Kamis, 18 Februari 2016

Manajemen Pendidikan Islam



MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (Perspektif A.Malik Fadjar)
 Oleh:  Dr. Muh. Idris, M.Ag. §
Abstrak
Perubahan dan pembaharuan lembaga pendidikan Islam merupakan suatu keharusan yang tidak terelakkan, dan harus diantisipasi. Tetapi pelaksanaannya tidak sekali jadi, melainkan perlu tahapan-tahapan secara terpadu, yang merangkum aspek kefilsafatan, masukan, proses, dan keluarannya. Setiap tahap yang dilalui perlu dievaluasi dan dikritisi. Fungsi dan peran manajemen perubahan dan pembaharuan lembaga pendidikan Islam itu sangat penting dan mementukan kelangsungan masa depannya. Adanya perubahan dan pembaruan itu secara tidak langsung memberi perspektif baru manajemen lembaga pendidikan Islam. Artinya membuka dan menuntut kinerja yang relevan dengan gagasan baru dalam kerangka pengelolaan di seluruh jajaran lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini manajemen perubahan dan pembaruan lembaga pendidikan Islam itu ditempuh melalui tiga intervensi, yaitu a) restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi; b) sosialisasi budaya organisasi moderen; dan c) reformulasi strategi organisasi dalam mengelola perubahan dan pembaruan. Restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi dalam lembaga pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha untuk merumuskan  kembali pola atau struktur organisasi dan hubungan antar unit serta sistem atau mekanisme di dalam organisasi dengan menciptakan kembali prosedur dan tata kerja yang jelas, sehingga fungsi-fungsi dalam organisasi dapat berjalan dengan efisiensi dan efektif. Sedangkan sosialisasi  budaya organisasi modern ditempuh melalui model kepemimpinan yang terbuka dan demokratis. Adapun reformulasi strategi organisasi ditempuh lewat penyegaran dan penajaman visi, misi, dan aksi (langkah-langkah) menuju sasaran perubahan dan pembaharuan.

Kata kunci: pembaharuan pendidikan, manajemen, pendidikan Islam

A. Pengantar
            Semenjak dasawarsa 70-80-an, bersamaan dengan lahirnya kebijakan pemerintah Orde Baru tentang pembangunan (PELITA), maka terjadi suasana perubahan dan pembaharuan di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Di tubuh lembaga pendidikan Islam ditandai dengan keluarnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri) tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah. Untuk IAIN dikeluarkannya kebijakan Menteri Agama tentang peningkatan mutu yang berupa menghidupkan suasana keilmuan, pengelompokkan fakultas cabang, seminar dan simposium, penelitian, bahasa asing, studi purna sarjana dan proyek doktor. Sedangkan untuk pondok pesantren, berupa pemberian pendidikan dan latihan keterampilan.[1]
            Adanya perubahan dan pembaruan itu secara tidak langsung memberi perspektif baru manajemen lembaga pendidikan Islam. Artinya membuka dan menuntut kinerja yang relevan dengan gagasan baru dalam kerangka pengelolaan di seluruh jajaran lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini manajemen perubahan dan pembaruan lembaga pendidikan Islam itu ditempuh melalui tiga intervensi, yaitu a) restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi; b) sosialisasi budaya organisasi moderen; dan c) reformulasi strategi organisasi dalam mengelola perubahan dan pembaruan.
Restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi dalam lembaga pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha untuk merumuskan  kembali pola atau struktur organisasi dan hubungan antar unit serta sistem atau mekanisme di dalam organisasi dengan menciptakan kembali prosedur dan tata kerja yang jelas, sehingga fungsi-fungsi dalam organisasi dapat berjalan dengan efisiensi dan efektif. Sedangkan sosialisasi  budaya organisasi modern ditempuh melalui model kepemimpinan yang terbuka dan demokratis. Adapun reformulasi strategi organisasi ditempuh lewat penyegaran dan penajaman visi, misi, dan aksi (langkah-langkah) menuju sasaran perubahan dan pembaharuan. [2]
Perubahan dan pembaharuan lembaga pendidikan Islam merupakan suatu keharusan yang tidak terelakkan, dan harus diantisipasi. Tetapi pelaksanaannya tidak sekali jadi, melainkan perlu tahapan-tahapan secara terpadu, yang merangkum aspek kefilsafatan, masukan, proses, dan keluarannya. Setiap tahap yang dilalui perlu dievaluasi dan dikritisi. Fungsi dan peran manajemen perubahan dan pembaharuan lembaga pendidikan Islam itu sangat penting dan mementukan kelangsungan masa depannya. Dalam hal ini prinsip-prinsip yang harus diacu adalah shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Keempat sifat tersebut melekat pada Rasulullah. Sedangkan operasionalnya mengacu pada perubahan dan pembaharuan yang sesuai dengan perkembangan iptek.[3] Pendidikan pada hakekatnya menyangkut masa depan, peradaban manusia dan proses humanisasi (memanusiakan manusia), maka manajemen merupakan keharusan yang harus diterapkan dan dilaksanakan dalam segala institusi termasuk pada lembaga pendidikan.
B. Pengertian Manajemen
Manajemen secara umum dipahami sebagai proses untuk mencapai serangkaian cita-cita dan tujuan organisasi melalui aktivitas bersama dengan menggerakkan, memobilisasi atau mengaktifkan seluruh sumber daya manusia spiritual dan materil, guna kelangsungan dalam memajukan usaha dan mendapatkan nilai tambah yang berdampak luas. Pencapaian itu akan ditengarai oleh keefektifan, efisiensi,  inovasi,  dan  pemegang  peran  yang  bertanggung jawab.  Ini juga mengandung arti seni bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dan disepakati bersama.[4]
Manajemen pada prinsipnya adalah mengelola. Manajemen bukan hanya ilmu tapi juga seni dalam menangani permasalahan pendidikan. Pendidikan itu sangat dinamis yang terus mengalami pertumbuhan, perubahan dan juga menuntut pembaharuan sistem, ability dan kelangsungan hidupnya (kesinambungannya). Atas dasar itulah dalam mengelola kebijakan pendidikan harus berbasis pada lingkungan geografis, sosial budaya, ekonomi, tradisi, agama dan sebagainya.
Perbaikan manajemen pendidikan diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah sebagai unit pelaksanaan terdepan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar sekolah lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat mengembangkan iklim kompetitif antar sekolah di wilayahnya, serta bertanggung jawab terhadap stakeholders[5]  pendidikan, khususnya orang tua dan masyarakat yang di era otonomi ini akan menjadi dewan sekolah. Dalam pelaksanaannya, manajemen pendidikan harus lebih terbuka, accountable,[6] mengoptimalkan partisipasi orang tua dan masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia di sekolah dan lingkungannya untuk digunakan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu pendidikan pada umumnya.

