alhamdulillah buku Proposal Penulisan Skripsi (1995),
Ucapan Selamat dan Komentar
356 | Mungkin Segalanya Mungkin
bisa dicetak dan diterbitkan sebanyak 1.000 eksemplar, dan digunakan tidak hanya
di PBA, tetapi juga di UMJ.
Melihat saya belum melanjutkan ke S-2, Pak Wito memotivasi saya untuk
studi lanjut. Motivasi bertubi-tubi dari Pak Wito itu akhirnya membuat saya
mengikuti tes masuk Program Pascasarjana IAIN Jakarta, meskipun semula saya
berkeinginan untuk studi di Luar Negeri. Alhamdulillah setelah mengikuti tes, saya
dinyatakan lulus atau diterima dengan beasiswa dari Departemen Agama RI, dan
mulai kuliah pada September 1995, sehingga sejak itu, saya harus melepas jabatan
sebagai sekjur PBA, karena aturan yang berlaku saat itu tidak membolehkan saya
untuk menjabat sambil mengikuti perkuliahan S-2.
Pak Wito juga banyak menginspirasi saya dalam melakukan penelitian. Saya
pernah mencoba mengajukan sebuah proposal penelitian kompetitif ke Toyota
Foundation. Saat hendak mengajukan proposal, Pak Wito sempat “mampir” ke
kontrakan saya di Gang Jamblang Kampung Utan dan saya tunjukkan draft proposal
itu. Seingat saya, Pak Wito mengusulkan judulnya diubah sedikit agar lebih
menarik. Semula proposal itu dijuduli “Pemikiran dan Perilaku Gerakan Sempalan
di Jakarta Selatan”, lalu diubah menjadi “Pemikiran dan Perilaku Gerakan
Sempalan di Selatan Jakarta”, dan Alhamdulillah proposal ini diterima dan didanai
sebesar Rp.4,4 juta (1994). Sejak itu, saya bisa berguru dan belajar melakukan
penelitian dari Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. Selo Sumarjan, Prof. Dr.
Muljanto Sumardi, dan beberapa pakar dari UI dan LIPI, karena mereka ditunjuk
oleh Toyata Foundation sebagai reviewer, pembimbing, dan konsultan.
Selama kuliah bersama Alm. Prof. Dr. Harun Nasution, saya semakin sering
bertemu dengan Pak Wito. Dalam rangka menyelesaikan program doktoralnya, Pak
Wito terlihat sering ke Pascasarjana untuk menjadi mustami’ dalam perkuliahan
Prof. Harun. Entah apa yang menyebabkan pak Wito begitu bersemangat mengikuti
(dan mengulangi lagi) perkuliahan dengan Prof. Harun? Saya melihat ketika Prof.
Harun Nasution menerangkan pelajaran, Pak Wito termasuk paling rajin mencatat
point-point-nya. Jika Prof. Harun sudah bilang “Apa masalahnya?”, biasanya
perhatian Pak Wito kepada Prof. Harun lebih serius lagi. Ketika berangkat kuliah
bareng ke Pascasarjana, Pak Wito dan saya pernah terjatuh di tikungan Pasca dari
motor saya, lantaran jalan licin dan tanah bekas galian parit belum dirapikan. Saya
melihat Pak Wito sebagai akademisi yang tekun belajar, rendah hati untuk terus
belajar, dan mengulangi pelajaran meskipun saat itu Pak Wito sudah meraih doktor.
Ketika menjadi mahasiswa S-2, saya sempat “indekos” sekaligus “nyantri” di
rumah Pak Wito beberapa bulan. Saya ingin belajar dari keseharian Pak Wito
sambil menimba ilmu dan berkarya. Selama tinggal di rumah beliau, saya terkesan
dengan keramah-tamahan, kesederhanaan, dan perhatian Pak Wito yang luar biasa
besar terhadap teman-temannya. Semua teman seangkatan Pak Wito yang belum
selesai studinya selalu diingatkan dan dikirimi sms berulang kali tanpa pernah
merasa bosan. Bahkan tidak sedikit teman Pak Wito yang penyelesaian disertasinya
berada di rumah beliau. Sebut saja misalnya Pak Sa’ad Ibrahim, yang sekarang
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 357
menjadi Ketua PWM Jawa Timur dan dosen UIN Maliki Malang, Pak Zuhad, dosen
UIN Walisongo Semarang, dan Pak Cut Aswar, dosen UIN ar-Raniry Aceh.
Kepedulian (care) dan murah hati beliau dalam membantu dan menyukseskan
teman-teman merupakan teladan kehidupan yang patut diacungi jempol.
Ketika berada di rumahnya, semula saya terkesan dengan koleksi buku di
perpustakaannya yang sangat rapi dan memadai. Saya merasa seperti belajar di dua
kampus: kampus IAIN dan kampus Kampung Utan (rumah Pak Wito). Selama
tinggal di rumah Pak Wito, tidak jarang saya ditugasi membuat “sambel trasi atau
sambel orek” plus dadar telur ceplok untuk penambah semangat sarapan atau makan
malam. Di rumah beliau pula, gagasan dan draft awal TOAFL yang saya buat itu
mendapat “sentuhan dan penamaan” dari Pak Wito. “Kasih aja nama TOAFL,
daripada sulit mencari nama berbahasa Arab, pasti lebih mudah dan cepat dikenal”.
Akhirnya, draft itu dinamai TOAFL. Draft TOAFL ini juga pernah saya tunjukkan
ke beberapa dosen senior, seperti Prof. Dr. Salman Harun dan Prof. Dr. Din
Syamsuddin. Mereka setuju dan harus dikembangkan.
Pasa masa Rektor Prof. Dr. M. Quraish Shihab, draft itu saya ajukan ke
rektor melalui Pusat Bahasa, dan Alhamdulillah mendapat respon yang positif. Saat
itu, rektor membentuk Tim Penyusun TOAFL yang bertugas me-review dan
mematangkan draft yang saya buat. Tim penyusun saat itu terdiri dari Pak Wito,
saya, Prof. Chotibul Umam, Prof. Hidayat, Alm. Prof. Akrom Malibary, Alm. Prof.
Rofi’i, Alm. Dr. Satria Effendy, Dr. Abdul Qader al-Habsyi, dan Prof. Moh.
Matsna. Tim ini menghasilkan “revisi draft TOAFL” yang saya buat. Draft itu lalu
disempurnakan dan dilakukan perekaman soal-soal Fahm al-Masmū’ di Lembaga
Bahasa dan Ilmu al-Qur’an (LBIQ) DKI Jakarta. Ketika beliau menjabat sebagai
Wakil Rektor Akademik di masa kepemimpinan Prof Azyumardi Azra, Pak Wito
berulang kali meminta saya mematenkan dan mengurus HaKI TOAFL. Karena satu
dan lain hal, Alhamdulillah HaKI TOAFL itu akhirnya diperoleh dari
Kemenhukham RI pada tahun 2013, di masa kepemimpinan Prof. Komaruddin
Hidayat, dan saat itu saya sebagai ketua pengurusan HaKI.
Dari pertemanan dengan Pak Wito, saya merasa mendapat banyak pelajaran
penting yang dapat disimpulkan dalam tiga kata kunci, bahwa Pak Wito itu kaya
inspirasi, motivasi, dan kreasi. Saya merasa mendapat banyak inspirasi ketika
diajak menjadi “mitra” dalam penulisan buku as-Sabil: Belajar Bahasa Arab I-IV
yang diterbitkan oleh UHAMKA Press, al-Basmah: Belajar Bahasa Arab (yang
belum sempat dicetak dan semula dimaksudkan untuk para dosen dan karyawan
UMJ). Tidak hanya motivasi studi, meneliti, dan berkarya ilmiah, Pak Wito juga
“melatih” saya menjadi Wakil Dekan, saya dan beliau bersama-sama menjadi Wakil
Dekan FAI UMJ (1997-2000). Saya banyak belajar dari Pak Wito bagaimana
mengemban tugas dan amanah persyarikatan. Saat mengemban amanah sebagai
wadek IV FAI, kami (saya dan Pak Wito) menggagas khutbah Jum’at dalam bahasa
Arab dan Inggris di lingkungan kampus FAI yang waktu itu pak Chusnan Jusuf
sebagai Dekannya; menerbitkan semacam bulletin untuk pengayaan keterampilan
Ucapan Selamat dan Komentar
358 | Mungkin Segalanya Mungkin
berbahasa Arab, bulletin mufradāt Arabīyah, dan buku al-Fath al-Jamīl (3 Jilid),
nama ini agaknya dipilih Pak Wito sebagai bentuk apresiasi terhadap Dekan FAI
saat itu, Dr. Fathurrahman Djamil, M.A.
Selama Pak Wito menjadi Wakil Rektor Akademik dan Wadir Sekolah
Pascasarjana, saya melihat dari dekat bahwa banyak sekali gagasan, ide-ide kreatif
yang dimunculkan Pak Wito. Yang paling monumental adalah bahwa Pak Wito
menjadi konseptor, pelaku sejarah dan saksi hidup konversi IAIN menjadi UIN
Jakarta. Sesuai dengan kata-kata yang sering beliau ucapkan sendiri ---meski
belakangan ini sudah sangat jarang--- Pak Wito itu orangnya “nggombloh”: berani
tampil beda, tapi rasional dan futuristik. Hal-hal kecil yang jarang diperhatikan
orang lain tetapi bagi Pak Wito penting, pasti “digomblohi”. Sebut saja misalnya
pengkodean Mata Kuliah, penyusunan borang prodi model buku dan bercatatan
kaki, penulisan Ijazah UIN dengan tiga bahasa (Arab, Indonesia, dan Inggris),
hingga pemasangan rambu-rambu lalu lintas di jalanan Ibukota dan sekitarnya. Ide
kreatif yang terakhir ini nyaris “tak terpikirkan” oleh pimpinan yang lain. Yang
monumental lagi adalah bagaimana dengan “tangan dingin dan kreatif” beliau,
Sekolah Pascasarjana “disulap” menjadi kampus hijau yang nyaman, bersih, rapi,
inspiratif, dan pintar. Tampaknya tidak berlebihan, jika Pak Wito adalah pelopor
gagasan besar untuk menjadikan “smart campus” (kampus pintar), dengan SPs
sebagai proyek percontohannya. Di kampus SPs, Pak Wito banyak sekali
mengaktualisasikan ide-ide kreatifnya yang nyaris takterpikirkan oleh yang lain,
seperti menyulap pertamanan yang asri, sejuk, dan membetahkan para mahasiswa,
sehingga tidak jarang sebagian mahasiswa masih “nongkrong” di kampus sambil
berinternet ria hingga pukul 22:00. Penataan ruangan SPs, penerbitan bulletin,
papan informasi yang sengaja dijadikan sebagai “sumber informasi dan inspirasi”
ternyata banyak memberi kesan tersendiri bagi para lulusannya. Ada satu kalimat
inspiratif sekaligus motivatif yang selalu terekam dalam long term memory
mahasiswa SPs, yaitu: “Membaca Dunia Dibaca Dunia”. Kalimat singkat tapi
bernas itu adalah ide Pak Wito yang sejatinya bermakna sangat dalam dan luas. Pak
Wito mendambakan warga kampus ini tidak hanya membaca karya-karya berbahasa
Indonesia, melainkan juga karya-karya dari berbagai bahasa asing, dari berbagai
jurnal dan referensi terpercaya; lalu mengharapkan karya-karya mahasiswa itu layak
dibaca masyarakat akademik dunia, bukan hanya masyarakat Indonesia.
Berbagai regulasi -yang awalnya terkesan menyulitkan dan menghambat
penyelesaian studi yang dikonsep Pak Wito dan biasanya diamini Prof Azra- yang
diberlakukan di SPs dalam 8 tahun terakhir tidak lepas dari ide-ide kreatif dan
futuristik Pak Wito, mulai dari pemberlakuan standar kelulusan dengan pencapaian
skor tertentu dari TOAFL dan TOEFL, WIP (Work in Progress), kewajiban
menerbitkan tesis dan disertasi yang telah dipromosikan, ujian komprehensif model
baru, pemasangan CCTV, TV informasi, posko layanan kesehatan dan penyediaan
ruang khusus bagi ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya, jogging track di depan
kampus SPs, aneka papan informasi yang sangat informatif, dan seterusnya
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 359
merupakan buah karya yang tidak dapat dipisahkan dari sentuhan kreatif Pak Wito,
tanpa bermaksud mengurangi atau menafikan yang lain. Secara akademik, sebagai
asesor BAN PT, Pak Wito tampaknya menjadi semacam “dukun borang” yang
sangat paham “jeroannya”, sehingga Pak Wito sangat sering menjadi konsultan
akreditasi di berbagai perguruan tinggi. Berkat sentuhan kreatif dan ketekunan -dua
potensi ini nyaris sempurna pada diri Pak Wito- Program Magister dan Program
Doktor SPs mendapat nilai akreditasi A.
Ke-gombloh-an dan kepedulian Pak Wito juga sering terhadap penyelesaian
studi dan pengurusan kepangkatan akademik teman-temannya sungguh luar biasa.
Motivasi bertubi-tubi melalui berbagai cara --yang paling sering via sms-- yang
diberikan Pak Wito kepada semua temannya tampaknya tidak ada tandingannya.
Setiap kali ketemu, pertanyaan motivatif yang selalu meluncur deras dari bibirnya
adalah “Kapan kamu sekolah lagi ke S-3?” atau saat ketemu yang sedang
menempuh S-3, beliau bilang: “Kapan disertasimu selesai, kapan ujian promosi?”
Alhamdulillah, berkat motivasi beliau, akhirnya saya bisa menyelesaikan studi
program doktor. Bahkan saya merasa sangat terbantu ketika Pak Wito dipercaya
oleh Pak Azra (Azyumardi Azra) untuk menjadi pembaca dan konsultan disertasi
saya saat itu. Setelah dinyatakan OK oleh Pak Wito, akhirnya Pak Azra berkenan
menyetujui dan menandatangai disertasi saya, Metode Penelitian dan Pembelajaran
Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan, di samping persetujuan dari Prof.