C. Manajemen Pendidikan Islam
Menurut A.Malik Fadjar bahwa dalam menjalankan lembaga pendidikan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1).Niat yang baik dan manajemen yang baik mulai dari perencanaannya, pengorganisasian dan hingga yang lainnya. 2).Kerja keras, dan 3).Modal atau dana.[7] Niat yang baik saja tidak cukup melainkan memerlukan langkah stretegis dan dinamis dalam kerangka manajemen yang baik dan profesional.
Upaya menyelenggarakan dan memajukan pendidikan (kuantitas dan kualitas), menuntut adanya profesionalisme dan networking secara berke­lanjutan, baik ke "dalam" maupun ke "luar". Artinya menuntut diterapkannya "prinsip-prinsip manajemen" yang mampu menggerakkan dan memanfaatkan seluruh sumber (idil, personil dan materiil), dan mengelolanya  menjadi kekuatan rill untuk merevitalisasi pendidikan Islam. Seluruh sumber yang dimiliki dan yang ada di luar dihimpun menjadi "sinergi" positif dengan mengacu pada sistem profesionalisme dan networking yang produktif, menguntungkan dan menjanjikan berba­gai pihak. Kreatifitas manusia diperlukan untuk melawan kecenderungan yang serba pasif dan rutin. Langkah­-langkah yang disertai harapan akan mampu menembus dan menghasilkan yang lebih jauh dari yang diren­canakan atau diprediksikan. Caranya antara lain dengan menerapkan sistem perencanaan, pengorganisasian dan kepemimpinan yang berorientasi pada jiwa dan sema­ngat kewiraswastaan, lingkungan, dan kemajuan.[8]
Manajemen pendidikan Islam dalam kon­teks profesionalisme dan networking ke dalam maupun ke luar memerlukan pijakan-pijakan yang kokoh yang mengacu pada: a).Nilai kefilsafatan, di mana di dalamnya terbentang cita-cita dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, jangka pendek, menengah dan panjang. b).Nilai masukan, di mana tersedia perangkat-perangkat lunak dan keras, termasuk kurikulum dan pende­katan-pendekatan yang perlu dibangun dan dita­ngani secara profesional dan digerakkan lewat jaringan kerjasama. c).Nilai keluaran, di mana terukur hasil pendidikan yang relevan dan mampu mendukung gerakan pendidik.[9]
Manajemen pendidikan tidak bisa mengadopsi secara utuh teori manajemen industri barang atau jasa lainnya, tetapi memiliki ciri dan karakteristik tersendiri.[10] Unsur yang dihasilkan adalah sumber daya manusia dalam kualitas tertentu. Teamworknya adalah guru yang egaliter, cenderung independent, walaupun harus tetap accountable, mitra kerjanya adalah orang tua, pemerintah, atau tokoh masyarakat yang hanya sharing pandangan, pendapat dan gagasan, lalu bersama-sama dengan kepala sekolah mengambil berbagai keputusan strategis. Setelah itu mereka pergi meninggalkan sekolah dan membiarkan kepala sekolah dengan timnya mengatur pelaksanaan putusan mereka.[11]
Kendatipun demikian sekolah harus dikelola secara propesional, yakni kepala sekolah dan unsur pimpinan lainnya harus memiliki kemampuan teknis dalam pendidikan dan memiliki kemampuan manajerial sehingga bisa memberikan layanan terbaik bagi client-nya, apalagi dalam konteks peningkatan performa sekolah yang tidak cukup dengan mempermegah sarana fisik, serta konsep kurikulum yang baik, tetapi juga harus diimbangi dengan manajemen yang visioner, inovatif, dan  terus menerus dalam perbaikan secara bertahap, menuju kualitas ideal.[12]
Pentingnya manajemen yang efektif dalam organisasi pendidikan semakin banyak mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Sekolah dan perguruan tinggi akan lebih efektif dalam memberikan pendidikan yang baik pada siswa atau mahasiswanya jika mereka ter-manage dengan baik. Mutu kepemimpinan dan manajemen merupakan salah satu variable terpenting untuk membedakan  antara sekolah yang berhasil dan yang tidak.[13]
Kebanyakan perguruan tinggi sekarang mengakui perbaikan mutu terus menerus adalah esensial agar tetap survive dan berhasil. Keberhasilan ini didukung oleh pelaksanaan manajemen mutu terpadu. Mutu terpadu adalah sebuah filosofi dengan alat-alat dan proses-proses implementasi praktis yang ditujukan untuk mencapai sebuah kultur perbaikan terus menerus yang digerakkan oleh semua pekerja sebuah organisasi dalam rangka memuaskan pelanggan.[14]
Implikasi utama dari manajemen mutu ini adalah:
  1. Penekanan pada totalitas yang mencakup staf pendukung, staf pengajar dan dosen
  2. Terdapat pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan implikasinya pada kepemimpinan dan tipe manajemen
  3. Terdapat sebuah proses perencanaan yang mengantarkan kepada implementasi praktis
  4. Alat-alat dan proses yang mencakup pengawasan dan evaluasi yang lebih menekankan kepada pencegahan daripada inspeksi
  5. Perhatian diberikan kepada pelanggan daripada kebutuhan penyedia layanan. Pelanggan terdiri dari pelanggan eksternal yaitu siswa dan orang tua dan pelanggan internal yaitu staf.[15]
 Pengembangan pendidikan Islam bukanlah pekerjaan sederhana, karena memerlukan perencanaan secara terpadu dan menyeluruh. Dalam hal ini perencanaan berfungsi membantu menfokuskan pada sasaran, pengalokasian dan kontinuitasnya. Dan sebagai suatu proses berpikir untuk menentukan apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, siapa yang ingin mengadakannya dan kapan dilaksanakannya, maka perencanaan juga perlu kejelasan terhadap masa depan yang ingin dicapai maupun di hadapinya. Oleh karena itu dalam perencanaan ada semboyan: luck is the result of good planning, and good planning is the result of information will Aplied.[16]
Karena itu kalau kita menatap masa depan pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan peran strategis dan diperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara fundamental dan menyeluruh seperti yang berkaitan dengan: Pertama, kejelasan antara yang dicita-­citakan dengan langkah-langkah operasionalnya. Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya. Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan sistem pengelolaannya atau manajemennya. Dengan langkah-langkah ini diharapkan pendidikan Islam dapat berperan lebih artikulatif di masa yang akan datang.[17]
Sebagai contoh perbandingan dapat dilihat manajemen yang dilakukan oleh A.Malik Fadjar ketika memimpin perguruan tinggi swasta yang bergengsi di daerah Malang-Jawa Timur. Kiprah beliau yang cukup lama dalam memimpin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yaitu dalam rentang waktu 3 (tiga) kali periode kepemimpinannya telah memerankan banyak hal yang membawa kemajuan perguruan tinggi ini dalam mewujudkan visi dan misi yang diembannya.
Universitas Muhammadiyah Malang didirikan sejak awal tahun 1965 atas prakarsa tokoh-tokoh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Malang. Dalam prosesnya sudah mengalami beberapa pergantian kepemimpinan, termasuk A.Malik Fadjar sebagai seseorang yang pernah memimpin perguruan tinggi ini. A.Malik Fadjar memulai karirya di UMM tahun 1976, yaitu sebagai tenaga dosen atas ajakan dari Mohammad Kasiram (Dekan Fakultas Ilmu Sosial) pada waktu itu. Belum genap tiga tahun di UMM, untuk beberapa tahun -pertengahan tahun 1979-1981- jabatan sebagai dosen di nonaktifkan dulu karena beliau akan melanjutkan studinya ke Amerika.[18]
Setelah selesai dari studinya di Amerika, pertengahan tahun 1981 dengan menyandang gelar Master of Science (MSc), ia kembali ke kampusnya bekerja sebagai dosen IAIN Sunan Ampel Malang. Tapi, suasana di IAIN tak jauh berbeda dengan saat ia berangkat ke negeri Paman Sam dua tahun sebelumnya. Budaya primordialisme dan semangat faksionisme telah menyebabkan IAIN jauh dari budaya akademik rasional professional. Ia juga menemukan UMM tetap dalam kondisi memprihatinkan. Mencerminkan perguruan tinggi yang belum berdaya secara maksimal, jumlah mahasiswanya sedikit, hanya sekitar 500 orang, sebagian dosen dan tenaga administrasinya konon menggunakan UMM sebagai obyek sampingan, jauh dari profesional. Tidak cukup memahami bahwa orientasi kemahasiswaan harus lebih diutamakan, bahkan sebagian pejabat birokratnya menjadi birokrat yang angker.[19]