Dr. H.D. Hidayat, M.A.
Berkat motivasi tanpa henti, akhirnya saya dapat mendaftar dan mengikuti
ujian tertutup disertasi dan Alhamdulillah dinyatakan lulus dengan masa perbaikan
1 bulan. Tepat di pertengahan Maret 2008, saya menempuh ujian promosi doktor
dan salah satu penguji adalah juga Pak Wito. Sekali lagi, saya merasa beruntung dan
bahagia, bisa diuji dan diberi masukan dari Pak Wito, sehingga disertasi yang saya
pertahankan dalam sidang senat terbuka itu dinyatakan sebagai disertasi terbaik di
masanya dan kemudian diterbitkan oleh UIN Jakarta Press pada 2009, dengan judul
Pemikiran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran Bahasa Arab.
Pengalaman inspiratif dari Pak Wito sungguh sangat kaya. Pak Wito
tampaknya bukan tipe “pemikir utopis”, melainkan “pemikir praktis aplikatif”. Ideide
yang beliau sampaikan baik terkait masalah akademik maupun yang lain
terkesan sederhana, tapi konkret dan bermanfaat. Sebagai contoh, ketika kami
(berdua) diberi kepercayaan membuat nama pesantren luhur Sabilussalam, maka
beliau tampaknya “ngotot” harus dikerjakan seketika dan diselesaikan secara
optimal. Seingat saya, kami waktu itu membuat konsep nama pesantren luhur
Sabilussalam itu sampai larut malam (sekitar pukul 23:30) dengan mencetak konsep
tadi di atas kertas memanjang lalu dilobangi dan dilekatkan pada dinding pesantren.
Inspirasi dan motivasi yang kuat ternyata menjadi modal utama untuk
menyelesaikan segala program dan agenda positif. Pak Wito memang boleh disebut
sebagai “man of concept” (konseptor) sekaligus “man of positive and creative
action”.
Ucapan Selamat dan Komentar
360 | Mungkin Segalanya Mungkin
Selain itu, ketika “nyantri” di rumah Pak Wito, Alhamdulillah saya dan
beliau relatif banyak “menghasilkan” karya-karya akademik dan penelitian. Paling
tidak kami pernah dua kali melakukan penelitian kolektif, yaitu penelitian hibah
kompetitif yang didanai Diktis Kemenag, yaitu Jaringan Intelektual Kiai Pesantren
di Jawa-Madura Abad XX. Bersama Pak Wito, kami pernah menulis dua artikel
yang dimuat di Jurnal Studia Islamika, yaitu: Majlis al-‘Ulamā’al-Indūnīsī fī
Munādalat al-Barnāmij al-Siyāsī (1995) dan Al’alāqah bain al-‘Ulamā’: Dirāsah
Ta’șīliah Li al-Thaqāfah al-Islāmīyah fī al-Ma’āhid al-Taqlīdīyah fī Jawa (2001).
Hasil penelitian tentang Jaringan Intelektual Kyai Pesantren itu kemudian
diterbitkan dalam dalam “Islam dan Hegemoni”, Khaeroni dkk (Ed), Diterbitkan
oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, 2001. Bersama
Pak Wito pula, kami pernah meneliti “Peta dan Wacana Studi Islam: Analisis
Substansi dan Metodologi Tesis Peserta Program Pascasarjana IAIN Jakarta 1991-
2000” dan penelitian kolektif “Korelasi Antara Gaji dan Penempatan Kerja Dengan
Kinerja Pegawai UIN Jakarta (2002)”. Pak Wito juga pernah menjadi konsultan
penelitian kolektif saya, “Tingkat Validitas dan Reabilitas TOAFL pada Pusat
Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(2004)”.
Sentuhan kreatif dan inspiratif Pak Wito juga berlanjut setelah saya
menyelesaikan studi program doktoral. Selain “dilatih” menjadi dosen SPs, tidak
jarang saya juga berdampingan dengan Pak Wito dalam menguji proposal, WIP
maupun tesis mahasiswa SPs. Saya banyak belajar dari cara Pak Wito menguji yang
terkadang santai tapi serius, atau sebaliknya terkadang serius tapi bermuara pada
canda tawa. Kemampuan Pak Wito dalam mencairkan suasana yang tegang dalam
forum-forum juga merupakan salah satu ciri khasnya. Oleh karena itu, menurut
Prof. Chotibul Umam, “Pak Wito lah orang yang bisa membuat Pak Harun Nasution
itu tersenyum dan tertawa”. Dengan kata lain, Pak Wito itu orangnya gaul dan
supel, meski kadang-kadang dinilai oleh sebagaian orang cenderung “berlebihan
dalam meng-gombloh”.
Tentu banyak hal yang bisa dituliskan sebagai kesaksian terhadap perjalanan
hidup Pak Wito. Namun, karena keterbatasan ruang dan waktu, selaku murid,
teman, kolega, dan saya anggap orang tua sendiri, saya ingin menyampaikan rasa
terima kasih saya yang takterhingga atas segala jasa baik beliau: perhatian,
kepedulian, motivasi, inspirasi, dan bantuan moril maupun materiil yang tidak bisa
saya hitung. Saya tidak bisa membalas apa-apa selain mendokan semoga Pak Wito
dan keluarga besarnya senantiasa diberikan kesehatan, keberkahan, dan
kebahagiaan sejati. Semoga tiga kata teladan edukasi dari Pak Wito yang kaya
inpirasi, motivasi, dan kreasi bisa menjadi spirit kehidupan bagi kita semua,
terutama dalam mengembangkan kehidupan akademik yang produktif dan inovatif.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 361
Akhirnya, perkenankanlah saya dan keluarga mengucapkan selamat ulang
tahun ke-60 dan selamat memaknainya dengan peluncuran autobiografinya yang
luar biasa rinci, detil, mudah dibaca, dan sistematis. Semoga Pak Wito dan keluarga
besarnya bahagia selalu (karena selalu berusaha membahagiakan orang lain), sehat,
terus berkarya dan berkreasi, dan berkah dunia akhirat.
Cinangka, 27 Februari 2016
SEKILAS TENTANG PROF. DR. SUWITO
Suhendro Tri Anggono, S.Ag, M.Si.
(Kabag Umum Biro AUK UIN Jakarta)
Pertama kali saya mengenal Prof.
Suwito yaitu pada tahun 2002, tepatnya
setelah saya mutasi dari Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah
Hutan ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhitung mulai tanggal 1 Januari 2002. Pada
saat itu beliau menjabat sebagai Pembantu
Rektor Bidang Akademik (Purek I).
Komentar saya akan pribadi Prof.
Suwito adalah beliau orang “gila” yaitu gila
ide-ide baru, gila akan suatu perubahan ke
arah yang lebih baik. Perubahan IAIN
menjadi UIN, tidak lepas dari peran serta beliau. Beliau tidak kenal lelah
menyiapkan dokumen ataupun naskah akademik yang dibutuhkan sebagai
persyaratan perubahan IAIN menjadi UIN. Dokumen-dokumen penting telah beliau
arsipkan sehingga ada persepsi saya kalau orang ingin tahu tentang sejarah
perubahan IAIN menjadi UIN silakan tanya kepada Prof. Suwito pasti akan dapat
jawaban yang memuaskan karena arsip-arsip penting ada di Prof. Suwito.
Demikian juga, Pak Suwito adalah orang “gila”, walaupun belum ada
persetujuan dari Departemen Pendidikan Nasional, bersama Prof. Azyumardi, Pak
Suwito mengubah nama Program Pascasarjana menjadi Sekolah Pascasarjana. Ini
adalah ide gila Pak Suwito. Kegilaan ini banyak menuai komentar negatif, tapi
dengan sikap yang bersahaja Prof. Suwito bisa meyakinkan orang-orang dengan
argumen yang lugas, jelas dan berdasarkan aturan-aturan yang mendasar, buktinya
nama Sekolah Pascasarjana akan diusulkan lagi dalam revisi Organisasi dan Tata
Kerja (Ortaker) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian juga Prof. Suwito dapat membuat orang-orang menjadi “gila”,
karena setiap berbicara dengan Prof. Suwito, harus hati-hati, tidak bisa sembarangan
karena begitu ada kesalahan langsung beliau komentari dan betulkan. Kalau kita
sudah terbiasa bergaul dengan beliau maka hal ini akan menjadi biasa dan
Ucapan Selamat dan Komentar
362 | Mungkin Segalanya Mungkin
merupakan suatu yang seharusnya kita lakukan saat berbicara. Tapi bagi orang yang
belum mengenal Prof. Suwito, sikap beliau ini akan bisa menimbulkan salah
persepsi dan mungkin bisa membuat orang “gila”.
Hal lain yang dapat dijadikan contoh dari pribadi beliau adalah sikapnya yang
santun, rendah hati, sederhana, mau mendengar, menghargai dan berkomunikasi
dengan siapa pun/tidak pilih-pilih. Walaupun sebagai pejabat saat menjadi
Pembantu Rektor, beliau mau mendengar pendapat staf atau mitra kerjanya.
Prof. Suwito adalah pimpinan sekaligus Bapak yang punya wibawa, beliau
senang sekali berbagi ilmu, tidak suka membikin jarak dengan teman sejawat/staf.
Ketika beliau menjadi pimpinan, selalu mengarahkan, men-support dan
memberikan bimbingan untuk kemajuan. Kalau diibaratkan seperti Bapak dengan
anak. Terima kasih Bapakku, banyak hal/pelajaran yang aku dapatkan darimu.
Semoga ini menjadi modal yang berharga bagiku untuk terus mengembangkan diri.
SELALU HATI-HATI DAN PINTAR-PINTAR MEMILIH KATA
DAN KALIMAT YANG PAS
Feni Arifiani, S.H., M.H.
(Kawan ketika di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Kasubag Dokumentasi dan
Publikasi)
Sosok seorang Prof. Dr. Suwito,
adalah sosok seorang yang penuh dedikasi
yang tinggi dan kuat dalam bekerja,
bersamanya selama kurang lebih 5 tahun
di Sekolah Pascasarjana (SPs) yg waktu itu
beliau menjabat Wakil Direktur bidang
administrasi umum, dan periode berikutnya
wakil direktur bidang akademik. Penuh
kesan yang sangat berarti bagi saya
khususnya karena beliau sudah
memeberikan inspirasi dan sekaligus motor
kerja bagi kami di SPs.
Waktu itu dalam keadaan apapun
kondisinya kita dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi mahasswa
prograsm Magister (S-2) dan Doktor (S-3). Saya ingat waktu itu awal kepindahan
saya ke SPs karena tuntutan semua mahasiiwa program S-2 dan S-3 yang waktu itu
sangat banyak yang terlambat selesai studi yang konsekuensinya kita dituntut untuk
menyiapkan waktu dan tenaga agar mahasiswa-mahasiswa tersebut segera selesai.
Dengan penuh kesabaran dan juga perjuangan berat akhirnya pelayanan itu dapat
terwujud. SPs UIN Jakart dapat meluluskan waktu lebih dari hampir mencapai
1000-an program Doktor dan 2500-an program Magister kalau gak salah. Beliau
selain sosok pekerja tapi juga pembawaannya penuh rasa humor yang kadang siapa
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 363
pun kalau bicara dengan beliau harus hati-hati karena suka dikoreksi. Koreksiannya
itu membuat saya ketawa. Intinya bicara dengan beliau hendaknya gunakan tata
bahasa yang pas sesuai EYD.
Selain dari hal itu, beliau mempunyai jiwa sosial yang tinggi, Pelajaran yang
dapat diambil bersama beliau adalah “dalam dunia kerja tidak dituntut tidak mencari
pekerjaan tapi membuat pekerjaan menciptakan berupa inovasi–inovasi dan
kreativitas. Salah satu bukti nyatanya adalah kontribusi beliau di SPs mengubah
wajah SPs baik secara akadmis dan wajah penampilan sarana dan prasarana di SPs.
Sekarang beliau dipercaya menjadi sekertaris senat. Semoga keberadaanya di
lembaga tersebut juga membawa pencerahan bagi kemanjuan senat dan UIN Jakarta
ke depan.
Pesan saya: “jangan berhenti bimbing kami yang muda-muda untuk terus
mengawal UIN menjadi lebih maju, arahkan dan nasehati kami tuk perbaikan.
Sekali lagi, selamat hari ulah tahun yang ke-60 ya Prof semoga disehatkan,
diberkahi, dan bahagia dunia akherat”.
PAK WITO ITU......
Retno Wulansari
(Karyawan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pertama kali bekerja di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, di awal September 2014, saya
diterima Pak Wito dan Pak Yusuf di
bangku taman dalam Gedung SPS. Saat itu
juga Pak Wito menyampaikan perbaikanperbaikan
apa saja yang perlu dilakukan,
barang-barang apa yang perlu diadakan,
dan hal-hal lain. Setiap Pak Wito
menyebutkan suatu barang, saya langsung
berbisik pada staf Keuangan saat itu, Pak
Haryadi, “Bang Yadi, ada anggarannya
nggak?” Dia memberi isyarat tidak.
Berkali-kali seperti itu, saya mulai shock. Tapi Pak Haryadi langsung berbisik,
“Tenang, bu. Nanti kita bicara.” Pada hari itu saya mulai belajar dan bekerja,
memasuki dunia kerja yang baru, yaitu ketika Pak Wito, seorang yang sangat detail,
melihat sesuatu terlihat kurang sempurna, maka itu saatnya harus dilakukan
perbaikan. Ada atau tidak ada perbaikan atau pembelian barang itu di RBA SPS
tahun itu, tetap harus dilaksanakan. Salah satu kalimat Pak Wito yang saya ingat,
“Anggaran itu bisa di-create.” Maka saya yang semula tidak paham anggaran,
dipaksa belajar untuk menyusun dan mengaplikasikan anggaran bagaimanapun
caranya yang penting terlaksana.
Ucapan Selamat dan Komentar
364 | Mungkin Segalanya Mungkin
Esok pagi, saya mulai bertugas. Saya sangat kaget melihat Pak Wito dan Pak
Yusuf Rahman sebagai Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana ada di loket pelayanan
Sekretariat di Lantai III langsung melayani mahasiswa. Mahasiswa legalisir ijazah
dan transkrip, langsung ditandatangani saat itu juga. Mahasiswa butuh Surat
Keterangan, langsung dibuatkan dan ditandatangani segera. Benar-benar
memangkas birokrasi dengan pelayanan yang cepat dan tepat. Sepuluh tahun
bekerja di UIN, baru kali ini saya melihat pejabat melayani mahasiswa langsung di
loket pelayanan. Saya tidak tahu apakah Pak Wito punya waktu istirahat. Karena
selama beberapa bulan bekerja bersama, bila ada mahasiswa menyampaikan
keluhan misal keran bocor, AC tidak dingin, atau bohlam mati, jam berapa pun, jam
11 malam atau jam 4 pagi, Pak Wito akan langsung mengirim pesan melalui
Whatsapp agar hal tersebut segera ditangani.
Di satu sisi, Pak Wito menginginkan semua pegawai bekerja maksimal.
Namun di sisi lain, Pak Wito memberikan kejutan manis kepada kami. Pada acara
Rapat Kerja, kami sampaikan ada rencana bagi semua pegawai untuk pergi ke
Dieng. Oleh Pak Azyumardi Azra, Direktur saat itu, ditanya berapa jam perjalanan
ke Dieng. Kami perkirakan dengan perjalanan darat sekitar 8−12 jam. Langsung
Pak Wito berkata, kenapa tidak ke Singapura sekalian? Tentu saja kami terkejut.
Akhirnya diputuskan seluruh pegawai, baik itu staf, petugas kebersihan, Satpam,
sampai petugas taman akan melaksanakan Studi Komparatif ke Malaysia dan
Singapura. Benar-benar kejutan buat kami semua. Pak Wito mendorong kami
semua untuk mengurus paspor. Beberapa teman petugas kebersihan yang semula
tidak ingin berangkat karena takut naik pesawat, akhirnya mengurus paspor karena
tidak tahan ditanya terus oleh Pak Wito apakah sudah mengurus paspor.
Tanggal 13−15 Januari 2015, kami melakukan Studi Komparatif ke Malaysia
dan Singapura. Siapa sangka kami semua bisa pergi dan foto-foto dengan latar
Menara Petronas dan patung Merlion. Pengalaman tidak terlupakan bagi kami
semua. Tapi Pak Wito tetap punya tujuan mengajak kami ke sana. Di Universal
Studio, saya diminta Pak Wito mengajak teman-teman petugas kebersihan masuk ke
toilet agar mengetahui standar operasional kebersihan. Diharapkan kebersihan
Sekolah Pascasarjana bisa seperti standar internasional.
Hal lain yang saya ingat, Pak Wito sering mengeluarkan gagasan dengan
tujuan agar mahasiswa merasa nyaman. Misal pengadaan ruangan belajar/Quiet
Room, taman dalam gedung SPs dengan prasarana lengkap, dari mulai penataan
taman yang asri, bangku-bangku, saklar, wifi. Semua itu bertujuan agar mahasiswa
dapat belajar dengan tenang dan menulis karya tulis mereka. Dan Memang benar,
para alumni pada saat acara Pelepasan menjelang Wisuda menyampaikan mereka
sangat terbantu dengan suasana Sekolah Pascasarjana yang nyaman sehingga
mereka dapat konsentrasi mengerjakan penulisan tesis/disertasi di taman atau di
Quiet Room sampai malam bahkan ada yang sampai menginap....
Menjelang masa jabatan selesai, Pak Wito mendesak agar segera dibuatkan
ruangan untuk Direktur yang baru. Semula kami berusaha menunda-nunda dengan
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 365
alasan tidak ada anggaran. Tapi karena didesak terus akhirnya dimulai renovasi
ruangan tersebut. Ketika kami sampaikan, bagaimana jika nanti Direktur yang baru
tidak suka ruangan yang baru dan minta direnovasi lagi? Pak Wito menjawab, siapa
pun Direktur baru nanti saya ingin (dia) mendapat ruangan yang terbaik. Masalah
suka atau tidak suka (dengan ruangan itu) terserah. Yang penting kita sudah
menyiapkan yang terbaik.
Namun bagaimanapun, Pak Wito adalah manusia biasa yang tidak bisa
menyembunyikan perasaan emosinya. Pada suatu rapat dengan rekan sejawat, Pak
Wito tidak bisa menyembunyikan perasaan tidak sukanya, dan sepanjang rapat
asyik dengan ponselnya. Sesuatu yang baru kali ini saya lihat bahwa seorang Pak
Wito ternyata manusia biasa.
Dirgahayu ke-60 Pak Wito. Semoga selalu sehat dan diberikan keberkahan
usia yang bermanfaat. Aamiiin.
Jadi, Pak Wito itu... nyebelin karena banyak permintaan, tapi ngangenin
karena dedikasinya yang luar biasa.
Pak Wito, sering-sering main ke Pasca, ya, untuk ketemu dengan kami, anakanak
Pak Wito.
Ciputat, 3 September 2015
AYAHKU …. YA PAK SUWITO
Nurbaini Futuhat Wulansari (Vemmy)
(Karyawati SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr Wb
Doa saya di hari jadi Bapak
yang ke- 60, Semoga Allah selalu
memberi kesehatan buat Bapak dan
tetap terus berkarya agar ilmunya
selalu bermanfaat untuk kita semua
Aminn YRA.
Sosok Pak Wito (begitu saya
menyapa beliau) bukanlah sosok yang
asing. Beliau sudah saya anggap
sebagai pengganti Ayah saya yang
sudah almarhum dan yang membuat
saya bangga dengan beliau selalu
menyapa para staff dan selalu datang di pagi hari untuk mengecek semua keadaan
dan kondisi SPs UIN Jakarta, sewaktu beliau menjabat sebagai Wadir bid.
Akademik dan Kemahasiswaan).
Nduk Vem, sapaan beliau terhadap saya yang membuat saya merasa seperti
anak kandung beliau sendiri, bahkan sempat bersenda gurau dengan salah satu anak
Ucapan Selamat dan Komentar
366 | Mungkin Segalanya Mungkin
beliau Kak Ima, kalau Ayah Suwito kita bagi dua ya Kak… itu Ayah saya juga dan
Kak Ima pun tertawa sambil menganggukkan kepala menandakan setuju kalau
beliau adalah ayah kita berdua.
Kesan saya terhadap beliau selalu kritis dan down to earth beliau adalah
sosok yang disegani dan dihormati setelah Prof Azyumardi Azra selaku Direktur
pada saat menjabat di SPs UIN Jakarta. Keramahan dan kesederhanaan beliau
menjadi inspirasi buat saya agar hidup itu patut disyukuri dan jangan dibuat susah.
Semoga Selalu selamat di dunia dan di akhirat ya Pak. Sukses selalu menyertai
Bapak
SUWITO
Muhammad Adam Hesa
(Karyawan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Sejak awal gw berkerja di Pasca,
tahun 2008, gw belum tau siapa Pak
Wito, dan gw cuek aja. Suatu waktu gw
di Pasca saat itu gw dateng cuma pake
sendal, pakaian juga kaos, tapi saat
pertama kali gw liat Pak Wito (saat dia
berkunjung ke IO (International Office)
-lantai 1 saat itu), sudah terbayang
karismatiknya, dan gw merasa dia bukan
orang biasa, tapi gw bersikap cuek aja,
gw tetap saja menghadap komputer,
sampai kemudian Pak Eva mengenalkan
gw ke Pak Wito, setelah itu gw langsung
fokus ke komputer lagi.
Setelah diberi tau Pak Eva klo Pak Wito adalah Deputi Direktur saat itu, gw
jadi bener2 yakin klo dia adalah Big Bos di Pasca.
Gaya bahasa gak umum tapi benar
Makin lama berinteraksi dengan Pak Wito, makin kacau gaya berbahasa gw,
segera dia selalu mengoreksi penggunaan bahasa, dan ternyata memang dia terkenal
begitu sejak dulu. Yang terpintas di pikiran gw saat itu memang susah berbicara
dengan orang pintar /professor. Tidak terkoneksi antara pemikiran gw dengan dia.
Tapi yang dibicarakan itu benar, kata-2 yang dikoreksi itu benar, membuat kita
harus memutar otak jika hendak berbicara dengan dia. Sepertinya kesan pertama
semua orang adalah bahasa beliau yang seperti ini, mengoreksi bahasa, tapi makin
lama semua makin tahu, jadi makin pinter menggunakan bahasa, kadang Pak Wito
bilang makin kacau.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 367
Saat gw mengerjakan “Arsip Sekolah” (nama Newsletter Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta), ternyata gaya bahasa Pak Wito yang seperti ini mengcopy
gaya bahasa Pak Harun. (update Saturday, January 4, 2014)
Perintah tidak langsung
Satu hal yang gw sadari, Pak Wito memberi perintah dengan kata tidak
langsung, misalnya minta dibuatkan kopi sama Pak Anen, dia bilang ke Pak Anen,
kopi ini tidak enak khan sambil menunjukkan kopi sachet ke Pak Anen. Itu
menandakan Pak Wito minta diseduhkan kopi. Pak Wito bilang kopi ini gak enak,
karena kopi itu masih belum bisa diminum, karena masih dalam bungkusan. Lain
halnya lagi saat itu ada standing banner yang sudah dicetak tapi belum di pasang.
Pak Wito mengambil standing banner itu dan dia berkata bagusnya ini dipasang di
mana? Saat itu otak gw belum menangkap apa maksudnya, kemudian baru tersadar,
kalau Pak Wito ingin standing banner itu segera terpasang/ter-display. Begitulah
gaya perintah dia yang secara gak langsung. Saat itu gw berpikir sangat berbeda
sekali berkerja di dunia pendidikan (kampus). Bos memberi perintah dengan gaya
yang cerdas, gaya kiasan, tidak perintah langsung, klo kerja di swasta mungkin bos
memberi perintah secara langsung dan jelas kepada bawahannya.
Pak Wito memungut sampah yang ada di lantai saat dia jalan
Pernah suatu saat gw berjalan bersama Pak Wito melintasi koridor dari ruang
IO Lantai 2 menuju ruang pimpinan. Saat berjalan bersama Pak Wito, Pak Wito
memungut sampah plastik kecil di lantai, dan kemudian membuangnya ke tempat
sampah. terguncang gw, hal kecil itu gak pernah terpikirkan oleh gw. Kadang gw
ingin mencontohnya tapi sering kali gak terpikirkan untuk memungut sampah yang
ada di jalan, harus melalui proses pembiasaan.
Pak Wito selalu mengucap terima kasih
Saat Pak Anen mengantarkan kopi, Pak Wito mengucap terima kasih. Saat
Pak Rodian menyiapkan makan, Pak Wito mengucapkan terima kasih, dan itu juga
terjadi sama gw. Saat gw selesai mengerjakan sesuatu, Pak Wito juga mengucapkan
terima kasih bisa lewat sms atau e-mail. Saat itu setelah selesai acara ujian masuk
mahasiswa, gw temui Pak Wito di ruangannya. Saat itu Pak Wito bilang sudah cek
e-mail? Aku bilang belum Pak, push e-mail di HP tidak aku aktifkan. Setelah dari
ruang Pak Wito, sambil jalan aku langsung cek e-mail melalui HP, mungkin itu
adalah hal yang penting. Ternyata pas aku cek, isi e-mail itu adalah ucapan terima
kasih, saat itu perasaan gw luar biasa, gw merasa sangat dihargai kinerja gw,
rasanya sangat senang, seakan hilang semua lelah sehabis mengurus ujian masuk,
kemudian hal itu gw contoh, gw sms ucapan terima kasih ke temen2 karena telah
membantu gw mengerjakan ujian masuk calon mahasiswa baru.
Sukses dalam bekerja bagi gw adalah ketika kita sudah tidak lagi
membedakan antara bekerja dengan bermain, dan gw lihat itu pada Pak Wito. Gw
Ucapan Selamat dan Komentar
368 | Mungkin Segalanya Mungkin
melihat Pak Wito sedang tidak bekerja di Pasca, dia sedang bermain, atau
setidaknya sama seperti di rumah, mindah2in ruangan, merombak bangunan, selalu
mikirin Pasca. Gw selalu setuju dengan ide2 dan pemikirannya, tapi biar
bagaimanapun dia orang tua, kadang ide2nya gw merasa tanggung, padahal Pasca
bisa dibangun secara lebih bagus dan hemat menurut gw :-p.
Selalu SMS duluan setiap ada event seperti hari raya dll.
Setiap ada acara seperti rapat, hari raya, hari nasional dan lainnya, Pak Wito
selalu mengirim sms duluan, kita ingin me-reply smsnya tapi kadang merasa gak
enak aja.. hehehe.
Orang yang pengen gw copy cara berpikir dan bertindaknya yaitu Pak Wito
Pak Wito orang yang menurut gw pantas untuk di-copy dari cara bertindak,
berpikir, dan mengambil keputusan. Salah satu cara mengkopinya sebenarnya cukup
mudah, yaitu selalu bersama dia, ke mana pun, menyetir mobil ketika dia pergi, dll.
karena manusia sejak awal belajar adalah belajar mengkopi. Anak kecil selalu
mengkopi bicara orang lain yang dia dengar, maka harusnya gaya Pak Wito juga
bisa dikopi walau pastinya gak semuanya bisa terkopi. Tokoh dunia yang gw
kagumi salah satunya Steve Jobs. setelah dia meninggal, ada buku tentang biografi
dia. Gw sempet berpikiran untuk membukukan biografi Pak Wito. Pengen rasanya
ngobrol banyak tentang masa lalu dia, sejak di Pati sampe di Ciputat, masa sekolah
dan kuliah, dan gw mencatatnya, tapi gw gak pandai mencatat.