Gambaran suasana di atas merupakan tantangan besar bagi A. Malik Fadjar. Kemampuannya akan teruji dengan menghadapi masalah-masalah tersebut. Sentuhan tangan dan keprofesionalannya akan dibuktikan. Memang beliau adalah seorang pendidik yang layak ditiru, apa yang beliau dapatkan dari hasil belajar di luar negeri menjadikan dia semakin matang pemikirannya, semakin visioner, dan ia berpikir lebih kepada hal-hal yang strategis bagaimana memajukan pendidikan Islam dan UMM.
Dalam pandangan A. Malik Fadjar bahwa yang dimaksud dengan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi Islam, bukan sekedar lembaga pendidikan tinggi yang berlabelkan Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al-Irsyad, atau yang mengidentifikasi dengan tokoh-tokoh Islam seperti KH Achmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, lbnu Khaldun, dan lain-lain. Juga bukan sekedar lembaga pendidikan tinggi yang di dalamnya menyajikan studi tentang keislaman.
Lebih dari itu, selain berlabelkan Islam dan di dalamnya menyajikan studi tentang keislaman, perguruan tinggi tersebut dalam gerak langkah dan nafasnya selalu di jiwai oleh roh dan nilai-nilai yang terpancar dari ajaran Islam. Misalnya menggunakan manajemen yang adil dan jujur, mengisi jabatan sesuai kemampuan orangnya atau profesionalitas. Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad Saw. apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya (fantadzirus­sya'ah).[20]
Pandangan A.Malik Fadjar di atas lebih mengedepankan subtansi Islam, meskipun tanpa harus dikemas dengan diformalkan atau dilabel dengan Islam. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhadjir Effendy bahwa A.Malik Fadjar lebih cenderung kepada nilai subtantif daripada label-label keislaman. Artinya didahulukan nilai subtantif ketimbang keislamannya.[21] Pemikiran-pemikiran tersebut yang akan dijalankan olehnya dalam mewujudkan lembaga pendidikan Islam yang respresentatif dan memadai. Dalam upaya tersebut, A.Malik Fadjar sangat senang ketika diajak untuk membantu dalam membesarkan UMM karena melihatnya sebagai peluang untuk merealisasikan pemikirannya dalam memajukan lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi Islam.[22]
Tahun 1983 A.Malik Fadjar ditunjuk menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik menggantikan Sofyan, tapi jabatan ini hanya beberapa bulan saja karena dalam pemilihan Rektor ia terpilih sebagai pemenang. Sesuai permintaanya sewaktu dicalonkan yaitu menentukan sendiri personel stafnya, maka setelah terpilih ia memilih sendiri kabinet (pembantu rektor)-nya. Hal ini mutlak dilakukan karena tanpa kebebasan membentuk tim kerja yang solid, akan sulit membangun. Saat mulai jadi Rektor, kondisi perguruan tinggi ini sangat menyedihkan meski sudah berumur hampir 20 tahun. "Hidup segan mati tak mau," kata A. Malik Fadjar, melukiskan kondisi UMM saat itu. Banyak julukan yang kurang bersahabat bagi UMM, karena di artikan sebagai universitas morat marit dan universitas mondar mandir yang menggambarkan bahwa perguruan tinggi ini dalam kondisi tidak representatif, baik proses akademik maupun manajemennya. Saat pergantian rektor dari Muhammad Kasiram ke A. Malik Fadjar Kondisi UMM tidak begitu menggembirakan.[23]
 Dengan kondisi demikian, menjadikan A.Malik Fadjar makin merasa tertantang dan ingin secepatnya memperbaiki dan membangun UMM agar dapat disejajarkan dengan perguruan tinggi lainnya yang sudah baik. Untuk itu sebagai bagian dari pengorbanannya A.Malik Fadjar mengagunkan sertifikat tanah dan ijazahnya kepada bank agar mendapatkan pinjaman untuk UMM. Niat dan tekad yang baik dalam memajukan UMM merupakan motivasi yang terus memompa semangatnya untuk terus berjuang mewujudkan UMM menjadi pergaruan tinggi yang baik. Seperti dikatakan oleh Iin Nurmarini (anak ke dua A. Malik Fadjar), dalam Anwar Hudijono, “Darah Guru Darah Muhammadiyah” bahwa Bapak memang ingin UMM menjadi besar. Bapak memiliki obsesi UMM menjadi seperti California State University, [24] tempat Bapak kuliah. Gagasan besar pasti akan mendapat tantangan dan rintangan  berat. Dan bila dilalui membuat orang semakin kuat  dan besar.
 Langkah yang dilakukan yaitu merumuskan gagasan-gagasan atau cita-cita besar yang berdimensi jauh ke depan, menyangkut persoalan mau ke mana UMM di bawa. Untuk itu, ia lantas mengundang sejumlah tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap masa depan UMM. Mereka berkumpul setiap rabu pagi di kampus I Jln. Bandung tak kurang dari 12 orang yang mengikuti ajang diskusi tesebut. Manajemen yang dibangun A. Malik Fadjar dalam membangun UMM adalah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Konsolidasi Tiga Aspek
Setelah memperoleh gambaran yang cukup memadai tentang arah dan cita-cita yang hendak di capai UMM, A.Malik Fadjar kemudian melakukan pentahapan dalam mengelola perguruan tinggi ini yaitu tahap konsolidasi, pembangunan fisik, dan pembangunan akademik. Tahap konsolidasi ini merupakan upaya untuk menata dan membangun niat, pikiran, dan mengkonsentrasikan seluruh potensi dan mengeliminir semua tantangan dan hambatan dalam rangka mencapai tujuan yang di cita‑citakan. Tahap konsolidasi meliputi tiga aspek yaitu konsolidasi ideal, struktural, dan personal.
Konsolidasi ideal merupakan upaya A.Malik Fadjar untuk membangkitkan kesadaran bersama para civitas akademika UMM, terutama para pimpinannya, untuk menyatukan pandangan, tekad, cita-cita, wawasan serta kesepakatan secara terpadu akan makna perguruan tinggi Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan tinggi dan amal usaha Muhammadiyah. Konsolidasi ideal juga berarti mengembangkan dan menata kembali strategi perjuangan sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil senantiasa bersifat strategis, efektif dan efesien. Konsolidasi struktural menyangkut perampingan organisasinya sehingga menjadi lancar. Pos-pos yang bersifat formalitas dan memperpanjang rantai birokrasi yang bisa menghamburkan energi dan dana harus di pangkas.
Sedangkan konsolidasi personal terutama menyangkut pembentukan disiplin, etos kerja, dan komitmen para pengelolanya semua level. Konsolidasi ketiga aspek mendasar ini di ikuti dengan penertiban bidang administrasi akademik, keuangan maupun oprasional. Termasuk menyatukan manajemen tunggal dari kampus I dan II, yang sebelumnya berdiri sendiri. Tentu saja pada awalnya A.Malik Fadjar menghadapi tantangan berat. Tapi dengan piawai A. Malik Fadjar akhirnya berhasil melewati masa-masa kritis ini. Konsolidasi tiga aspek itu harus dilakukan dari waktu ke waktu, terutama selama periode pertama kepemimpinannya tahun 1983‑1986. [25]
2. Luwes, Dialogis dan Tegas
Sebagai Rektor, A. Malik Fadjar dalam memimpin UMM mengembangkan tipologi gaya kepemimpinan yang luwes, dialogis, dan menghilangkan sekat-sekat birokrasi, tetapi ia juga bisa keras (tegas) terutama untuk melindungi kepentingan dan keselamatan yang luas. Imam Suprayogo menyatakan bahwa A. Malik Fadjar sangat keras terhadap orang yang tidak jujur, sebab menurut dia UMM harus dibangun di atas kejujuran. Kerusakan dalam suatu organisasi atau gerakan sering kali bermula dari ketidakjujuran. Kalau para pemimpin sudah tidak jujur, tidak bakal umat mempercayai lembaga yang di pimpinnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Syafi’i Ma’arif yang menyatakan bahwa A.Malik Fadjar terkadang juga bergaya keras, malah sampai terkesan otoriter. Tetapi karena berhasil, sehingga tidak mendapat kritikan.[26]
3. Mempercepat Pertumbuhan
Setelah berhasil melakukan tahap kosolidasi tiga aspek di atas, langkah selanjutnya yaitu memacu pertumbuhan UMM dengan melakukan pembangunan fisik mulai dari tampilan gedung yang megah, suasana perkuliahan yang nyaman, status jurusan atau program studi menjadi daya tarik utama bagi calon mahasiswa baru. Kemudian agar UMM mempunyai kewibawaan akademik maka dibuatlah program peningkatan mutu dosen dengan melakukan perekrutan dosen tetap, pemburuan besar-besaran terhadap dosen tetap melalui jalur TID (Tunjangan Ikatan Dinas).
4. Membangun Citra
Pembangunan fisik dan akademik memang memiliki arti besar bagi pertumbuhan UMM. Tapi tugas yang tak kalah strategisnya adalah membangun citra positif (image building) bagi keberadaan UMM, sehingga perguruan tinggi ini menjadi perhitungan dalam perbincangan perguruan tinggi swasta maupun Islam. Untuk mendukung pembentukan citra positif tersebut perlu adanya suasana yang stabil di dalam UMM itu sendiri, yaitu menghindari intrik dan konflik yang menjatuhkan citra UMM yang sudah dibangun dengan susah payah dan kerja keras. Muhadjir Effendy menyatakan bahwa A. Malik Fadjar selalu menegaskan agar setiap kritik di jawab dengan hasil kerja nyata. Tidak usah di tanggapi dengan lisan. Dengan begitu, kita sebenarnya membangun budaya kerja.[27]
Termasuk dalam kerangka membangun citra positif yaitu melakukan penertiban sejumlah media kampus, penyelenggaraan seminar atau simposium yang mengundang tokoh-tokoh keliber nasional maupun internasional, promosi melalui media masa, maupun pernyataan-pernyataan cerdas dari pemimpinnya.
5. Kampus Terpadu
Strategi pembangunan UMM yang dijalankan A. Malik Fadjar berada pada jalan yang benar. Kerjanya membuahkan hasil. Buktinya baru tiga tahun memimpin jumlah mahasiswanya melonjak tajam dari sekitar 500 menjadi 3.000 orang. Beliau memandang semua itu merupakan amanah dan modal yang sangat penting bagi UMM untuk melangkah ke depan, merealisasikan cita-cita besarnya yaitu menjadikan UMM menjadi pergururuan tinggi yang mengemban misi ganda keislaman dan keilmuan.
Atas dasar itu, untuk menunjang tujuan tersebut pada tahun 1988 dibangunlah Kampus III. Kampus ini sangat respresentatif untuk perkuliahan. Sarana dan fasilitas perkuliahan sangat memadai. Bagaimanapun kemegahan fisik yang dimiliki UMM dengan Kampus III-nya tidak ada artinya kalau civitas akademika yang ada tidak menjunjung tinggi budaya keilmuan karena hanya menjadi formalisme semata dan jauh dari cita-cita bersama yaitu UMM menjadi The Real University.[28]
Sebagaimana yang dinyatakan oleh A.Malik Fadjar bahwa model manajemen yang dibangun dalam mengembangkan UMM dengan melakukan gerak simultan tiga hal yaitu: 1.gerak ideologi untuk membangun cita-cita kedepan, 2.organisasi dan struktur dibenahi, 3.personil memberi PT yang jelas mengenai masa depan. Sering saya katakan niat baik tidak cukup tanpa disertai manajemen yang baik. Jadi Manajemen di sini dalam dalam arti yang luas. Model manajemen yang paling penting adalah menggerakkan seluruh potensi yang ada baik bersifat orang human resources maupun materi  resources.[29]
Menurut Imam Suprayogo ada tiga potensi yang membangun UMM Malang yang dipimpin A.Malik Fadjar, di antaranya saya (Imam Suprayogo) (PR.I), Sukiyanto (PR.II), dan Muhadjir Effendy (PR.III).  Ketiga potensi ini memiliki cita-cita yang sama. A.Malik Fadjar merangkul potensi-potensi ini untuk bekerjasama dalam membangun dan mengembangkan UMM. Kekuatan-kekuatan tersebut kemudian bergerak dan sangat bagus hasilnya karena adanya kebersamaan. A.Malik Fadjar sangat liberal dalam memberikan kesempatan, peluang untuk mengembangkan diri guna kemajuan lembaga. Jiwa demokrasi itulah yang dimiliki A.Malik Fadjar untuk bekerja dalam membangun UMM. Andaikan A.Malik Fadjar otoriter atau birokrasi loyalitas, kaku, maka hasilnya tidak demikian. [30]
Lebih lanjut Imam Suprayogo menyatakan bahwa dengan teori kebersamaan  dalam membangun kekuatan, maka perubahan yang dahsyat bisa dilakukan manakala menemukan momentumnya dan ada kekuatan-kekuatan lain ketika itu muncul secara berbarengan. Tiga orang itu tidak saja memiliki kekuatan intelektual atau kemudian kemampuan memenej di bidangnya masing-masing tapi lebih dari itu bertemunya cita-cita/impian-impian bersama itulah menjadi kekuatan yang dahsyat dalam membangun UMM. Impian tersebut adalah bagaimana UMM ini bisa disebut orang, itu saja, tidak berlebih-lebihan menjadi lembaga yang terbaik. Imam Suprayogo menuturkan bahwa A.Malik Fadjar ketika itu menjadi Sekretaris Fakultas, -sekarang selevel dengan  kabag TU-, di STAIN Malang belum sampai menjadi Dekan, beliau telah melakukan peran-peran yang lebih dari itu tapi tidak kelihatan,  karena A.Malik Fadjar belum menemukan momentumnya yaitu bertemu dengan orang untuk diajak seperti yang tiga orang itu. Karena itu hasilnya tidak serevolusioner di UMM kerena belum menemukan partner.[31] 
Menurut A.Malik Fadjar bahwa strategi dalam memimpin suatu lembaga sebetulnya sederhana sekali yaitu sesuai dengan makna menajemen itu sendiri yaitu bekerja membawa seluruh dengan semua potensi yang ada menuju suatu titik tujuan yang hendak dicapai dan ahli manajemen menyebutnya yaitu menangani atau bekerja dengan seluruh komponen untuk mencapai cita-cita yang dirintis bersama.[32]
A.Malik Fadjar menyatakan bahwa hakikat perguruan tinggi adalah sebuah komunitas sosial yang ekslusif, karena anggota-anggotanya berwatak, berpikiran dan bersikap akademik. Bukan kumpulan sarjana atau para sarjana yang melakukan kompromitas intelektual di bawah gedung-gedung megah yang serba wah.[33] Ungkapan tersebut merupakan komitmen beliau dalam memajukan dan membesarkan UMM, artinya mutu dan profesionalisme adalah hal yang harus mendapat perhatian besar semua warga UMM, dimana budaya keilmuan yang tinggi adalah prasyarat pencapaian tujuan tersebut.
Kesuksesan kepemimpinan A. Malik Fadjar dalam memajukan UMM Malang dikuatkan dengan adanya mitra dan partner yang memiliki cita-cita yang sama. Bila Nabi memiliki empat sahabat dalam memajukan dan mengembangkan Islam, dan semuanya jadi pemimpin (khalifah), maka A.Malik Fadjar memiliki tiga kawan dalam membangun dan mengembangkan UMM Malang dan juga semuanya jadi rector kecuali Sukiyanto karena meninggal terlebih dahulu. Ini bermakna bahwa dalam memperjuangkan kepentingan sosial kemasyarakatan disamping memiliki potensi pribadi tersendiri, juga memerlukan kawan yang potensial dalam mewujudkan cita-cita dan harapan masayarakat secara luas. Dan perkawanan tersebut tidak terlalu banyak sehingga dapat dimenej secara efisien dan efektif dan juga dapat mewarisi jiwa dan semangat kepemimpinan sebagai generasi pelanjut. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Muhadjir Effendy yang menyatakan bahwa A.Malik Fadjar memiliki kemampuan manajerial terdepan, jeli menentukan orang untuk dijadikan partner dan melakukan yang terbaik. [34]
Imam Suprayogo mengakui bahwa A.Malik Fadjar ketika menjadi Sekretaris Fakultas (sekarang kabag TU), di STAIN Malang, telah malakukan peran-peran yang lebih dari itu tapi tidak kelihatan, karena A.Malik Fadjar belum menemukan momentumnya bertemu dengan orang untuk diajak. Karena itulah tidak serevolusioner di UMM kerena belum menemukan partner. Teori kebersamaan membangun kekuatan bahwa orang bisa melakukan perubahan dahsyat manakala menemukan momentumnya dan ada kekuatan-kekuatan lain ketika itu muncul secara berbarengan. Tiga orang itu tidak saja memiliki kekuatan intelektual atau kemudian kemampuan memenej di bidangnya masing-masing tapi lebih dari itu bertemunya cita-cita bersama itulah yang menjadi kekuatan dalam membangun UMM. A.Malik Fadjar tidak bisa sendiri membangun kelembagaan.[35] Kesuksesan A.Malik Fadjar tersebut membuatnya semakin maju dan mendapat tempat sampai ke tingkat Nasional.
Kemudian beliaupun mendapatkan amanah menjadi Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam (1996-1998) Ia telah melakukan pembaruan madrasah dan pengembangan IAIN. Berbagai upaya yang ditujukan untuk peningkatan mutu, memperluas kesempatan belajar, peningkatan relevansi, memantapkan manajemen Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebagai bagian dari gerakan nasional Wajib Belajar Sembilan Tahun. Demikian juga pada jenjang pendidikan menengah, berbagai terobosan telah dilakukan untuk memantapkan Madrasah Aliyah (MA) antara lain pengembangan Madrasah Aliyah Model, Madrasah Aliyah Keterampilan di seluruh wilayah tanah air, merasionalisasi organisasi Perguruan Tinggi Agama Islam yaitu merubah fakultas cabang dari IAIN menjadi STAIN.[36] Hal tersebut memungkinkan fakultas cabang tersebut berdiri sendiri dan berkembang. Pada kelanjutannya perubahan IAIN menjadi UIN adalah untuk merespon perkembangan global. Yaitu Perguruan tinggi Islam di bawah naungan DEPAG sebagai bagian integral dari pendidikan Nasional dituntut mampu mempertimbangkan perubahan transisi social, ekonomi, politik nasional dan global. Langkah strategis dan futuristik A. Malik Fadjar bukanlah hal yang baru. Ia menyatakan bahwa ia hanya melakukan rekontruksi dan reformulasi pemikiran pada funding father sejak zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Kita memang harus melakukan think and rethink "[37]