Banyak yang meniru gaya bahasa Pak Wito
Mungkin Pak Wito sadar klo gaya bahasa dia sering banyak ditiru, seperti
memangil “Nduk” atau “Genduk” (bahasa Jawa), dengan gaya bahasa ucapan yang
agak berat.
“Gak kaya juga”
Kata-kata dari Pak Wito yang paling berdampak dalam kehidupan gw adalah
“Gak Kaya Juga”. Kata-kata itu membuat gw jadi gak kuatir tentang kehidupan.
Menjadikan gw benar dalam menyikapi keuangan, melakukan mark up tidak akan
membuat kaya, atau jujur juga gak membuat kita miskin, dan gak mati juga. (update
Saturday, January 4, 2014)
Terima kasih Pak... Atas segalanya
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 369
SANG PROFESOR YANG KREATIF DAN HUMORIS
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
(Karyawan SPs/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Prof. Suwito pribadi yang kreatif,
banyak ide dan memiliki selera humor yang
tinggi. Kreativitasnya dalam membangun
Sekolah Pascasarjana (SPs) seringkali
diidentikkan dengan slogan “Sekolah Punya
Suwito”. Selama menjadi pembesar Sekolah
Pascasarjana banyak aturan akademik yang
dikeluarkan oleh Bapak yang satu ini.
Kreativitasnya dalam membuat aturan di
Selokah Pascasarjana terkadang mempunyai
risiko “tidak populer” bahkan “tidak
disukai” oleh sebagian mahasiswa. Namun,
Prof. Suwito tetap menjalankan kreativitas
dan ide-ide cemerlangnya untuk membangun
Sekolah Pascasarjana. Meskipun sebagian peraturan yang dikeluarkannya membuat
mahasiswa kesal, benci bahkan marah, namun pada saat wisuda sering kali
mahasiswa mengucapkan terimakasih atau “special thanks” buat Prof. Suwito
dengan keluar ungkapan “Kalau bukan karena Prof. Suwito mungkin saya tidak
akan selesai kuliah”. Dengan demikian ternyata aturan yang dibuat Prof. Suwito
menjadi jamu pahit yang menyehatkan atau seperti judul film “Sengsara Membawa
Nikmat”.
Kinerja Prof. Suwito memang tidak diragukan lagi.Pengalaman saya kerja di
Sekolah Pascasarjana selama 7 tahun menjadi lebih memahami ritme dan etos
kerjanya. Bahkan ketika Prof. Suwito menghampiri meja sudah terbaca dipikiran
saya pasti ada kerjaan lain nih. Ya, kalau sore hari ketemu Prof. Suwito berarti
pulang kerja bisa magrib deh hehe. Oh ya...selain hari kerja Prof. Suwito sering juga
ngajak karyawan SPs kerja lembur di hari libur. Namun... meskipun Prof. Suwito
sering ngajak kerja “rodi”, tapiiiii beliau juga peduli dengan kesejahteraan
karyawan.Jadi, seimbanglah antara pekerjaan dengan penghasilan.
Hasil kreativitas Prof. Suwito secara fisik nampak pada taman Sekolah
Pascasarjana. Taman SPs ini merupakan taman yang paling asri di kampus UIN
Jakarta. Selain menciptakan suasana hijau yang membuat nyaman mahasiswa untuk
duduk-duduk dan menuliskan kreativitas pemikiran di taman ini, taman SPs asyik
juga untuk tempat makan bareng dan ngajak anak-anak main.
Oh ya....satu lagi, ketika saya bepergian keluarkota melalui bandara
internasional Soekarno Hatta...di ruang tunggu bandara nampak iklan Sekolah
Pascasarjana. Sambil tersenyum bangga saya langsung ingat sosok Prof. Suwito dan
seraya mengambil handphone untuk mengontak beliau “Prof....saya lihat iklan SPs
Ucapan Selamat dan Komentar
370 | Mungkin Segalanya Mungkin
di ruang tunggu bandara, idenya siapa ini?” spontan saya berkata “Pasti idenya Prof.
Suwito...”, terdengar diujung telepon suara ketawa Prof. Suwito.
Selain kreativitasnya yang terus mengalir, Prof. Suwito mempunyai guyonan
yang bikin orang bingung, bengong, dan akhirnya tertawa ngakak. Kalimat
sederhana bisa bikin orang menjadi bingung, seperti kalimat “makan siang” menjadi
lelucon yang bikin orang mengerutkan dahi. Ketika ada yang mengatakan “makan
siang” Prof. Suwito pasti bilang “Ko’makan siang? Bukannya makan nasi?
Hehe…,” katanya seraya tertawa. Meskipun Prof. Suwito suka becanda tapi serius
dalam melaksanakan aturan. Contohnya dalam menghitung angka kredit dosen Prof.
Suwito tetap memegang aturan dalam memberikan penilaian.
Pamulang, 14 Februari 2016
Ditulis oleh Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PEJABAT YANG MENCINTAI KAMPUSNYA
Drs. Nanang Syaikhu
(Karyawan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta)
Perkenalan pertama saya dengan
Prof Dr Suwito, M.A. atau yang akrab
disapa Pak Wito dimulai saat saya diminta
untuk menerbitkan BERITA UIN,
penerbitan milik kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, pada pertengahan
Juli 2003. Saat itu saya masih menjadi
wartawan di sebuah majalah di Jakarta dan
beliau sedang menjabat Wakil Rektor
Bidang Pengembangan Lembaga dan
Kerja Sama. Selama mengelola penerbitan
BERITA UIN, saya waktu itu berkantor di
ruangan Pak Wito di Gedung Rektorat Lantai 2.
Sejak itu pula saya mulai banyak mengenal tentang sosok Pak Wito, mulai
dari pemikirannya, keramahannya, dan bahkan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.
Rupanya, Pak Wito bukan hanya dikenal di kalangan sivitas akademika UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta karena guyonan bahasanya saja, tetapi juga greget-nya untuk
mengembangkan kampus yang saat itu sedang masa pembangunan gedung
pascaperubahan status dari IAN menjadi UIN.
Tak hanya greget, Pak Wito juga kerap gelisah tatkala apa yang dilihatnya
tidak pantas atau kurang pantas dengan kampusnya. Karena itu dari pikirannya
selalu saja muncul ide dan gagasan agar kampusnya lebih pantas. Jika misalnya
majalah TEMPO memiliki tagline “Enak Dibaca dan Perlu”, kampus UIN Syarif
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 371
Hidayatullah Jakarta harus “Enak Dilihat dan Disinggahi”. Saya kira rasa greget dan
kegelisahan Pak Wito selama menjadi pejabat di kampus cukup wajar. Ia memang
ingin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi kampus yang unggul dan kompetitif,
baik di tingkat nasional maupun internasional.
Gagasan dan ide Pak Wito untuk mengubah wajah kampus tak hanya dari
segi fisik dan asesoris, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah soal mutu akademik.
Begitulah, hampir setiap saat, dengan ketelatennya, Pak Wito selalu memperhatikan
dan mengupayakan adanya perubahan-perubahan besar dalam pengembangan dan
peningkatan mutu akademik, seperti kurikulum, akreditasi program studi, cara
dosen mengajar, dan bahan ajarnya. Sayangnya, loncatan pikiran Pak Wito untuk
mengubah wajah kampus, yang sebagian besar diamini oleh pimpinannya (waktu
itu) Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE, kerap mendapat batu sandungan dari orangorang
yang kurang memahaminya. Ada yang bilang gagasan Pak Wito terlalu
mengada-ada dan sangat utopis untuk dilakukan. Namun, bak anjing
menggonggong kafilah berlalu, Pak Wito tak mau menyerah begitu saja. Ia
bergeming, hingga kemudian tak sedikit dari gagasannya diakui dan diapresiasi oleh
warga sivitas akademika.
Saya secara pribadi sangat apresiatif dengan ide-ide cemerlang dari Pak Wito
untuk membangun dan mengembangkan kampus. Bahkan terkadang, melalui
pemberitaan di BERITA UIN, saya suka mencoba menuliskan apa yang menjadi
kegelisahan pikirannya selama itu. Hal itu bertujuan agar publik sivitas akademika
mengetahui apa sesungguhnya yang sedang dipikirkan dan dilakukan oleh pimpinan
kampus. Dengan kata lain, saya selalu berusaha untuk menerjemahkan apa yang ada
dalam pikirannya, termasuk pikiran Bang Edi (Azyumardi Azra, Pen) sendiri.
Bagi Pak Wito, media rupanya dipandang sangat efektif untuk
menyampaikan berbagai informasi. Oleh karena itu pula, ia sangat gigih
memperjuangkan adanya penerbitan kampus dengan tujuan tadi. Al-hasil, semasa
masih menjabat wakil rektor tersebut, ia pun tak puas dengan hanya menerbitkan
satu penerbitan dan hanya berbahasa Indonesia. Tak lama, terbit pula pula edisi
bahasa Inggris bernama UIN News dan edisi bahasa Arab bernama Akhbar Al-
Jami’ah. Meski dua penerbitan terakhir hanya lahir seumur jagung, tetapi hal itu
setidaknya menjadi catatan sejarah tersendiri bagi Pak Wito bahwa idenya selama
ini selalu mendapat apresiasi.
Tak cukup sampai di situ, saat Pak Wito menjadi pejabat di Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beragam ide dan pemikiran
tentang kampus ini pun selalu muncul, dan nyata. Oleh karena itu, jangan kaget jika
di berbagai sudut kampus SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, banyak pernak
pernik yang bikin penasaran bagi siapa saja yang melihatnya.
Saya punya kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Pak Wito selama ini
semata untuk kemajuan umat dan bangsa. Ia sepertinya sama sekali tak memiliki
Ucapan Selamat dan Komentar
372 | Mungkin Segalanya Mungkin
pretensi apa pun. Sebaliknya ia sosok pejabat yang ikhlas dan sangat mencintai
kampusnya.*
BUKAN MURID YANG BAIK
Nurun Nisa’
(Karyawan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Saya mengenal Prof Suwito pada
tahun 2014. Selain telaten, beliau juga sangat
berdedikasi terhadap kampus ini. Sehari-hari
berjibaku dengan segala tetek bengek
kampus tetapi tidak membuat beliau
berkeluh kesah dan seolah-olah kampus ini
rumah sendiri. Sibuk dalam urusan ini bukan
perkara gampang, meskipun nampak mudah,
kecuali berangkat dari komitmen dan
pengabdian dari hati. Tidak kalah perlunya
adalah fisik yang prima. Kedua hal ini
membuat saya menaruh hormat kepada
beliau
Saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk bekerja dengan arah dan
bimbingan beliau. Namun harus saya akui saya belum bisa menjadi murid yang
baik. Saya pernah kabur dari pekerjaan yang diamanahkan beliau karena, menurut
saya, sudah melampaui batas kemampuan saya secara fisik maupun psikis.
Akhirnya saya memutuskan menjadi orang ketiga yakni menjadi asisten dari yang
mengasisteni beliau untuk beberapa urusan misalnya akademik. Alhamdulillah, saya
(masih) bisa menyesuaikan diri dan tetap berguru kepada Prof Wito meskipun tidak
secara langsung. Salam hormat kami, Prof.
Terima kasih
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 373
SUWITO “GOMBLOH” YANG JENIUS
Dr. Herwina Bahar, M.A.
(Kawan ketika di Fakultas Agama Islam UMJ/
Dekan FIP/Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Suwito, sosok sederhana penuh
sahaja, dosen yang kami idolakan,
karena unik dan nyeleneh, dikenal
gombloh. Celetukan beliau yang
terdengar aneh tapi nyata, bahkan
menyentuh nilai-nilai filosofis. Siapa
pun yang mendengar pasti
mengkerutkan dahi dan tidak respek,
bahkan mengacuhkan, namun itulah
kelebihan beliau, berkomentar dengan
spontan, apa adanya, namun penuh
makna dan kejujuran. Sepeda oteng
adalah kebanggaan beliau. Kami
melihatnya sebagai sosok dosen yang
kharismatik dan penuh dedikasi, tanpa pamrih dan banyak mengenalkan pemikiran
yang jenius, melompati apa yang ada di pikiran orang di sekitarnya.
Demokratis adalah gaya mengajar, yang tidak kami temukan pada dosen lain,
memberikan keleluasaan dan memancing pemikiran dan percaya diri yang
ditanamkan kepada kami. Hal ini membuat para mahasiswa, seperti tidak seperti
kuliah, tapi berada dalam suasana akrab dan menyenangkan, namun tetap
mendapatklan sesuatu yang berharga dan pembelajaran yang mendalam dan
berkesan. Proses perkuliahan yang unik dan berbeda dengan lainnya, kesempatan
luas bagi mahasiswanya untuk berpendapat dan mengembangkan pemikirannya dan
tidak harus sama dengan beliau adalah suatu point membuat mahasiswa
berkembang pola pikir dan paradigmanya terhadap pengembangan ilmu dan
pemikirannya.
Dikenal pekerja keras, tanpa lelah dan tanpa pamrih. Genduk adalah
panggilan akrab, ketika beliau mengajakku bekerja, dengan helaian kertas, menulis
dan membuat matrik, itulah gaya dan karakteristik dalam membuat rancangan
konsep ataupun dalam menumpahkan pemikirannya. Mungkin aku adalah orang
yang sangat beruntung, banyak diajarkan nilai-nilai filosofis dalam berkarya dan
bekerja. Setiap kali pulang dari kantor, beliau selalu mengatakan; “Apa yang kita
kerjakan hari ini, Nduk?” Ungkapan sederhana namun penuh makna. Bagaimana
dan apa hasil karya yang dapat kita berikan kepada lembaga dan kepentingan umat?
Itu adalah orientasi dalam berkiprah dan berdedikasi yang selalu ditanamkan kepada
kami.
Ucapan Selamat dan Komentar
374 | Mungkin Segalanya Mungkin
Kepedulian yang tinggi dan perhatian yang luar biasa pada staf adalah
kepribadian agung yang dicerminkan kepada kami. Ia selalu menceriakan dan
mensejahterakan serta sangat andal dalam menciptakan pekerjaan buat kami. Tidak
ada istilah “susah” dan “sulit” apalagi “tidak bisa”, di konsep beliau. Semua bisa
dilakukan, asalkan dengan serius dan komitmen yang tinggi. Tanpa mengenal lelah
dan berkeluh kesah, adalah pembelajaran yang selalu beliau contohkan dalam
berinteraksi dan berkomunikasi. Bekerja tanpa mengenal waktu, sampai perputaran
jam terasa begitu cepat, tanpa disadari maghrib hingga tengah malam, masih
berkutat dengan matrik-matrik dan konsep yang akan dirancang untuk kemajuan
lembaga dan melejitnya pemikiran yang harus diimplementasikan sesegera
mungkin.
Inovasi dan visioner dalam membangun pemikiran dan gagasan terhadap
pengembangan lembaga adalah keunggulan beliau dalam melejitkan Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tahun 1997/1998 berada
pada posisi kelas bawah dan termarjinalkan. Ide dan gagasan dalam meningkatkan
kualitas guru PAI (Pendidikan Agama Islam), adalah gebrakan yang berhasil
mendongkrak jumlah mahasiswa dan kualitas pendidikan Agama Islam pada masa
itu sehingga bisa berkompetisi dan memiliki program unggulan, bahkan bisa
mensejahterkan kami. Di sisi lain, beliau adalah sosok pimpinan yang mampu
mencerdaskan dan memberdayakan siapa saja yang ada di sekitarnya. Tanpa ada
batas dan jarak dalam berinteraksi, sehingga siapa pun akan merasa nyaman dan
berkemajuan dalam berperan aktif dan berkiprah pada lembaganya.
Sosok inspiratif bagi siapa yang mengenalnya. Ide-ide gila yang dilontarkan
adalah karakteristiknya yang kontruktif dan berkemajuan. Sistem komputerisasi
yang digagas beliau pada masa itu, sudah menjadi keharusan, di mana saat itu
belum terpikirkan dan terwacanakan oleh siapa pun. Ketika saat ini berkembang
teknologi yang pesat, sebenarnya sudah ada dalam pemikiran beliau pada masa itu.
Semangat selalu berubah dan melakukan perubahan adalah konsep yang selalu
dikembangkan untuk mencapai keberhasilan dan kemajuan dalam berkiprah
mengemban amanat.
Pemimpin yang uswatun hasanah, dapat dijadikan figur dan panutan bagi
kami yang yunior dalam mengelola dan memimpin lembaga. Banyak pembelajaran
yang didapatkan, khususnya dalam kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas dengan
dilandasi nilai-nilai keikhlasan dan komitmen yang tinggi dalam memajukan dan
mencerdaskan serta memberdayakan kami. Selamat buat Bapak Suwito, sangat
banyak tinta yang Bapak tuliskan, sehingga kami tak mampu menghitung karya dan
jasa Bapak kepada kami, namun, kami dapat merasakan besarnya manfaat dan
pembelajaran yang kami dapati. Hal ini terbukti, Bapak sudah banyak mengkader
dan menghebatkan kami, menjadikan kami pemimpin, meskipun kami tidak mampu
menandingi kehebatan Bapak, ke”gombloh”an dan ke”gila”an Bapak dalam bekerja
dan berkarya yang membuat orang terkesima dan ta’jub dengan kejeniusan dan
kegigihan dalam menciptakan kretivitas dan inovasi serta pemikiran yang
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 375
brieliyan... Kami hanya bisa mohon kepada Allah, semoga Allah selalu melindungi,
memberikan kesehatan dan umur panjang pada Bapak sehingga kiprah dan karya
Bapak bisa selalu dinikmati oleh umat... amiiin ya rabbal alamii..
Jakarta, 7 November 2015
NUKILAN SEKILAS PROFIIL PROF. DR. SUWITO, M.A. DALAM
PENGEMBANGAN FAKULTAS AGAMA ISLAM UMJ
Dr. Iswan, M.Si.
(Kawan ketika di Fakultas Agama Islam UMJ/
Wadek II FIP/Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Kiprahnya dalam dunia
pendidikan, sejak saya kenal pada tahun
1984, beliau sangat aktif sebagai
pendidik yang profesional, yang dengan
kesederhanaannya setiap menjalankan
tugas sebagai dosen selalu menggunakan
sepeda ontelnya, yang mungkin hingga
saat ini masih tersimpan dengan baik
sebagai kendaraan yang penuh sejarah
dalam menapak sejarah kehidupannya
dari masa lampau yang penuh suka, cita,
romantis dan keindahan.
Perjalanan cukup panjang dan
sampai saat ini Prof. Suwito, M.A.
sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta dan pengelola amal
usaha, sebagai pengurus Dikdasmen juga masih menunjukkan sebagai seorang
dosen yang memiliki karakter. Konsepnya cukup cemerlang, di antaranya ketika
mengampu mata kuliah Bahasa Arab di Fakultas Hukum, Fakultas Tarbiyah,
Fakultas Dakwah dan Fakultas Syariah dan fakultas-fakultas dalam lingkungan
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), juga beliau menerbitkan buku
ajarannya yang mudah dipahami bagi para mahasiswanya serta karya-karya lain
yang sangat bermanfaat dalam pencerahan bagi masyarakat.
Pada awalnya perkuliahan mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Dakwah dan Syariah
ada di Kampus Kramat Raya No. 49, Jakarta Pusat. Seiring jalannya waktu
dinamika perkembangan dunia pendidikan khususnya pada waktu itu di UMJ, yang
pada waktu itu Rektornya Bapak Mr. Roeslan Saleh bahwa seluruh Fakultas yang
ada di Jln. Kramat Raya yaitu Fakultas Tarbiyah, Fakultas Dakwah dan Fakultas
Syariah, serta Fakultas Hukum, akan dialihkan secara tersentral di Kampus
Cireundeu, namun berbagai pemikiran terutama dari Fakultas Tarbiyah, Syariah
dan Dakwah, belum ada kesepakatan, sehingga proses pembelajaran mahasiswanya
dilakukan di Rempoa tepatnya di SMP Muhammadiyah 17 Situ Gintung.
Ucapan Selamat dan Komentar
376 | Mungkin Segalanya Mungkin
Pergantian kepemimpinan Rektor kemudian diteruskan Prof. Dr. H.
Muhammadi, M.Si. selanjutnya penggabungan 3 Fakultas Tarbiyah, Fakultas
Dakwah dan Fakultas Syariah kemudian dijadikan satu, yaitu Fakultas Agama Islam
(FAI) yang pada masa itu Dekan FAI adalah Drs. H. Husnan Yusuf pada periode
tahun 1994−1997. Pada saat itu Dr. Suwito, M.A., sebagai konseptor pendirian
Insitut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) yang sebenarnya sebagai bentuk
kekecewaan atas kebijakan Rektor yang tidak sepaham dengan pemikiran Prof. Dr.
Suwito, M.A. pada masa itu. Karena ide dan gagasan Prof. Dr. Suwito yang sangat
futuristik dan tidak semua memahami pemikirannya dapat diterima oleh para
pimpinan UMJ.
Pada tahun 1997−2000, Dekan FAI dijabat oleh Prof. Dr. H. Fathurrahman
Djamil, M.A.; sedangkan Wakil Dekan I oleh Prof. Dr. Suwito, M.A., Wakil Dekan
II oleh Drs. H. Mujilan, M.A. dan Wakil Dekan III oleh Drs. Sudirman Mustafa,
sedangkan Wakil Dekan IV oleh Drs. H. Muhbib Abdul Wahab, M.A.; sedangkan
Kepala Tata Usaha oleh Iswan, S.E.
Pada tahun 1997 kondisi FAI masih dalam tekanan, dan kebijakan sistem
pengelolaan keuangan di UMJ masa itu bersifat semisentralisasi. Jumlah mahasiswa
FAI pada waktu itu sangat minim dengan jumlah keuangan juga sangat terbatas.
Kebijakan rektor pada waktu itu adalah masing-masing fakultas boleh membuka
kelas karyawan, yang pertama melakukan kelas karyawan adalah FISIP. Baru dan
kemudian FAI membuka kelas karyawan dengan perkuliahan hari Jumat, Sabtu, dan
Minggu. Konsep gagasan tersebut diprakarsai oleh Prof. Dr. Suwito, M.A., dkk,
yang kemudian melakukan Kerja sama dengan Kanwil Depag DKI Jakarta.
Sesuai kesepakatan pihak Kanwil diberikan kewenangan untuk
mensosialisasikan kepada seluruh Kandepag di DKI Jakarta agar guru yang belum
S-1 agar studi lanjut di FAI-UMJ; sedangkan perkuliahan dilaksanakan di masingmasing
kandepag. Di sinilah awal peningkatan jumlah mahasiswa FAI yang makin
meningkat setiap tahunnya.
Ketua Jurusan Tarbiyah dijabat oleh Dr. Hj. Masyitoh, M.Ag., Ketua Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam oleh; Drs. H. Mubasyir, dan Ketua Jurusan
Syariah oleh Drs. Dede Rosyada, M.A.. Dengan berjalannnya waktu pada tahun
2003 Ketua Jurusan Syariah dipimpin oleh Drs. Sopa, M.A dan Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam oleh Drs. Oka Gunawan, M.A.
Kemudian pada tahun 2001-2004 terpilihnya kembali Prof. Dr. H.
Fathurrahman Djamil, M.A. sebagai Dekan FAI-UMJ, dengan susunan kabinetnya
adalah:
Dekan : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A.
Wakil Dekan I : Dr. Suwito, M.A.
Wakil Dekan II : Drs. H. Mujilan
Wakil Dekan III : Drs. Sudirman Mustafa
Wakil Dekan IV : Drs. H. Abdul Muhbib, M.A.
Ketua Jurusan Tarbiyah : Dr. Hj. Masyitoh, M.Ag.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 377
Ketua Jurusan Dakwah : Drs. Farihen
Ketua Jurusan Syariah : Drs. Sopa, M.Ag.
Kepala Tata Usaha : Iswan, S.E.
Kasubag Akademik : Herwina Bahar, S.Ag.
Kasubag Keuangan : Rini Fatma kartika, S.Ag.
Kasubag Umum : Iqbal darwis, S.H.
Pada tahun 2005 Konsep-konsep dari Prof. Dr. Suwito, M.A. sangat banyak
menjadi acuan dalam penyelenggaraan PTAIS di antaranya adalah:
1. SK. Peraturan tentang konversi bagi mahasiswa pindahan. SK ini bahkan
diterbitkan oleh Dirjen Dikti PTAIS; (nasional);
2. Konsep Perubahan Status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN
Syarif Hidyatullah Jakarta;
3. Konsep cara penyusunan borang akreditasi yang pertama kali di FAI-UMJ
(internal);
4. Konsep Penyusunan Kurikulum;
5. Konsep Pembukaan D-2 Konsentrasi PGMI/SD;
6. Konsep Pembukaan D-2 Konsentrasi PGRA/TK;
7. Konsep Pembukaan D-3 Wisata haji dan Umrah;
8. Konsep Penyusunan jadwal perkuliahan;
9. Konsep Pendirian Magister Studi Islam di UMJ;
10. Konsep Embrio Pendirian S-3 Sudi Islam di UMJ; dll.
11. Masih banyak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Pada tahun yang sama, FAI melakukan ekspansi pembukaan kerja sama
dengan Kandepag Kota Tangerang, yaitu penyelenggaraan perkuliahan hari Jumat,
Sabtu, dan Minggu, yang pada waktu itu dengan Bapak Drs. H. Iskandar Benyamin
sebagai Kandepag Kota Tangerang.
Kemudian Prof. Dr. Suwito, M.A., dalam setiap candaannya dan selalu
memberikan motivasi kepada semua karyawan agar dapat melanjutkan kuliahnya ke
jenjang yang lebih tinggi.
Pada periode tahun 2005-2007 kemudian ada perubahan susunan pimpinan
sehingga menjadi:
Dekan : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A.
Wakil Dekan I : Dr. Hj. Masyitoh, M.Ag.
Wakil Dekan II : Drs. Sudirman Mustafa
Wakil Dekan III : Drs. H. Farihen, M.Ag.
Wakil Dekan IV : Drs. H. Abdul Muhbib, M.A.
Kepala Tata Usaha : Iswan, S.E.
Ketua Jurusan Tarbiyah : Drs. Amnan Muslimin
Ketua Jurusan Dakwah : Drs. Oka Gunawan
Ketua Jurusan Syariah : Drs. Sopa, M.Ag.
Kepala Tata Usaha : Iswan, S.E.
Kasubag Akademik : Herwina Bahar, S.Ag.
Ucapan Selamat dan Komentar
378 | Mungkin Segalanya Mungkin
Kasubag Keuangan : Rini Fatma kartika, S.Ag.
Kasubag Umum : Iqbal Darwis, S..H.
Pada tahun 2008-2010, pimpinan FAI-UMJ dengan susunan sebagai berikut:
Dekan : Drs. H. Farihen, M.Ag.
Wakil Dekan I : Drs. Amnan Muslimin
Wakil Dekan II : Rini Fatma Kartika, S.Ag.
Wakil Dekan III : Drs. Oka Gunawan
Wakil Dekan IV : Drs. Sopa, M.Ag.
Kepala Tata Usaha : Iswan, S.E.
Ketua Jurusan Tarbiyah : Rika Sa’diyah, S.Ag.
Ketua Jurusan Dakwah : Drs. Tajudin
Ketua Jurusan Syariah : Dra. Oneng Nurul bariyah, M.Ag.
Kepala Tata Usaha : Iswan, S.E.
Kasubag Akademik : Herwina Bahar, S.Ag.
Kasubag Keuangan : H. Hatta
Kasubag Umum : Iqbal Darwis, S.H.
Pada masa tersebut di atas dengan makin meningkatkanya jumlah mahasiswa
Konsentrasi PAUD dan PGMI, FAI sebagai fakultas yang mulai berkembang dari
jumlah mahasiswanya dari para pimpinan menyusun konsep pembukaan Program
studi baru dari Jurusan Syariah yaitu program studi Perbankan Syariah dengan
turunnya izin mulai penerimaan mahasiswa baru untuk program studi Perbankan
Syariah sejak tahun 2008.