Dilihat dari penilaian UNDP atau program dari pembangunan PBB memberikan data bahwa "indeks pembangunan manusia Indonesia menempati peringkat 102 dari 164 di dunia. Indonesia berada di antara negara-negara Afrika seperti Somalia, Urganda juga negara-negara Asia seperti Kamboja dan Myanmar."[38] karena
Data tersebut menunjukkan keterpurukan dan kemerosotan yang menimpa pendidikan nasional bahkan SDM di Indonesia belum memadai, oleh karena itu perlu dukungan anggaran yang memadai  melalui  sistem yang kuat dalam mengembangkan sains secara nasional dan praksis penerapannya dalam bentuk teknologi. Keterpurukan dan kemerosotan pendidikan bangsa ini tidak lepas dari kondisi sosial yang mempengaruhinya. Di antaranya adalah: Pertama, krisis ekonomi yang belum kunjung selesai. Kedua, pendidikan nasional masih berorientasi untuk pemerataan dan pemberantasan buta huruf. Ketiga, Alokasi anggaran pendidikan nasional yang masih minim.[39]
Pada masa kepemimpinan, setelah membaca dan memahami kondisi seperti di atas ditambah suasana di DEPDIKNAS sendiri yang dirasakan A.Malik Fadjar dalam kondisi yang kumuh dan menyesakkan, maka dilakukan seperti rangkaian pemikiran dan strateginya sebagaimana pengalaman A.Malik Fadjar dalam mengembangkan dan membesarkan UMM termasuk di Depag. Manajemen yang dibangun dalam membenahi Departemen Pendidikan Nasional yang diterapkan adalah hal-hal sebagai berikut: 1).Membangun suasana dialogis dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. 2).Memberikan penguatan akan keteladanan sebagaimana simbol Pendidikan Nasional yaitu Tut Wuri Handayani. 3). Membangun hubungan partnership dan konsultatif dalam kerangka otonomi daerah.
Selain itu A. Malik Fadjar banyak memberi tanggung jawab secara mandiri lembaga perguruan tinggi swasta.[40] Ujian Negara dan legalisasi ijazah ditiadakan. Penerimaan mahasiswa baru diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing sekolah/perguruan tinggi. Oleh karena itu UMPTN, Ebtanas, atau sebangsanya yang ada selama ini tidak diperlukan. Menata kurikulum agar lebih  professional dan fungsional dalam pengembangan keahlian tidak recehan.[41]
Di samping itu menaikkan tunjangan fungsional guru 100-150 persen, mengesahkan berubahnya beberapa IAIN menjadi UIN, disahkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pembaruan di bidang manajemen kelembagaan di lingkungan Depdiknas. Seperti digerakkannya Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP), pelaksanaan Ujian Nasional (UN), dihapuskannya ebtanas dan diluncurkannya Televisi Pendidikan (TPI), pada Selasa 12 Oktober 2004. Dengan berlakunya kebijakan ini diharapkan lembaga pendidikan dapat lebih berdaya dan memberdayakan ke depan.
Perbaikan manajemen pendidikan secara luas diarahkan untuk lebih memberdayakan lembaga pendidikan sebagai unit pelaksanaan terdepan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimaksudkan agar lembaga pendidikan Islam lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat mengembangkan iklim kompetitif antar lembaga pendidikan di wilayahnya, serta bertanggung jawab terhadap stakeholders[42]  pendidikan, khususnya orang tua dan masyarakat yang di era otonomi ini akan menjadi kontrol pada proses pengembangan pendidikan. Dalam pelaksanaannya manajemen pendidikan harus lebih terbuka, accountable,[43]mengoptimalkan partisipasi orang tua dan masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia di sekolah dan lingkungannya untuk digunakan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu pendidikan pada umumnya.
Sejalan dengan gagasan tersebut di atas lembaga pendidikan Islam yang di beberapa negara di dunia dituntut untuk menjadi "manajemen mandiri". Perubahan kebijakan dan administrasi pendidikan ini mencerminkan suatu reposisi kekuasaan dari kewenangan lebih tinggi (pusat) ke lebih rendah (sekolah) dalam kaitannya dengan kurikulum, alokasi anggaran dan sumber daya, staf dan siswa, dan dalam beberapa hal penilaian. Tema yang muncul bagi reformasi ke arah manajemen berbasis sekolah adalah kemampuan yang diperlihatkan dalam menghasilkan pelbagai macam peningkatan kualitatif bagi pendidikanyang lebih efektif.[44] Oleh karena itu desentralisasi harus memberikan: a).Peningkatan efektifitas keputusan berkaitan dengan kebijakan pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun sistem, b).Manajemen sekolah dan leadership pendidikan yang meningkat. c).Ketentuan penggunaan sumber daya lebih efisien. d).Kualitas pengajaran yang meningkat. e).Pengembangan kurikulum yang lebih sesuai dengan tuntutan sosial dan tenaga kerja di masa mendatang. f).Menghasilkan outcomes (hasil) siswa yang meningkat.[45]
Membina sebuah perguruan tinggi adalah membina orang-orang. Oleh karena itu, manajemen modern dan futuristik merupakan kebutuhan mendasar dalam mengantarkan dosen dan mahasiswa ke arah perubahan hidup dan kehidupan yang lebih layak. Sebab, membangun perguruan tinggi adalah membangun manusia profesional-intelektul dalam hal bagaimana mereka mampu bergaul di tengah-tengah komunitas global secara dinamis, kreatif, dan inovatif. [46] Mengatur manusia membutuhkan kerja sungguh-sungguh yang sustainable, bukan instan dan dalam kurun waktu yang singkat. Akhirnya, manajemen adalah kunci utama kesuksesan diri dan sosial manusia.
Menurut A.Malik Fadjar untuk merekonstruksi UIN ke masa depan sesuai tujuan yang dirumuskan dan disepakati bersama membutuhkan sebuah seni manajemen. A.Malik Fadjar mengungkapkan, “To manage business is to manage its future, and to manage the future is to manage information. Luck is the result of good planning and good planning is the result of information well applied”.[47]
Manajemen UIN harus benar-benar mampu mengakomodasi aspek-aspek ideal, struk­tural, personal, sosial, dan operasional sebuah perguruan tinggi yang menjanjikan masa depan. Telaah kritis dan padu secara konsisten terhadap nilai-nilai kefilsafatan (educational philosop­hies), unsur-unsur masukan (educational inputs), proses pendidikan (educational processes), dan unsur-unsur keluaran (educational aoutputs/outcomes) harus segera di-(de/re) konstruksi secara profesional bagi pemajuan UIN.
Untuk menuju Perguruan Tinggi bergengsi menuntut sistem dan model-model manajemen yang lebih modern. Apa yang sering disebut-sebut dengan sistem komputerisasi yang mendukung berkembangnya sistem informasi dan manajemen (SIM) dan sistem jaringan kerja (network system), mau tidak mau, perlu dirintis untuk kemajuan pendidikan, baik kualitatif maupun kuantitatif. Model manajemen modern ini juga meniscayakan pemahaman yang signifikan bagi adanya pemaknaan pendidikan sebagai human capital, yang diperhitungkan secara ekonomis (rate of return), yang menuntut profesionalisme secara utuh.[48]
Keberhasilan ini lanjut Azyumardi Azra karena interaksi intelektual dan sosial A.Malik Fadjar sangat luas, meskipun A.Malik Fadjar berasal dari fakultas Tarbiyah di Malang cabang Surabaya tapi A.Malik Fadjar aktif pada berbagai macam organisasi: aktif di Muhammadiyah, ICMI, HMI, pernah menjadi ketua Badko. Ini yang membuat interaksi intelektual sosialnya sangat luas. Dan ini kemudian yang mempengaruhi perspektif A. Malik Fadjar dalam menggagas dan melaksanakan modernisasi pendidikan Islam.[49]
Apa yang diusahakan A.Malik Fadjar dalam memajukan UMM dan UMS merupakan salah satu nilai yang bisa dibanggakan. Dari sebuah perguruan tinggi yang tidak pernah dilirik orang menjadi perguruan tinggi yang menarik kerumunan umat untuk memasukkan anak-anaknya ke sana. Dari kampus yang tidak memiliki gedung sendiri dan terkesan kumuh sampai kini menjadi kampus paling megah dan elite bila disandingkan dengan kampus-kampus di sekitarnya. Dari program akademik yang kurang menjanjikan masa depan sampai kepada program akademik yang mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki competitive advantage di era global.
Konsep dasar manajemen yang membebaskan yang dibangun oleh A.Malik Fadjar dari pola lama menuju pola baru cenderung memberikan daya inovasi dan  kreativitas,[50] sebagai berikut:

Pola lama
Menuju
Pola baru
- Subordinasi
------>
- Otonomi
-Pengambilan keptsan terpusat
------>
-Pengambilan keptusn partisipasi
- Ruang gerak kaku
------>
- Ruang gerak luwes
- Pendekatan birokratik
------>
- Pendekatan Profesional
- Sentralistik
------>
- Desentralistik
- Diatur
------>
- Motivasi diri
- Overregulasi
------>
- Deregulasi
- Mengontrol
------>
- Mempengaruhi
- Mengarahkan
------>
- Memfasilitasi
- Menghindar Resiko
------>
- Mengelola resiko
- Gunakan uang semuanya
------>
-Gunakan yg. seefisien mungkin
- Individu yang cerdas
------>
- Informasi terbagi
- Informasi terpribadi
------>
- Pemberdayaan
- Pendelegasian
------>
- Organisasi datar
- Organisasi herarkis
------>
-Organisasi Konsultatif
Mengacu pada pola dimensi tersebut di atas, bahwa lembaga pendidikan Islam dalam pengembangan manajemen yang membebaskan akan lebih mandiri,[51] dan fungsional kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sementara itu menurut Sutjipto, manajemen pendidikan sama dengan manajemen masjid. Model pengelolaan mesjid dapat diadopsi untuk mengatur pendidikan maupun sekolah. Dalam manajemen masjid, persoalan dan rencana dibicarakan bersama masyarakat sehingga semua orang merasa terlibat. Masyarakat dengan suka rela memberikan sumbangan karena merasa yakin bantuan yang diberikan benar-benar untuk kepentingan pembangunan Masjid. Masyarakat tanpa ragu-ragu mengulurkan tangan karena pengelolaan masjid diyakini sesuai dengahn yang direncanakan. Sumbangan dan bantuan yang mereka salurkan, sesuai dengan arah yang ingin dituju. Di situ ada transparansi, ada pertanggungjawaban dan ada akuntabilitas.[52]
Ini berbeda dengan praktek pendidikan selama ini. Dalam pengelolaan sekolah, misalnya, masih ada ketidakpercayaan dari masyarakat kepada pengelola sekolah. Masalahnya banyak pengelola sekolah yang tidak terbuka. Masyarakat tidak mengetahui penggunaan sumbangan yang mereka berikan kepada sekolah. Ketidakpercayaan kepada lembaga pendidikan berbuntut pada kurangnya partisipasi masyarakat. Sekolah menjadi sulit berkembang. Sekolah menjadi sulit memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik. Kondisi itu antara lain, menyebabkan pendidikan di negeri ini tidak maju-maju.[53]
Kesimpulan
Adanya perubahan dan pembaruan itu secara tidak langsung memberi perspektif baru manajemen lembaga pendidikan Islam. Artinya membuka dan menuntut kinerja yang relevan dengan gagasan baru dalam kerangka pengelolaan di seluruh jajaran lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini manajemen perubahan dan pembaruan lembaga pendidikan Islam itu ditempuh melalui tiga variabel, yaitu a) restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi; b) sosialisasi budaya organisasi moderen; dan c) reformulasi strategi organisasi dalam mengelola perubahan dan pembaruan.
Restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi dalam lembaga pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha untuk merumuskan  kembali pola atau struktur organisasi dan hubungan antar unit serta sistem atau mekanisme di dalam organisasi dengan menciptakan kembali prosedur dan tata kerja yang jelas, sehingga fungsi-fungsi dalam organisasi dapat berjalan dengan efisiensi dan efektif. Sedangkan sosialisasi  budaya organisasi modern ditempuh melalui model kepemimpinan yang terbuka dan demokratis. Adapun reformulasi strategi organisasi ditempuh lewat penyegaran dan penajaman visi, misi, dan aksi (langkah-langkah) menuju sasaran perubahan dan pembaharuan.