Sedangkan perubahan pimpinan dengan susunan:
Dekan : Drs. H. Farihen, M.Ag.
Wakil Dekan I : Drs. Amnan Muslimin
Wakil Dekan II : Drs. Sopa, M.Ag.
Wakil Dekan III : Drs. Fakhrurazi
Wakil Dekan IV : Drs. Fakhrurazi
Kepala Tata Usaha : Iswan, S.E.
Ketua Jurusan Tarbiyah : Rika Sa’diyah, M.Ag.
Ketua Jurusan Dakwah : Drs. Tajudin
Ketua Jurusan Syariah : Dra. Oneng Nurul bariyah M.Ag.
Ketua Program studi PGMI : Herwina Bahar, S.Ag., M.A.
Kasubag Keuangan : H. Hatta Abidin
Kasubag Umum : Iqbal Darwis, S.H.
Tahun 2007 usulan pembukaan dari Konsentrasi PAUD, yang embrionya
sudah digagas sejak tahun 2005, dan pembukaan konsentrasi PAUD FAI yang
diusulkan menjadi Jurusan PAUD pada waktu itu tidak keluar izinnya dari Depag.
Namun disarankan harus izin melalui Kemendikbud. Kemendikbud lalu
menyarankan agar membuat fakultas baru sebagai payungnya. Dengan
diterbitkannya SK. Rektor No. 192 Tahun 2007, tentang “Pembentukan Tim
Pengembangan Jurusan Tarbiyah Fakultas Agama Islam dan Pembukaan Fakultas
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 379
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta”, tanggal 28 Agustus 2007
yang pada masa kepemimpinan Rektor di jabat Dr. Hj. Masyitoh, M.Ag.
Pada tahun 2010-2014 masa kepemimpinan FAI-UMJ, diteruskan dengan
susunan sebagai berikut:
Dekan : Prof. Dr. H. Armai Arief, M.Ag.
Wakil Dekan I : Drs. Amnan Muslimin
Wakil Dekan II : Rini fatma Kartika, S.Ag.
Wakil Dekan III dan IV : Drs. Fakhrurazi
Kepala Tata Usaha : Iswan, S.E.
Ketua Jurusan Tarbiyah : Rika Sa’diyah, M.Ag.
Ketua Jurusan Dakwah : Drs. Tajudin
Ketua Jurusan Syariah : Drs. Fuad Falahudin, M.Ag.
Ketua Program Studi PGMI : Herwina Bahar, S.Ag, M.A.
Kasubag Keuangan : H. Hatta Abidin
Kasubag Umum : Sudaya
Kemudian pada tahun 2015- sekarang kepemimpinan FAI-UMJ dengan
susunan sebagai berikut:
Dekan : Rini Fatma Kartika, S,Ag, M.H.
Wakil Dekan I : Drs. Hadiyan, M.A.
Wakil Dekan II : Drs. Tajudin, M.Ag.
Wakil Dekan III : Drs. Ayuhan Asmara, M.A.
Kepala Tata Usaha : Drs. Sumardi, M.A.
Ketua Jurusan Tarbiyah : Mukti Ali, M.A.
Ketua Jurusan Dakwah : Drs.
Ketua Jurusan Syariah : Dra. Oneng Nurul Bariyah M.Ag.
Ketua Program studi PGMI : Herwina Bahar, S.Ag., M.A.
Kasubag Keuangan : Devi Susanti, S.E.
Kasubag Umum : M. Yahya.
Pada tahun 2008, terbitlah SK. Program studi PG-PAUD yang di bawah
payung Fakultas Ilmu Pendidikan, maka pemisahan mahasiswa FAI dan FIP
diberikan opsi pilihan bagi yang tetap mengambil di FAI perkuliahan tetap di FAI
sedangkan bagi mahasiswa yang memilih program studi PG-PAUD perkuliahan di
bawah Fakultas Ilmu Pendidikan. Kebetulan sarana perkuliahan masih satu atap di
Gedung perintis I UMJ. Kepemimpinan FIP UMJ dengan susunan sebagai berikut:
Dekan : Drs. H. Farihen, M.Ag.
Wakil Dekan I : Herwina Bahar, M.A.
Wakil Dekan II & III : Drs. Imam Mujtaba
Tahun 2010, Periodisasi kepemimpinan tersebut di atas masih masa transisi
sehingga pada tahun ketiga dilakukan pemelihan struktur baru yang menjabat di
FIP-UMJ, tersusunlah sebagai berikut:
Dekan : Herwina Bahar, S.Ag., M.A.
Wakil Dekan I : Drs. Imam Mujtaba
Ucapan Selamat dan Komentar
380 | Mungkin Segalanya Mungkin
Wakil Dekan II dan III : Iswan, S.E., M.Si.
Demikian sekilas tentang kronologi perkembangan Fakultas Agama Islam
UMJ, dalam kurun waktu 1997 s.d. sekarang, mudah-mudahan dapat bermanfaat
dan mohon masukan guna penyempurnaan yang lebih valid.
SOSOK SUWITO YANG BERKARAKTER
Dr. Agus Santoso, S.Ag, M.Pd.
(Kawan ketika Daurah di Damaskus/Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)
Saya mengenal beliau sejak tahun
1998, saat itu kami sama-sama mengikuti
program Pembibitan Dosen Internasional
yang diselenggarakan oleh Kementerian
Agama RI. Pengalaman tersebut tidak bisa
saya lupakan. Pengalaman yang luar biasa
yang belum pernah aku bayangkan
sebelumnya. Pengalaman bertemu dengan
orang-orang besar saat itu. Termasuk sosok
Suwito, yang dikenal di antara temantemannya
sebagai sosok pemimpin yang
bertanggung jawab, banyak ide, tak kenal
lelah dan satu lagi adalah humoris.
Suwito adalah orang yang periang
dan mampu membuat orang yang tidak dikenal atau baru kenal langsung akrab. Saat
kami berempat berada di al-Mudarraj al-Rumani di kota Bashra. Tatkala kami
berjalan di sebuah lorong, kami menemukan sekumpulan anak-anak remaja yang
sedang berkumpul. Tidak tahunya orang yang dikerumuni itu adalah Bapak Suwito.
Bapak Suwito adalah orang yang "Nggak bisa diam" kata teman-teman. Dia selalu
jalan ke mana-mana selama program kegiatan di Suriah. Hampir tiap hari ada
aktivitas yang selalu berbeda dan memang diinginkannya. Keakraban dengan teman
saat itu menjadi lebih hangat saat banyak guyonan-guyonan yang muncul.
Suatu ketika saat malam setelah shalat isya', kami berdua pergi ke rumah
kediaman duta besar Indonesia untuk Suriah, Bapak Zarkowi Suyuthi. Malam
tersebut sangat menegangkan bagi saya karena tidak pernah bertemu dengan orang
besar saat itu. Betapa tidak?. Rumah yang begitu megah dan bersih, membuat saya
mulai grogi. Namun saat menemui penjaga pintu di depan rumah beliau, sepontan
Bapak Suwito segera mengucapkan salam dan terdengar gelak tawa, "andunisy"
kata penjaga pintu. Seraya Suwito langsung nyambut dengan kata "Indunisia".
Rupanya mereka berdua sudah saling mengenal dengan istilah tersebut. Setelah
beberapa saat kemudian kami sudah berada di ruang tamu dan subhanallah yang
keluar seorang ibu Zarqowi dengan senangnya. Beliau dengan senangnya langsung
berkata: "Silakan ke kamar ditunggu Bapak di sana!". Kami berdua ke kamar beliau
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 381
dan beliau sedang duduk di depan meja kerja, sedang membaca buku. Setelah
beberapa lama bercengkerama, saya langsung menyodorkan diri untuk memijat
Bapak Zarqowi. Dengan senang hati saya memijat kaki beliau. Pada saat yang
bersamaan Pak Suwito bercerita banyak dan bersendau gurau dengan asyiknya
sampai ndak terasa waktu sudah menunjukkan jam 23.00. Keasyikan Suwito selalu
mencairkan suasana.
Surabaya, 19 November 2015
BERPIKIR KOLATERAL DAN SEGAR… ITULAH PROF WITO YANG
SAYA KENAL
Prof. Dr. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA, drh.
(Angota Tim Instrumen Program studi BAN-PT,
Dosen FKH dan Ketua Badan Penjaminan Mutu UNAIR)
Perkenalan saya pertama kali
dengan beliau, adalah saat saya ditugaskan
BAN PT untuk melakukan asesmen
surveilen AIPT ke Universitas Diponegoro
pada 12–14 Mei 2013 bersama dengan
beliau, Dr. Samuel Dossugi dari Majelis
BAN - PT, Prof. Harsono Taroepratjeka
dari ITN, Prof. Siswadi dari IPB, dan
Mbak Ambar Setyaningsih dari BAN PT.
Sebagai orang muda pada sore hari
sebelum rapat bersama dengan Tim Asesor
yang lain, kami sempat berdiskusi di
kamar beliau.
Kesan pertama yang saya tangkap
adalah beliau orang yang sangat serius, teliti, wise dan komprehensif. Dengan
bertambahnya waktu pertemuan, hal-hal segar dan menurut saya agak aneh dan
tidak terduga mulai mengalir pada momen-momen yang tidak disangka-sangka.
Dengan makin seringnya pertemuan dengan beliau (sebagai anggota Tim Instrumen
Program studi di BAN PT sejak Tahun 2013 bersama dengan Dr. Indriyanti
Sudirman dari UNHAS, Prof. Marsudi Triatmojo dari UGM, Dr. Fauzri Fahimuddin
dari Poltek UI dan Dr. Julio Adisantoso dari IPB), maka “prejengan dan jeroan”
Prof Wito makin terang benderang. Beliau merupakan sosok yang cerdas, teliti,
tanggap dan setiap ucapannya mencerminkan kedalaman, kearifan berpikir yang
diperoleh dari pengalaman yang panjang dan spesifik terutama dalam
pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Joke-joke segar
mengalir di tengah keseriusan yang tidak berkurang.
Banyak ucapan-ucapannya yang mengingatkan dan mengandung makna yang
dalam. “Saya tidak suka dengan nasi soto ini… ya.. saya makan saja…nasi koq
Ucapan Selamat dan Komentar
382 | Mungkin Segalanya Mungkin
disuka..”, “Hebat betul ibu ini… datang ke Jakarta “naik Garuda”… “kalau saya
hanya naik dan masuk ke pesawat terbang…” dan banyak lagi yang lainnya yang
terkesan aneh, asing…dan segar. Ungkapan-ungkapan ini menurut pendapat saya
bukanlah sesuatu yang sederhana namun merupakan refleksi dari kecepatan dan
ketepatan dan kedalaman berpikir kolateral (istilah pribadi saya), out of the box dan
futuristik. Berbagai ungkapan beliau yang terkesan segar dan aneh, setelah dicerna
sebetulnya mengandung pesan agar kita di dalam melaksanakan tugas sebagai
khalifah baik sebagai pimpinan, dosen, dan anggota masyarakat dapat tetap
mencetuskan ide-ide kita, pendapat-pendapat kita berdasarkan hasil pemikiran yang
mendalam, hati-hati, substantif, holistik dan tidak mudah terpengaruh pada
interpretasi umum yang sudah menjadi mainstream di masyarakat luas.
Dari aspek intelektual, terbukti hingga di usia beliau yang ke-60 tahun ini,
Prof Wito mampu menyumbangkan dan menghasilkan karya-karya maupun ide-ide
inventif, adaptif dan inovatif dan futuristik dalam berbagai hal terutama dalam
pengembangan pendidikan tinggi. Berinteraksi secara pribadi dan bertugas bersama
beliau dalam suatu tim bagi saya adalah suatu rahmat dan anugerah yang tidak
terkira untuk tidak henti-hentinya mentauladani semua praktik baik yang secara
gratuit bisa saya peroleh. Terima kasih banyak Prof Wito atas kenikmatan, berkah
dan anugerah Une meilleure experience avec vous…pour tojours. Kami berdoa agar
Allah Subhanahuwata’ala senantiasa melimpahkan kesehatan dan kebahagian untuk
Panjenengan sehingga dapat terus berkarya, berkontribusi, dan memberikan
manfaat secara optimal bagi masyarakat, agama, nusa, bangsa dan negara…. Āmīn
yā Rabb al’Ālamīn..
Surabaya, 14 Januari 2016
SEMPURNA MENJAWAB ZAMAN
Dr. Indrianty Sudirman, S.E., M.Si.
(Kawan di BAN-PT/Dosen Universitas Hasanuddin Makassar)
Pemilihan judul buku Otobiografi
ini bahwa tidak ada yang tidak mungkin
merupakan refleksi yang tepat untuk
menjelaskan sosok Prof. Soewito. Ketika
saat ini rencana strategi pembangunan
pendidikan di Indonesia baru mulai
berpikir akan pentingnya inovasi dan
berpikir out of the box untuk meningkatkan
daya saing bangsa, konsep tersebut sudah
mendarah daging pada pribadi Prof.
Soewito sehingga menjadi ciri unik yang
membedakan beliau dengan inovator
inovator lainnya yang berkembang melalui
metodologis pencarian ide yang sistematis.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 383
Selama mengenal beliau, maka kehadirannya pada semua kesempatan langsung
menjadikannya unik dengan komentar humor yang tidak lazim karena cara berpikir
lateral.
Eksistensi beliau selalu terasa "ada" karena atmosfer yang tercipta selalu
menarik karena jalan berpikirnya yang tidak lazim dan energi santai yang
ditularkannya seperti penawar terhadap stress yang muncul karena larut dalam
tantangan pekerjaan. Dalam suasana terjadi perdebatan, kearifan beliau selalu
mampu memercikkan kesejukan. Dengan teknik marathon, meskipun terkesan
santai namun beliau tidak pernah berhenti sebelum misi selesai. Bagian lain dari
kearifan beliau adalah sifat tawadhu, sabar, tidak mengeluh tidak ghibah dan selalu
berpikir positif. Beliau adalah sosok yang sulit terlupakan bagi setiap orang yang
pernah mengenalnya.
Makassar, 17 Februari 2016.
PROF. DR. SUWITO, M.A.:
KONSULTAN YANG MEMBERI INSPIRASI DAN HARAPAN
Dr. Mujiburrahman, M.A.
(Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Persahabatan saya dengan Prof.
Suwito terjaling erat pasca-tsunami Aceh
tahun 2004. Semenjak tahun 2005. Prof.
Wito sudah bolak-balik ke Aceh sebagai
dosen tamu di Program Pascasarjana UIN
Ar-Raniry. Walaupun saya bukan dalam
kapasitas sebagai mahasiswa Pascasarjana,
namun setiap ada waktu saya
menyempatkan diri untuk ketemu dan
mengajak Prof. Wito untuk ngopi dan
makan malam, sambil diskusi berbagai hal
tentang dunia akademik dan perkembangan
kelembagaan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indosesia, khususnya
perkembangan pesat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang saya tahu saat itu, Prof.
Wito merupakan salah satu orang kepercayaan Prof. Azyumardi Azra yang
memiliki andil besar dalam pengembangan UIN.
Pembahasan tentang perkembangan UIN Syarif Hidayatullah menjadi topik
penting dan hangat kami bicarakan karena pasca-transformasi IAIN menjadi UIN,
universitas ini mengalami perubahan besar yang mungkin tidak diperkirakan orang
sebelumnya. Kemudian eksistensinya menjadi model dan rujukan berbagai
perguruan tinggi Islam di berbagai daerah di Indonesia. Perkembangan dan
kemajuan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari kerja keras, kreativitas dan
inovasi baru Prof. Wito sebagai bagian dari tri partit atau tree in one (meminjam
Ucapan Selamat dan Komentar
384 | Mungkin Segalanya Mungkin
bahasa Prof. Abudin Nata) kepemimpinan UIN Syarif Hidayatullah yang telah
membuktikan bahwa sesuatu cita-cita mulia tidak mustahil dapat digapai,
semuanya serba MUNGKIN.
Belajar dari kesuksesan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pimpinan IAIN Ar-
Raniry merasa cemburu dan terpanggil juga untuk mengikuti langkah tersebut.
Semenjak periode rektor Prof. Dr. Safwan Idris, M.A. tahun 1998, gagasan
perubahan IAIN Ar-Raniry telah mulai digagas, kemudian gagasan tersebut
ditindaklajuti dengan berbagai kebijakan dan tindakan oleh para rektor sesudahnya,
yaitu di masa kepemimpinan Prof. Rusjdi Ali Muhammad, S.H, Prof. Drs. Yusny
Saby, M.A, Ph.D., dan akhirnya dengan langkah konkret dan sistematis dengan
dukungan moril yang kuat dari seluruh sivitas akdemika IAIN Ar-Raniry,
Pemerintah Aceh dan berbagai pihak lainya, cita-cita mulia tersebut terealisasi pada
masa kepemimpinan Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, M.A. tahun 2014.
Di antara sekian banyak faktor penentu keberhasilan alih status IAIN Ar-
Raniry menjadi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry salah satunya adalah adanya
dukungan moril yang sangat kuat dari pimpinan UIN Syarif Hidayatullah, Prof.
Azyumardi Azra, M.A., Prof. Jamhari Makruf, M.A. dan Prof. Dr. Suwito, M.A.
Dukungan moril ini secara nyata ditunjukkkan oleh Prof. Azyumardi Azra yang
dalam berbagai kesempatan kunjungan ke Aceh selalu mendorong unsur pimpinan
IAIN Ar-Raniry untuk segera melakukan alih status, karena menurut Kang Edi
(panggilan Akrab Prof. Azyumardi) IAIN Ar-Raniry secara akademik dan
kelembagaan sudah selayaknya berubah menjadi UIN, malah sudah sangat
terlambat dilihat dari sejarah kelahiranya sebagai IAIN ke tiga di Indonesia.
Dukungan moril secara riil teraplikasi ketika Prof. Azyumardi, M.A.
merekomendasi Prof. Suwito dan Prof. Jamhari sebagai konsultan untuk
pengembangan dan perubahan IAIN Ar-Raniry menjadi UIN Ar-Raniry.
Keberadaan Prof. Wito dalam kapasitasnya sebagai konsultan, telah memberi
ruang dan waktu luas untuk kami saling berkomunikasi dan berkonsultasi, baik itu
terjadi secara langsung dalam berbagai pertemuan di Jakarta maupun di Aceh, atau
secara tidak langsung melalui jalur komunikasi dengan handphone maupun melalui
internet. Situasi ini membuat jalinan persahabatan saya dengan Prof. Wito semakin
akrab dan saling mengenal karakter masing-masing secara mendalam. Dalam waktu
yang tidak lama, saya dapat mengenal sosok Prof. Wito sebagai orang yang sangat
rajin, tekun, kreatif, inovatif, imajinatif dan tak kalah pentingya juga sebagi sosok
yang humoris. Ada saja humor yang keluar dari Prof. Wito membuat suasana
menjadi lebih santai dan akrab sehingga kami tidak merasa kaku, jenuh, atau bosan.
Ada beberapa catatan penting yang masih segar dalam ingatan saya tentang
pemikiran-pemikiran Prof. Wito yang kreatif dan imajinatif dalam menjalani profesi
sebagai konsultan UIN Aceh. Pertama, Ia mengatakan untuk mengubah IAIN
menjadi UIN harus diawali dengan adanya rektor yang “GILA”. Kalau tidak ada
rektor yang “GILA” maka tidak MUNGKIN UIN akan berhasil. Hal ini Prof. Wito
sampaikan kepada Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, M.A. ketika pertemuan awal
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 385
membahas rencana strategis perubahan alih status IAIN Ar-Raniry menjadi UIN.
Pernyataan Prof. Wito inilah yang menggugah semangat Prof. Farid dan kami
sebagai Tim UIN Aceh, bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh dalam semangat
kegilaan untuk mewujudkan cita-cita perubahan alih satus tersebut.
Kedua, ungkapan Prof. Wito “MISKIN STRUKTUR KAYA FUNGSI”
menuntun kami secara subtantif dan teknis dalam menyusun proposal alih status
terkait dengan struktur kelambagaan UIN Ar-Raniry. Ungkapan tersebut secara
sepintas kelihatannya sederhana, namun sangat kaya makna. Sebelum ungkapan
Prof. Wito itu keluar, banyak sekali gagasan dan keinginan dari tim untuk
memasukkan sebanyak-banyaknya jumlah program studi dan fakultas dalam
struktur proposal induk UIN yang kemungkinan besar susah untuk dikabulkan.
Namun setelah Prof. Wito mengeluarkan jurus pamungkasnya melalui ungkapan
MISKIN STRUKTUR KAYA FUNGSI, akhirnya menyadarkan kami dan
kemudian kami mengikuti arahan dari konsultan dengan hanya memuat sejumlah
program studi yang berpatokan pada rumus minimal: 6 (enam) program studi
eksakta dan 4 (empat) program studi sosial.
Alhamdulillah, kerja keras tim UIN Aceh dalam semangat “kegilaan” dan
payung “Miskin Struktur Kaya Fungsi” yang merupakan bahagian dari ide kreatif
dan imajinatif seorang konsultan yang bernama Prof. Suwito, akhirnya dengan
ridha dan rahmat Allah telah mewujudkan perubahan stastus IAIN Ar-Raniry
menjadi UIN Ar-Raniry. Tentunya penghargaan dan ucapan terima kasih patut kami
sampaikan kepada Prof. Wito atas dedikasi dan bantuanya semoga menjadi amal
shalih dalam penilaian Allah Swt. Selamat ulang tahun yang ke-60 Prof. Wito, kami
doakan semoga Allah meridhai dan mengaruniakan kebaikan, panjang umur,
sentiasa sehat lahir dan bathin sehinggga terus berkarya sepanjang masa. Akhirnya,
semoga karya MUNGKIN ini membuka ruang yang besar untuk melahirkan karyakarya
besar lainya yang tentunya segalanya mungkin dicapai pada masa mendatang.
Āmīn..
Ucapan Selamat dan Komentar
386 | Mungkin Segalanya Mungkin
PAK WITO... GURU KEHIDUPAN
Dr. Asrina, M.Ag.
(Mantan Mahasiswa S-3 SPs/Dosen IAIN Imam Bonjol Padang)
Ada satu hal yang sampai sekarang
masih melekat di benak saya yang
mungkin menggambarkan anggapan
banyak orang tentang hubungan saya
dengan Bapak Prof. Dr. Suwito. Ketika
konsultasi perbaikan disertasi setelah
ujian tertutup dengan Bapak Prof. Dr.
H.D. Hidayat, Beliau menyatakan bahwa
ada senior saya yang bertanya
“bagaimana cara menghadapi Pak Wito”.
Menanggapi pertanyaan tersebut Prof. D.
Hidayat menjawab bahwa “bagaimana
cara menghadapi Pak Wito, tanya saja
sama Asrina”. Spontan saya kaget
dengan pernyataan Prof. D. Hidayat
tersebut. Saya tanya “mengapa Prof. D. Hidayat berpikiran seperti itu”. Beliau
menjawab bahwa “hanya saya yang Beliau lihat yang tidak pernah bermasalah
berhadapan dengan Pak Wito semenjak S-2”. Waktu itu adalah tahun 2008. Waktu
di mana dari dua tahun sebelumnya adalah “masa-masa pembersihan” dan
pemberlakuan aturan-aturan dengan disiplin yang ketat. Waktu itu juga banyak
mahasiswa yang kaget, sock dan bahkan sampai menangis karena daya tahan yang
kurang. Waktu di mana juga banyak mahasiswa yang lututnya gemetaran karena
tidak mampu memberi argumentasi pada pernyataan atau pertanyaan Beliau. Waktu
itu juga di mana ada pameo bahwa SPS adalah singkatan dari “Sekolah Punya
Suwito”.
Memang ada banyak teman yang bertanya bagaimana menghadapi Beliau.
Saya katakan bahwa “Saya sendiri tidak merasa mempunyai cara khusus untuk
menghadapi Beliau. Kedekatan saya dengan Beliau sama seperti kebanyakan
mahasiswa, hanya hubungan dosen dan mahasiswa”. Bisa jadi mungkin cara saya
memandang dan membina hubungan dengan Beliau sedikit berbeda dengan temanteman
mahasiswa yang lainnya. Bagi saya Beliau adalah dosen, guru saya yang
tidak hanya dalam pertemuan-pertemuan perkuliahan tetapi juga guru dalam
kehidupan. Menurut saya, terlepas dari segala kelebihannya yang perlu dikurangi,
Beliau adalah pribadi yang sangat jujur dengan kehidupannya. Beliau menurut saya
mempunyai kecerdasan yang berbeda dengan dosen-dosen yang lainnya meskipun
hadir dengan apa adanya.
Ketika banyak orang mengatakan ungkapan-ungkapanya “nyeleneh”, saya
malah belajar memahami makna kata dari cara Beliau. Ketika orang memilih
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 387
berdebat dalam mempertahankan pendapatnya, saya malah cenderung menanyakan
solusi terbaik. Ketika orang diam dan menahan dongkol karena tidak sependapat
dan kehabisan kata, saya malah tetap pada pendapat saya dan sambil tersenyum
mengatakan: “Itu kan menurut Bapak, menurut saya tetap tidak, sampai ilmu saya
membawa saya pada pengertian seperti yang bapak sampaikan”. Mungkin dalam
berdiskusi di kelas saya sedikit nakal, karena itu adalah salah satu cara belajar dari
Beliau menggunakan logika. Diskusi-diskusi teologis, filsafat dan tasawuf dengan
Beliau memberi kontribusi yang tidak sedikit bagi cakrawala berpikir dan
pemahaman saya hingga saat ini. Alhamdulillah, meskipun bertahun-tahun saya
telah menyelesaikan studi di SPs, setiapkali saya meminta saran atau pendapat,
Beliau selalu bersedia dengan tangan terbuka.
Semasa kuliah, Beliau lebih sering memanggil saya: “Nduk”. Lebih sering
dari memanggil nama saya: “Rin” atau “Rina”. Entah apa alasannya, padahal saya
notabenenya bukan orang Jawa. Yang paling membekas bagi saya pribadi adalah
ketika ramai orang mengatakan bahwa Beliau orang yang tegaan, tidak punya hati
dan perasaan. Saya menyaksikan semua itu tidak benar adanya. Waktu itu 22 Maret
2008 --beberapa hari setelah ujian tertutup disertasi--, ketika suami saya meninggal
di Semarang, Beliau atas nama SPs UIN Jakarta datang melayat dan menyampaikan
bela sungkawa ketika mayat masih terbujur di tengah rumah. Ketika saya bersama
ibu dan anak-anak saya yang masih balita melewati hari-hari suram di Ciputat,
Beliau tidak membiarkan saya terpuruk di situ. Seringkali Beliau bersama pegawaipegawai
SPs menelepon memberi semangat. Ketika banyak orang bahkan termasuk
dosen yang menyarankan agar saya meminta perpanjangan waktu perbaikan
disertasi setelah ujian tertutup yang deadline tanggal 21 April 2008, Beliau tetap
memberi semangat dan percaya bahwa saya mampu menjadi “Kartini” waktu itu.
Beberapa sms Beliau masih saya ingat sampai sekarang. Sms yang seringkali Beliau
kirimkan adalah “Nduk… semoga Ibunya sehat, anak-anak sehat dan Rina cepat
jadi doktor”… lain waktu Beliau menulis sms: “Nduk, saya kira disertasinya tidak
perlu sangat ideal, yang penting Nduk bisa cepat jadi doktor sesuai kualifikasi yang
ditetapkan”… “Nduk, apa yang bisa Bapak bantu agar Nduk cepat jadi doktor”…
Sms-sms tersebut bagi saya menjadi penyemangat dan memberi energi positif, di
mana kepercayaan Beliau bahwa saya mampu berpikir dan pasti mampu. Saya
melihat rona bahagia yang luar biasa pada Beliau ketika tanpa Beliau duga saya
menyerahkan hasil perbaikan disertasi yang telah disetujui penguji pada tanggal 18
April 2008. Berikutnya, ketika saya terbentur masalah biaya ujian promosi, Beliau
mengupayakan agar SPs mengalihkan dana ujian tertutup Almarhum suami saya
untuk ujian promosi saya. Ketika saya menanyakan pendapat Beliau tentang pro dan
kontra terhadap pengangkatan saya sebagai sekretaris jurusan sekembalinya saya ke
Padang, Beliau menasehati saya:… “Nduk… apapun pekerjaan itu, kitalah yang
membuatnya bermartabat atau tidak. Jangan meminta jabatan, tetapi kalau ditawari,
pertimbangkanlah”.
Ucapan Selamat dan Komentar
388 | Mungkin Segalanya Mungkin
Bisa jadi diskusi-diskusi ilmiah di kelas sudah banyak yang saya lupakan,
tetapi ajaran Beliau tentang kehidupan tetap membekas bagi saya sampai sekarang.
Mungkin banyak orang yang tidak setuju atau sependapat dengan Beliau tetapi saya
belajar banyak hal dari Beliau. Setidaknya saya belajar menjadi pribadi yang kuat,
belajar menjalani kehidupan dengan ikhlas dan cerdas, belajar menjadi pribadi yang
menjadi tuntunan. Satu yang terpenting yang saya dapat adalah keyakinan bahwa
tidak ada yang tidak mungkin selagi belum menjadi takdir, karena itu berupayalah!
Salutku buat Pak Wito
Padang, 22 Januari 2016
Dr. Asrina, M.Ag
SOCRATES YANG NJAWANI
Mayang Sari
(Dosen Universitas Indonesia)
Kira-kira demikianlah sosok Prof.
Dr. H. Suwito, M.A. di mata saya
(selanjutnya tanpa mengurangi rasa
hormat, izinkan saya menyebutnya, Swt
saja). Perjumpaan saya dengan Swt
terjadi di Kampus UMJ, Kramat Raya
49 Jakarta. Beliau adalah seorang dosen,
lalu menjadi Pudek IV, dan selang
beberapa waktu kemudian menjabat
Pudek I. Semua terjadi dengan cepat.
Adapun saya adalah seorang staf
sekretariat yang atas usulan Swt
diberdayakan menjadi dosen. Kejadian
tersebut sudah sangat lama, hampir 30
tahun yang lalu.
Sejak Fakultas Tarbiyah bergabung dengan Universitas Muhammadiyah
Jakarta di Cirendeu maka hampir tidak pernah kami bertemu. Sesekali Swt
mengirimkan ucapan Selamat Idulfitri atau sekadar menanyakan kabar. Swt lah
satu-satunya pimpinan yang masih terus menjalin silaturahmi dengan karyawannya.
Sampai suatu saat, Swt mengirimkan sms yang meminta kami (temanteman/
sahabat/relasinya) untuk menulis tentang beliau yang akan dihimpun dalam
sebuah buku. Tadinya saya ragu untuk menuliskan testimoni tersebut. Janganjangan
Swt sedang bercanda. Bukankah agak terlalu cepat menuliskan autobiografi
di hari jadi ke-60? Tambahan pula, biasanya tulisan seperti itu diperuntukkan untuk
seseorang yang akan mencapai usia 70 tahun. Akhirnya terjawab, ternyata Swt
serius. Beliau mengingatkan kami tentang deadline tulisan. Luar biasa, beliau
memang di luar kebiasaan. Swt melangkah 10 tahun lebih cepat.
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 389
Socrates dan Swt
Untuk saya, sebenarnya sosok Swt tidak terlalu dekat saya kenal. Namun
perjumpaan singkat dengan beliau tetap meninggalkan kesan yang dalam. Itu
sebabnya, ketika Swt meminta saya untuk menuliskan pengalaman atau kesan saya
terhadapnya, yang terlintas pertama kali: Swt adalah Socrates yang njawani.
Socrates adalah filsuf besar Yunani yang lahir pada abad ke-5 SM. Tidak
begitu jelas apakah ibunya seorang bidan atau tidak, paling tidak Socrates
menggunakan teknik pembidanan ini untuk membantu seseorang melahirkan
pemahaman hakiki tentang sesuatu dengan menggunakan kekuatan nalar kritis.
Melalui maieutike techne atau elenchus, Socrates melakukan dialog argumentatif
dengan cara bertanya dan mempertanyakan sesuatu dan menarik keluar ide/praduga
yang mendasari suatu keyakinan/pemahaman sebelumnya, sehingga lahirlah
pengetahuan baru yang logis.
Kita tinggalkan Socrates sejenak. Lalu di mana letak kesamaan antara
Socrates dan Swt? Saya akan menjelaskannya dengan menceritakan pengalaman
pribadi saya dan peran Swt di dalamnya.
Kuliah Pertama: Bahasa dan Logika
Swt untuk kami tidak sekadar pimpinan (Pudek IV dan Pudek I Fakultas
Tarbiyah UMJ) tetapi sekaligus kakak dan sahabat yang peduli. Suasana keakraban
yang beliau ciptakan tidak jarang menjadikannya sebagai sasaran kegalauan kami.
Tak terkecuali saya. Pernah suatu hari, saya merasa sangat jengkel sehingga terbawa
sampai di tempat kerja. Swt yang peka terhadap lingkungannya langsung bereaksi
dengan cara bertanya kepada staf lain, “Menurut Anda kira-kira enak lihat orang
senyum atau cemberut?” Saya paham beliau menyindir saya. Tentu saja teman saya
menjawab, “Ya, senyum dong Pak.” Swt melihat ke arah saya. Dengan nada
jengkel, saya komentari, “Memangnya bisa dimakan, koq bilang enak?” Swt
langsung tertawa, teman-teman saya bingung, sebaliknya saya merasa berhasil
menangkis sindirannya. Lucunya, sejak peristiwa tersebut, kami merasa cocok dan
bahkan teman-teman mengganggap saya “murid Suwito”.
Kelakar Swt sering tak jarang menuai protes. Hebatnya, Swt tak pernah marah
atau khawatir terhadap penilaian orang lain. Satu contoh, saat beliau asyik berkutat
dengan pekerjaannya, Pak Maisir (staf sekretariat) mengingatkan, “Shalat dulu,
Pak.” Lalu dengan santai dijawab, “Bukan shalatnya sekarang?” sambil bangkit
dari duduknya. “Shalat kan nomor dua”, tambahnya lagi lalu berjalan menuju
tempat wudlu. Bisa dibayangkan apa yang berkecamuk dalam pikiran teman-teman
saya saat itu. Mereka menganggap Swt gendeng (‘gila’). Beraninya, shalat
dinomorduakan. “Kerja tidak akan habis-habisnya sampai mati,” demikian gerutu
mereka. Sementara saya berpikir lain. Tidak mungkin Swt menganggap kerja lebih
penting daripada shalat, buktinya beliau langsung meninggalkan pekerjaannya lalu
meminjam sandal dan menuju tempat wudlu. Belum sempat pertanyaan tersebut
terjawab, Swt masuk kembali ke ruangan dan bertanya pada saya, “Nduk, masih
Ucapan Selamat dan Komentar
390 | Mungkin Segalanya Mungkin
ingat nggak rukun Islam ada berapa? “Lima”, jawabku. Aku langsung sadar
maksud pernyataan beliau, “shalat nomor dua” karena yang pertama adalah
syahadat. Begitulah cara beliau memberikan “kuliah” Bahasa dan Logika.
Kuliah Kedua: Clara et Distincta (Jelas dan Terpilah)
Kuliah kedua terjadi tanpa sengaja. Lucunya selalu terjadi saat saya
mengalami tekanan psikis. Suatu hari saya merasa sangat sedih dan kecewa. Saya
bertanya kepada beliau bagaimana caranya menghilangkan rasa sedih. Jawabannya
saat itu amat menjengkelkan. “Sedih itu penting, jangan dihilangkan.” Masalahnya
kenapa mau dibikin sedih?” Menyesal rasanya bertanya dan menceritakannya. Saya
enggan untuk berbicara padanya. Swt meminta secarik kertas lalu menuliskan
sesuatu sebagai berikut.
Yen ora pati cetho, mesemo
Yen ora biso kondo, mesemo
Nadyan atimu rodo gelo, mesemo
Ngiras kanggo tombo
Mesemo…
“Itu tembang pelipur lara,” katanya. Saya yang tidak begitu paham berbahasa
Jawa memintanya menjelaskan makna dari lirik tersebut. Sambil membacakan
dengan intonasi datar datar, beliau menjelaskan arti untaian kalimat tersebut.
Intinya: jika hatimu merasa kecewa dan tidak dapat mengungkapkanya lewat katakata,
senyumlah”. Lalu Swt berlalu sambil senyum-senyum.
Kertas itu saya simpan lalu saya baca lamat-lamat di malam hari. Sekali,
sekali lagi, dan sekali lagi sampai tenggorokan saya terasa tercekat. Air mata mulai
berjatuhan. Isak tangis pun tak tertahankan. Syair tembang tersebut sangat
sederhana, namun maknanya sangat luar biasa sampai membuat saya menangis.
Entah apa yang saya tangisi: kesedihan atau lirik lagunya yang merasuk jiwa?
Semua berkecamuk, menyatu, dan larut.
Lalu saya mulai berpikir. Tiba-tiba lahir sebuah renungan dan kekuatan untuk
melihat dari sudut yang berbeda. Suatu kontras antara kesedihan dan senyuman.
Saya mulai memilah-milah. Apa itu kesedihan? Mengapa kita sedih dan haruskah
kita sedih? Untuk apa harus sedih? Lalu apa makna senyum dalam hal ini? Mengapa
harus disikapi dengan senyum? Berbagai tanya dan upaya mempertanyakan tentang
sedih, akhirnya membuat saya menjelajahi pemikiran tentang kesedihan itu sendiri:
memilah dan mengkategorikannya. Benar apa yang dikatakan guruku itu. Kesedihan
tidak perlu dihilangkan. Kesedihan diperlukan untuk mensucikan batin dan
membantu proses khatarsis dan pencerahan. Malam itu, saya menganggapnya
sebagai kuliah kedua dari Swt.
Demikianlah Swt membidani saya untuk melahirkan pengetahuanpengetahuan
baru yang menurut Socrates pengetahuan itu sebenarnya sudah ada
dalam diri kita, tinggal kita berusaha untuk menggali dan mengeluarkan hikmah
tersebut dari rahim akal budi kita. Setelah saya mempelajari filsafat di UI, barulah
Otobiografi Suwito
Mungkin Segalanya Mungkin | 391
saya mengerti bahwa apa yang dilakukan oleh filsuf Swt tersebut adalah suatu
metode dialektika yang digunakan Socrates.
Lirik “Mesemo” tersebut membuat saya memahami bahwa apa yang
sebenarnya saya anggap sesuatu yang menyedihkan ternyata hanya suatu perasaan
semu yang sifatnya relatif, temporer, dan bukan inti permasalahannya. Mengapa
saya sampai sedih itu baru suatu pemikiran yang lebih penting dibandingkan larut
dalam kesedihan itu sendiri. Akhirnya, nalar akan membimbing pemikiran kritis
kita untuk memahami apa yang selama ini kita rasakan bahkan kita yakini sebagai
kebenaran bisa saja keliru. Swt mewarisi bakat bidan dari Mbah Mi (ibunda dari
Swt) dan menerapkankan teknik pembidanan Socrates.
Urip Nguripi
Swt yang Socrates selesai. Sekarang bagaimana dengan Socrates yang
njawani? Tanpa mengenal dari dekat Swt, dari namanya saja setiap orang pasti
menduga Suwito pasti berasal dari Jawa, meskipun sebenarnya dari tanah (tidak
hanya Swt, kita pun semua berasal dari tanah, bukan?) Seandainya pembaca
sempat berdialog dengan Swt maka dugaan itu pasti akan memperkuat keyakinan
bahwa Suwito itu dari Jawa.
Yang menarik justru keyakinan kuat Swt bahwa “Hidup itu Nyala” (urip iku
urup). Bila diibaratkan api, maka api tersebut menerangi/memberi manfaat bagi
sekitarnya. Hidup baginya adalah semangat. Semangat untuk menerangi memberi
pencerahan dan hidup yang bermanfaat. Meski topik ini tidak pernah kami
diskusikan, namun perjalanan hidup dan kiprah Swt jelas merefleksikan
keyakinannya tersebut. Hidup bagi Swt tidak hanya nyala/semangat tetapi harus
juga bisa menghidupi (urip nguripi). Menghidupi dalam hal ini tidak hanya
memberi kehidupan yang lebih baik tetapi lebih dari itu. Kehidupan yang bermakna.
Swt sangat memegang teguh falsafah Jawa ini dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Swt sangat njawani.
Tibalah saya pada suatu kesimpulan. Swt adalah Socrates (itu). Swt sangat
njawani. Suwito itu Socrates yang sangat njawani. Tidak peduli apakah penarikan
kesimpulan tersebut benar atau tidak. Paling tidak saya ingin mengatakan betapa
bangganya UIN memiliki Suwito, seorang “Socrates” yang jenius, pemikir yang
kritis, sekaligus arsitek pendidikan yang visioner namun tetap menjunjung nilainilai
religius dan nilai-nilai luhur budaya lokal daerahnya. Teriring doa untuk
guruku, Suwito, semoga Allah senantiasa menjadikanmu rahmat bagi semesta.
Jakarta, 14 Februari 2016. 03.57
2202amalswt/mohadamhesa/2016
Ucapan Selamat dan Komentar
392 | Mungkin Segalanya Mungkin
Foto para tamu dengan Mbah Rasemi
Foto bersama keluarga Sukolilo dan Sorkam Sibolga di Kampung Utan