DAFTAR PUSTAKA

Bush, Tony dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic Management in Education, T.t, t.pn, t.th

Duhou, Ibtisam Abu, School-Based Management,  diterjemah  Noryamin Aini, dkk, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2002

Fadjar A. Malik, “Profesionalisme dan Networking: Upaya Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, dalam Said Tuhuleley dan M. Afnan (Peny.), Mencari Format Baru Pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jakarta: Majelis Diktilitbang PP.Muhammadiyah, 2003

-------, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

-------, Pidato (Mendiknas) ketika berkunjung ke IPB Bogor pada final pemilihan Rektor baru 2002-2007, http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-Desember/000728. html. Tangal 09 Mei 2007
.
-------, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, Jakarta: INTI, 2008

http/ilmupendidikan.blogspot.Com /2007 05 01 archive.html. Tanggal 19 Desember 2007

http://www.ssep.net/director.html, tanggal 19 Desember 2007.

Hudijono, Anwar dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, Jakarta: Kompas, 2006

Idris,  Muhammad, Manajemen Berbasis Sekolah, Jurnal  Iqra’ Vol. 3. Tahun 2007

Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2007

Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina, 2001

Sutjipto, Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa Turun Ke Jalan (Bunga Rampai Sketsa Pendidikan), Jakarta: PT Global Mahardika Netama & UNJ, 2004

Wawancara dengan A.Malik Fadjar di Sekolah Pascasarjana UIN, tanggal 14 Maret 2008

Wawancara dengan Muhadjir Effendy di ruang Rektor UMM, Malang, tanggal 25 Maret 2008

Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, tanggal 20 Mei 2008

Wawancara pribadi dengan Imam Suprayogo di Ruang Rektor UIN Malang, tanggal 27 Maret 2008




§Dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah dan Keguruan di STAIN Manado
[1] A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, (Jakarta: INTI, 2008), h. 191
[2] A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, h. 191-192
[3] A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, h. 192
[4] A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, (Jakarta: INTI, 2008), h. 41-42
                [5] Stakeholders adalah pihak yang ikut andil dan bertanggung jawab.
                [6] Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, pengembangan pendidikan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas MBS dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas MBS yaitu; a) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu; b)kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah; c)prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan; d) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional. Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 19-20. Lihat pula http://www.ssep.net/director.html, tanggal 19 Desember 2007.
[7] Wawancara dengan A.Malik Fadjar di Sekolah Pascasarjana UIN, tanggal 14 Maret 2008
[8]A.Malik Fadjar, “Profesionalisme dan Networking: Upaya Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, dalam Said Tuhuleley dan M. Afnan (Peny.), Mencari Format Baru Pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, (Jakarta: Majelis Diktilitbang PP.Muhammadiyah, 2003), h.90
[9]A.Malik Fadjar, “Profesionalisme dan Networking: Upaya Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, dalam Said Tuhuleley dan M. Afnan (Peny.), Mencari Format Baru Pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah,  h.90
[10]Tony Busy sebagaimana yang diungkapkan oleh Dede Rosyada menyatakan bahwa manajemen pendidikan memiliki karaketristik yang membedakannya dengan manajemen layanan jasa lainnya, di antaranya adalah: 1) tujuan dari lembaga pendidikan berbeda dengan layanan jasa lainnya, dan tidak mudah untuk didefinisikan dibanding dengan manajemen perdagangan umpanya, karena pendidikan bertugas mendidik anak-anak agar memiliki berbagai nilai, bahkan kepercayaan yang semuanya sukar untuk diukur. Beda dengan perdagangan, berapa barang terjual dan berapa keuntungannya. Kendati demikian banyak aspek dari hasil pendidikan yang mudah dan bisa diukur, kendati banyak pula yang sukar untuk mengukurnya. 2) dalam pendidikan aspek tujuan termasuk yang sukar pula di ukur tingkat ketercapaiannya, apakah tujuan pendidikan itu telah tercapai atau belum saatseorang siswa telah menyelesaikan  pendidikannya paada jenjang dan jenis tertentu. 3) anak-anak atau siswa sebagai vocal point dari pendidikan justru menjadi ambiguistik, karena di satu sisi mereka adalah client yang harus memperoleh pelayanan terbaik, namun di sisi lain mereka diharapkan  dikembangkan dan diubah karakteristiknya dengan penanaman nilai-nilai baru. Kemudian dari itu pula siswa adalah manusia yang tidak mudah untuk dibentuk yang berbeda dengan benda atau barang. 4) Kepala sekolah dan guru berasal dari kalangan profesi yang sama. Oleh sebab itu  sebagai profesional guru biasa menuntut otonomi dalam pelaksanaan proses pembelajaran  bagi siswa-siswanya. Dengan demikian sistem  koordinasi antara guru dan kepala sekolah berbeda dengan koordinasi antara atasan dan bawahan dalam sebuah instansi pemerintah atau perusahaan yang bergerak  dalam bidang industri barang atau jasa lainnya. 5) Pengambilan keputusan sekolah senantiasa dipengaruhi oleh unsur-unsur  agensi luar seperti perwakilan orang tua, perwakilan pemerintah, politisi dan unsure lainnya. Keragaman unsur yang terlibat ini akan menyulitkan kepala sekolah  dalam mendistribusikan tanggung jawab terhadap putusan-putusan yang dihasilkan rapat sekolah karena unsurt yang mempengaruhi pengambilan keputusan  justru tidak berada dalam jajaran manajemen. 6) Kesibukan kepala sekolah dalam mengajar. Banyak senior manejer hanya memilik waktu yang sangat sedikit untuk manajerial karena sibuk dengan tugas mengajar. Lihat Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 223
[11] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, h. 224
[12] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, h. 224-225
[13] Tony Bush dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic Management in Education, (T.t, t.pn, t.th), h. 15-16
[14] Tony Bush dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic Management in Education, h.191-192
[15] Tony Bush dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic Management in Education, h.192
[16] Maknanya dapat dipahami bahwa keberuntungan adalah hasil dari perencanaan yang baik dan perencanaan yang baik adalah hasil dari informasi akan diterapkan. Jadi hal tersebut tergantung dari informasi yang di akses, semakin banyak informasi dan dikelola dengan baik maka dapat menghasilkan sesuatu yang baik pula. A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 9
[17] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,  h. 11
[18] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 86. Keberangkatan beliau ke Amerika dalam rangka studi tidak terlepas dari pergumulannya dengan Mukti Ali (Menteri Agama RI), yang membawa A. Malik Fadjar berkenalan dengan Yayasan Ford Foundation, dan atas beasiswa dari yayasan ini A. Malik Fadjar melanjutkan studinya ke Florida State University. Ia mengambil Magister Manajemen Pendidikan, jurusan yang sesuai dengan minat dan pilihannya karena cita-cita besarnya sebagai pendidik sejati yang akan memajukan pendidikan nasional khususnya untuk kemajuan pendidikan Islam.
[19] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 86
[20] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 93
[21] Wawancara pribadi dengan Muhadjir Effendy di Ruang Rektor UMM di Malang, tanggal  25 Maret 2008
[22] Wawancara pribadi dengan Muhadjir Effendy di Ruang Rektor UMM di Malang, tanggal  25 Maret 2008
[23] Kondisi UMM ketika pergantian adalah sebagai berikut: 1.Fakultas-fakultas dan setatusnya; a)Fakultas Tarbiyah berstatus diakui ((DEPAG) untuk program sarjana muda, sedangkan program sarjana dalam proses terdaftar. b)Fakultas Ilmu sosial yang mempunyai jurusan-kesejateraan sosial, dengan status terdaftar baik untuk program sarjana muda maupun sarjana. c)FKIP yang mempunyai jurusan pendidikan umum/kurikulum dan teknologi pendidikan, status terdaftar untuk program sarjana muda. Sedangkan program sarjana belum memiliki status.d)Fakultas hukum status terdaftar untuk program sarjana muda. Fakultas ekonomi, dengan jurusan ekonomi manajemen status terdaftar untuk program sarjana muda e)Fakultas pertanian, jurusan agronomi (Budi daya pertanian) berstatus terdaftar untuk program sarjana muda. 2.Jumlah mahasiswa saat itu sekitar 600 orang. 3.Jumlah tenaga pengajar/dosen tetap 6 orang dari pemerintah, sisanya berstatus tidak tetap. 4.Tenaga administratif sebanyak kurang lebih 25 orang, semuanya berstatus tidak tetap. Dan kebanyakan merangkap di perguruan tinggi lain, sehingga kerjanya hanya sore hari. 5.Sarana dan fasilitas administrasi serta akademis sangat minim. 6.Kondisi fisik (bangunan kampus); a)Kampus I (jln bandung I malang) digunakan secara bergantian dengan MTS Muhamaddiyah dan SMEA MM. b)Kampus 11 (Jln. Bendungan Sutami 188 A Malang.) digunakan secara bergantian dengan SMP, SMA dan STM M. 7.Kekayaan; a) Kekayaan tidak bergerak berupa tanah satu hektar dan 1400 m2. b) Kendaraan berupa satu cold disel dengan status kredit. c) Keuangan Nihil (baik kas maupun rekening bank), dan dalam bentuk piutang dari SPP mahasiswa yang jumlahnya tidak jelas. 8. Manajemen UMM saat itu terpecah-pecah lantaran kampus I dan kamus II mempunyai otonomi sendiri-sendiri, baik dalam administrasi, pengelolaan keuangan, penggajian dan lain-lain. Lihat, Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 96-98.
[24] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 101. Cita-cita yang besar dan luhur akan mendapat tantangan yang berat dan membuat seseorang pusing dan stres berat pula. Secara edukasi bukan stres dan pusingnya tapi seberapa banyak dan kuatnya kita memiliki daya  tahan dalam memenej tantangan tersebut. Dalam dunia pendidikan sesorang akan menghadapi dan menangani sejuta pusing dan stres di lapangan.  Dengan demikian seseorang yang mampu memenej gulma (gangguan) tersebut   dan melewatinya  dengan baik akan semakin dibesarkan dan dikuatkan  dalam sejarah peradaban manusia. Tapi bila tidak  akan digilas dan digulung dalam sejarah.
[25] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 103
[26] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 105
[27] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 113
[28] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 216
[29] Konsultasi/wawancara dengan A.Malik Fadjar di SPs UIN Jakarta, tanggal 22 April 2008
[30] Wawancara pribadi dengan Imam Suprayogo di Ruang Rektor UIN Malang, tanggal 27 Maret 2008
[31] Wawancara pribadi dengan Imam Suprayogo di Ruang Rektor UIN Malang, tanggal 27 Maret 2008. Hal tersebut menarik untuk dikembangkan bahwa membangun cita-cita demi kepentingan umat memerlukan perkawanan yang setia dalam mewujudkan impian yang mulia itu dan tim tersebut tidak terlalu banyak, sehingga bisa dikontrol dengan baik. Sebagaimana A.Malik Fadjar dibangun di atas tiga kekuatan, tidak saja memiliki kekuatan intelektual atau kemudian kemampuan memenej di bidangnya masing-masing tapi lebih dari itu, yaitu ketemunya cita-cita bersama itulah menjadi kekuatan yang dahsyat dalam membangun UMM.  A. Malik Fadjar tidak bisa sendiri membangun kelembagaan. Dimanapun di dunia ini tidak ada akselerasi kesuksesan yang fantastic dengan ksendirian, pasti didasari dengan persahabatan demi mewujudkan harapan yang riil, sebagaimana Nabi Saw.
[32] Wawancara dengan A.Malik Fadjar, di Sekolah Pascasarjana UIN, tanggal 14 Maret 2008
[33] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 116
[34] Wawancara dengan Muhadjir Effendy di ruang Rektor UMM, Malang, tanggal 25 Maret 2008
[35] Wawancara pribadi dengan Imam Suprayogo di ruang rektorat di Malang, tanggal 27 Maret 2008.
[36] Keputusan  Presiden No. 11 Tahun 1997 yang menetapkan fakultas cabang di lingkungan IAIN berubah menjadi STAIN.
[37] Wawancara dengan  A.Malik Fadjar, di Sekolah Pascasarjana UIN, tanggal 14 Maret 2008
[38] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 248
[39] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 256
[40] SK No. 184/U/2001. Tanggal 23 November 2001
[41] Pidato A.Malik Fadjar (Mendiknas) ketika berkunjung ke IPB Bogor pada final pemilihan Rektor baru 2002-2007, http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-Desember/000728. html. Tangal 09 Mei 2007. Pemikiran A.Malik Fadjar dari aspek kurikukum harus diotonomikan, bukan kurikulum yang bersifat “recehan” (kepingan-­kepingan ilmu yang tak berdasarkan telaah ilmiah). Di lain sisi A.Malik Fadjar membahasakan kinerja pada dunia pendidikan (PT.)  di tanah air agar tidak berlaku  ibarat ”toko kelontong”, yang menjual semua produk mereka yang justru jauh dari fondasi akademik. Dengan diberikannya wewenang agar kurikulum lebih independent yang bersifat luas dan lues. Sehingga pendidikan lebih krteatif, inovatif, fleksibel dan produktif. Mata pelajaran yang dikembangkan dalam wilayah otonomi pendidikan lebih bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidisipliner, interdisipliner dan transdisipliner.
[42] Stakeholders adalah pihak yang ikut andil dan bertanggung jawab pada proses pendidikan.
                [43] Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, pengembangan pendidikan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas MBS dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas MBS yaitu; a) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu; b)kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah; c)prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan; d) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional. Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 19-20. Lihat pula http://www.ssep.net/director.html, tanggal 19 Desember 2007.
[44] Muh. Idris,  Manajemen Berbasis Sekolah, Jurnal  Iqra’ Vol. 3. Tahun 2007
                [45]Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management,  diterjemah  Noryamin Aini, dkk, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2002), h. 127-128
                [46] A. Malik  Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 44. Pendidikan ber­wawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan ke­mampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna me­masuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang ber­langsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan kemajuan masyarakat dunia.
[47] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 42. Semangat manajemen itulah yang memberdayakan kualitas masyarakat dengan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai kualitas intelektual itulah yang telah hidup, menghidupi, dan mengarahkan kehidupan masyarakat kini dan masa depan.
[48] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.43. Usaha yang sangat spektakuler dari A. Malik Fadjar ketika Universitas Muhammadiyah Malang berkibar dan mencorong pada masa itu. Dalam suasana seperti itu maind set  berfikir pendidikan semakin dinamis dan kompetitif. Sungguh bila ummat Islam memang bermaksud merebut peranan sejarahnya kembali dalam percaturan dunia. Maka kerja pertama  yang harus dibenahi adalah dunia pendidikan Islam, khususnya pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi Islam harus mampu mencip­takan lingkungan akademik yang kondusif bagi lahirnya cendekia-cendekia yang berfikir kreatif, otentik dan orisinal. Semangat tersebut telah dilakukan A. Malik Fadjar guna menciptakan  generasi-generasi Islam  ke depan, yang dapat dan mampu memenuhi logika persaingan ke depan.
[49] Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, tanggal 20 Mei 2008
[51]Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a)Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah; b)Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko); c)Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya; d)Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; e)Komitmen yang tinggi pada dirinya; f)Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a)Pekerjaan adalah miliknya;  b)Bertanggung jawab;  c)Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya;  d)Mengetahui poisisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya; e)Pekerjaan merupakan bagian hidupnya. Lihat http/ilmupendidikan.blogspot.Com /2007 05 01 archive.html. Tanggal 19 Desember 2007
[52] Sutjipto, Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa Turun Ke Jalan (Bunga Rampai Sketsa Pendidikan), (Jakarta: PT Global Mahardika NEtama & UNJ, 2004), h. 94
[53] Sutjipto, Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa Turun Ke Jalan (Bunga Rampai Sketsa Pendidikan), h. 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar