MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (Perspektif A.Malik Fadjar)
Abstrak
Perubahan dan pembaharuan
lembaga pendidikan Islam merupakan suatu keharusan yang tidak terelakkan, dan
harus diantisipasi. Tetapi pelaksanaannya tidak sekali jadi, melainkan perlu
tahapan-tahapan secara terpadu, yang merangkum aspek kefilsafatan, masukan,
proses, dan keluarannya. Setiap tahap yang dilalui perlu dievaluasi dan
dikritisi. Fungsi dan peran manajemen perubahan dan pembaharuan lembaga
pendidikan Islam itu sangat penting dan mementukan kelangsungan masa depannya.
Adanya perubahan dan pembaruan itu secara tidak langsung memberi perspektif
baru manajemen lembaga pendidikan Islam. Artinya membuka dan menuntut kinerja
yang relevan dengan gagasan baru dalam kerangka pengelolaan di seluruh jajaran
lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini manajemen perubahan dan pembaruan
lembaga pendidikan Islam itu ditempuh melalui tiga intervensi, yaitu a)
restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi; b) sosialisasi budaya
organisasi moderen; dan c) reformulasi strategi organisasi dalam mengelola
perubahan dan pembaruan. Restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi dalam
lembaga pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha untuk merumuskan kembali pola atau struktur organisasi dan
hubungan antar unit serta sistem atau mekanisme di dalam organisasi dengan
menciptakan kembali prosedur dan tata kerja yang jelas, sehingga fungsi-fungsi
dalam organisasi dapat berjalan dengan efisiensi dan efektif. Sedangkan
sosialisasi budaya organisasi modern
ditempuh melalui model kepemimpinan yang terbuka dan demokratis. Adapun reformulasi strategi organisasi ditempuh lewat
penyegaran dan penajaman visi, misi, dan aksi (langkah-langkah) menuju sasaran
perubahan dan pembaharuan.
Kata
kunci: pembaharuan pendidikan, manajemen, pendidikan Islam
A. Pengantar
Semenjak dasawarsa 70-80-an,
bersamaan dengan lahirnya kebijakan pemerintah Orde Baru tentang pembangunan
(PELITA), maka terjadi suasana perubahan dan pembaharuan di berbagai sektor,
termasuk sektor pendidikan. Di tubuh lembaga pendidikan Islam ditandai dengan
keluarnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Menteri Dalam Negeri) tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.
Untuk IAIN dikeluarkannya kebijakan Menteri Agama tentang peningkatan mutu yang
berupa menghidupkan suasana keilmuan, pengelompokkan fakultas cabang, seminar
dan simposium, penelitian, bahasa asing, studi purna sarjana dan proyek doktor.
Sedangkan untuk pondok pesantren, berupa pemberian pendidikan dan latihan
keterampilan.[1]
Adanya perubahan dan pembaruan itu
secara tidak langsung memberi perspektif baru manajemen lembaga pendidikan
Islam. Artinya membuka dan menuntut kinerja yang relevan dengan gagasan baru
dalam kerangka pengelolaan di seluruh jajaran lembaga pendidikan Islam. Dalam
hal ini manajemen perubahan dan pembaruan lembaga pendidikan Islam itu ditempuh
melalui tiga intervensi, yaitu a) restrukturisasi dan refungsionalisasi
organisasi; b) sosialisasi budaya organisasi moderen; dan c) reformulasi
strategi organisasi dalam mengelola perubahan dan pembaruan.
Restrukturisasi dan refungsionalisasi organisasi dalam lembaga pendidikan
Islam dimaksudkan sebagai usaha untuk merumuskan kembali pola atau struktur organisasi dan
hubungan antar unit serta sistem atau mekanisme di dalam organisasi dengan
menciptakan kembali prosedur dan tata kerja yang jelas, sehingga fungsi-fungsi
dalam organisasi dapat berjalan dengan efisiensi dan efektif. Sedangkan
sosialisasi budaya organisasi modern
ditempuh melalui model kepemimpinan yang terbuka dan demokratis. Adapun reformulasi strategi organisasi
ditempuh lewat penyegaran dan penajaman visi, misi, dan aksi (langkah-langkah)
menuju sasaran perubahan dan pembaharuan. [2]
Perubahan dan pembaharuan lembaga pendidikan Islam merupakan suatu
keharusan yang tidak terelakkan, dan harus diantisipasi. Tetapi pelaksanaannya
tidak sekali jadi, melainkan perlu tahapan-tahapan secara terpadu, yang
merangkum aspek kefilsafatan, masukan, proses, dan keluarannya. Setiap tahap
yang dilalui perlu dievaluasi dan dikritisi. Fungsi dan peran manajemen
perubahan dan pembaharuan lembaga pendidikan Islam itu sangat penting dan
mementukan kelangsungan masa depannya. Dalam hal ini prinsip-prinsip yang harus
diacu adalah shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Keempat sifat tersebut
melekat pada Rasulullah. Sedangkan operasionalnya mengacu pada perubahan dan
pembaharuan yang sesuai dengan perkembangan iptek.[3] Pendidikan pada hakekatnya menyangkut masa depan, peradaban manusia dan
proses humanisasi (memanusiakan manusia), maka manajemen merupakan
keharusan yang harus diterapkan dan dilaksanakan dalam segala institusi
termasuk pada lembaga pendidikan.
B.
Pengertian Manajemen
Manajemen secara umum dipahami sebagai proses untuk mencapai serangkaian
cita-cita dan tujuan organisasi melalui aktivitas bersama dengan menggerakkan,
memobilisasi atau mengaktifkan seluruh sumber daya manusia spiritual dan
materil, guna kelangsungan dalam memajukan usaha dan mendapatkan nilai tambah
yang berdampak luas. Pencapaian itu akan ditengarai oleh keefektifan,
efisiensi, inovasi, dan
pemegang peran yang
bertanggung jawab. Ini juga
mengandung arti seni bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan
dan disepakati bersama.[4]
Manajemen pada prinsipnya adalah mengelola. Manajemen bukan hanya ilmu tapi
juga seni dalam menangani permasalahan pendidikan. Pendidikan itu sangat
dinamis yang terus mengalami pertumbuhan, perubahan dan juga menuntut
pembaharuan sistem, ability dan kelangsungan hidupnya
(kesinambungannya). Atas dasar itulah dalam mengelola kebijakan pendidikan
harus berbasis pada lingkungan geografis, sosial budaya, ekonomi, tradisi,
agama dan sebagainya.
Perbaikan manajemen pendidikan
diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah sebagai unit pelaksanaan terdepan
dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar sekolah
lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat mengembangkan iklim kompetitif antar
sekolah di wilayahnya, serta bertanggung jawab terhadap stakeholders[5] pendidikan, khususnya orang tua dan
masyarakat yang di era otonomi ini akan menjadi dewan sekolah. Dalam
pelaksanaannya, manajemen pendidikan harus lebih terbuka, accountable,[6] mengoptimalkan partisipasi orang tua dan
masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia di sekolah
dan lingkungannya untuk digunakan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi
siswa dan mutu pendidikan pada umumnya.
C. Manajemen
Pendidikan Islam
Menurut A.Malik Fadjar bahwa dalam menjalankan lembaga pendidikan ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1).Niat yang baik
dan manajemen yang baik mulai dari perencanaannya, pengorganisasian dan hingga
yang lainnya. 2).Kerja keras, dan 3).Modal
atau dana.[7] Niat yang baik saja tidak cukup melainkan
memerlukan langkah stretegis dan dinamis dalam kerangka manajemen yang baik dan
profesional.
Upaya
menyelenggarakan dan memajukan pendidikan (kuantitas dan kualitas), menuntut
adanya profesionalisme dan networking secara berkelanjutan, baik ke
"dalam" maupun ke "luar". Artinya menuntut diterapkannya
"prinsip-prinsip manajemen" yang mampu menggerakkan dan memanfaatkan
seluruh sumber (idil, personil dan materiil), dan mengelolanya menjadi kekuatan rill untuk merevitalisasi pendidikan
Islam. Seluruh sumber yang dimiliki dan yang ada di luar dihimpun menjadi
"sinergi" positif dengan mengacu pada sistem profesionalisme dan networking yang produktif,
menguntungkan dan menjanjikan berbagai pihak. Kreatifitas manusia diperlukan
untuk melawan kecenderungan yang serba pasif dan rutin. Langkah-langkah yang
disertai harapan akan mampu menembus dan menghasilkan yang lebih jauh dari yang
direncanakan atau diprediksikan. Caranya antara lain dengan menerapkan sistem
perencanaan, pengorganisasian dan kepemimpinan yang berorientasi pada jiwa dan
semangat kewiraswastaan, lingkungan, dan kemajuan.[8]
Manajemen
pendidikan Islam dalam konteks profesionalisme dan networking ke dalam maupun ke luar memerlukan
pijakan-pijakan yang kokoh yang mengacu pada: a).Nilai kefilsafatan, di mana di
dalamnya terbentang cita-cita dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, jangka
pendek, menengah dan panjang. b).Nilai masukan, di mana tersedia
perangkat-perangkat lunak dan keras, termasuk kurikulum dan pendekatan-pendekatan
yang perlu dibangun dan ditangani secara profesional dan digerakkan lewat
jaringan kerjasama. c).Nilai keluaran, di mana
terukur hasil pendidikan yang relevan dan mampu mendukung gerakan pendidik.[9]
Manajemen
pendidikan tidak bisa mengadopsi secara utuh teori manajemen industri barang
atau jasa lainnya, tetapi memiliki ciri dan karakteristik tersendiri.[10] Unsur yang dihasilkan adalah sumber daya
manusia dalam kualitas tertentu. Teamworknya adalah guru yang egaliter,
cenderung independent, walaupun harus tetap accountable, mitra kerjanya
adalah orang tua, pemerintah, atau tokoh masyarakat yang hanya sharing
pandangan, pendapat dan gagasan, lalu bersama-sama dengan kepala sekolah
mengambil berbagai keputusan strategis. Setelah itu mereka pergi meninggalkan
sekolah dan membiarkan kepala sekolah dengan timnya mengatur pelaksanaan
putusan mereka.[11]
Kendatipun
demikian sekolah harus dikelola secara propesional, yakni kepala sekolah dan
unsur pimpinan lainnya harus memiliki kemampuan teknis dalam pendidikan dan
memiliki kemampuan manajerial sehingga bisa memberikan layanan terbaik bagi client-nya,
apalagi dalam konteks peningkatan performa sekolah yang tidak cukup dengan
mempermegah sarana fisik, serta konsep kurikulum yang baik, tetapi juga harus
diimbangi dengan manajemen yang visioner, inovatif, dan terus menerus dalam perbaikan secara
bertahap, menuju kualitas ideal.[12]
Pentingnya
manajemen yang efektif dalam organisasi pendidikan semakin banyak mendapat
pengakuan dari berbagai pihak. Sekolah dan perguruan tinggi akan lebih efektif
dalam memberikan pendidikan yang baik pada siswa atau mahasiswanya jika mereka
ter-manage dengan baik. Mutu kepemimpinan dan manajemen merupakan salah
satu variable terpenting untuk membedakan
antara sekolah yang berhasil dan yang tidak.[13]
Kebanyakan
perguruan tinggi sekarang mengakui perbaikan mutu terus menerus adalah esensial
agar tetap survive dan berhasil. Keberhasilan ini didukung oleh
pelaksanaan manajemen mutu terpadu. Mutu terpadu adalah sebuah filosofi dengan
alat-alat dan proses-proses implementasi praktis yang ditujukan untuk mencapai
sebuah kultur perbaikan terus menerus yang digerakkan oleh semua pekerja sebuah
organisasi dalam rangka memuaskan pelanggan.[14]
Implikasi utama dari manajemen mutu
ini adalah:
- Penekanan pada totalitas yang mencakup staf pendukung, staf pengajar dan dosen
- Terdapat pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan implikasinya pada kepemimpinan dan tipe manajemen
- Terdapat sebuah proses perencanaan yang mengantarkan kepada implementasi praktis
- Alat-alat dan proses yang mencakup pengawasan dan evaluasi yang lebih menekankan kepada pencegahan daripada inspeksi
- Perhatian diberikan kepada pelanggan daripada kebutuhan penyedia layanan. Pelanggan terdiri dari pelanggan eksternal yaitu siswa dan orang tua dan pelanggan internal yaitu staf.[15]
Pengembangan pendidikan Islam bukanlah
pekerjaan sederhana, karena memerlukan perencanaan secara terpadu dan
menyeluruh. Dalam hal ini perencanaan berfungsi membantu menfokuskan pada
sasaran, pengalokasian dan kontinuitasnya. Dan sebagai suatu proses berpikir
untuk menentukan apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, siapa yang
ingin mengadakannya dan kapan dilaksanakannya, maka perencanaan juga perlu
kejelasan terhadap masa depan yang ingin dicapai maupun di hadapinya. Oleh karena itu dalam perencanaan ada semboyan: luck is the result of good planning,
and good planning is the result of information will Aplied.[16]
Karena itu kalau
kita menatap masa depan pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan
peran strategis dan diperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada
keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara
fundamental dan menyeluruh seperti yang berkaitan dengan: Pertama,
kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah-langkah operasionalnya. Kedua,
pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali
sistemnya. Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan sistem
pengelolaannya atau manajemennya. Dengan langkah-langkah ini diharapkan
pendidikan Islam dapat berperan lebih artikulatif di masa yang akan datang.[17]
Sebagai contoh perbandingan dapat
dilihat manajemen yang dilakukan oleh A.Malik Fadjar ketika memimpin perguruan
tinggi swasta yang bergengsi di daerah Malang-Jawa Timur. Kiprah beliau yang
cukup lama dalam memimpin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yaitu dalam
rentang waktu 3 (tiga) kali periode kepemimpinannya telah memerankan banyak hal
yang membawa kemajuan perguruan tinggi ini dalam mewujudkan visi dan misi yang
diembannya.
Universitas Muhammadiyah Malang
didirikan sejak awal tahun 1965 atas prakarsa tokoh-tokoh Pimpinan Daerah
Muhammadiyah (PDM) Malang.
Dalam prosesnya sudah mengalami beberapa pergantian kepemimpinan, termasuk
A.Malik Fadjar sebagai seseorang yang pernah memimpin perguruan tinggi ini.
A.Malik Fadjar memulai karirya di UMM tahun 1976, yaitu sebagai tenaga dosen
atas ajakan dari Mohammad Kasiram (Dekan Fakultas Ilmu Sosial) pada waktu itu. Belum genap tiga tahun di UMM,
untuk beberapa tahun -pertengahan tahun 1979-1981- jabatan sebagai dosen di
nonaktifkan dulu karena beliau akan melanjutkan studinya ke Amerika.[18]
Setelah selesai dari studinya di
Amerika, pertengahan tahun 1981 dengan menyandang gelar Master of Science
(MSc), ia kembali ke kampusnya bekerja sebagai dosen IAIN Sunan Ampel Malang.
Tapi, suasana di IAIN tak jauh berbeda dengan saat ia berangkat ke negeri Paman
Sam dua tahun sebelumnya. Budaya
primordialisme dan semangat faksionisme telah menyebabkan IAIN jauh dari budaya
akademik rasional professional. Ia juga menemukan UMM tetap dalam kondisi
memprihatinkan. Mencerminkan perguruan tinggi yang belum berdaya secara
maksimal, jumlah mahasiswanya sedikit, hanya sekitar 500 orang, sebagian dosen
dan tenaga administrasinya konon menggunakan UMM sebagai obyek sampingan, jauh
dari profesional. Tidak cukup memahami bahwa orientasi kemahasiswaan harus
lebih diutamakan, bahkan sebagian pejabat birokratnya menjadi birokrat yang
angker.[19]
Gambaran suasana di atas merupakan tantangan besar bagi A. Malik Fadjar.
Kemampuannya akan teruji dengan menghadapi masalah-masalah tersebut. Sentuhan
tangan dan keprofesionalannya akan dibuktikan. Memang beliau adalah seorang
pendidik yang layak ditiru, apa yang beliau dapatkan dari hasil belajar di luar
negeri menjadikan dia semakin matang pemikirannya, semakin visioner, dan ia
berpikir lebih kepada hal-hal yang strategis bagaimana memajukan pendidikan
Islam dan UMM.
Dalam pandangan A. Malik Fadjar bahwa yang dimaksud
dengan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi Islam, bukan sekedar
lembaga pendidikan tinggi yang berlabelkan Islam, seperti Muhammadiyah,
Nahdatul Ulama, Al-Irsyad, atau yang mengidentifikasi dengan tokoh-tokoh Islam seperti KH Achmad Dahlan, KH
Hasyim Asy'ari, lbnu Khaldun, dan lain-lain. Juga bukan sekedar lembaga
pendidikan tinggi yang di dalamnya menyajikan studi tentang keislaman.
Lebih dari itu, selain berlabelkan Islam dan di dalamnya menyajikan studi
tentang keislaman, perguruan tinggi tersebut dalam gerak langkah dan nafasnya
selalu di jiwai oleh roh dan nilai-nilai yang terpancar dari ajaran Islam.
Misalnya menggunakan manajemen yang adil dan jujur, mengisi jabatan sesuai
kemampuan orangnya atau profesionalitas. Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad
Saw. apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka
tunggulah saat kehancurannya (fantadzirussya'ah).[20]
Pandangan A.Malik Fadjar di atas lebih mengedepankan subtansi Islam,
meskipun tanpa harus dikemas dengan diformalkan atau dilabel dengan Islam. Hal
ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhadjir Effendy bahwa A.Malik Fadjar
lebih cenderung kepada nilai subtantif daripada label-label keislaman. Artinya
didahulukan nilai subtantif ketimbang keislamannya.[21] Pemikiran-pemikiran tersebut yang akan
dijalankan olehnya dalam mewujudkan lembaga pendidikan Islam yang
respresentatif dan memadai. Dalam upaya tersebut, A.Malik Fadjar sangat senang
ketika diajak untuk membantu dalam membesarkan UMM karena melihatnya sebagai
peluang untuk merealisasikan pemikirannya dalam memajukan lembaga pendidikan
khususnya perguruan tinggi Islam.[22]
Tahun 1983 A.Malik Fadjar ditunjuk menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik menggantikan Sofyan, tapi jabatan ini hanya beberapa bulan saja karena
dalam pemilihan Rektor ia terpilih sebagai pemenang. Sesuai permintaanya
sewaktu dicalonkan yaitu menentukan sendiri personel stafnya, maka setelah
terpilih ia memilih sendiri kabinet (pembantu rektor)-nya. Hal ini mutlak
dilakukan karena tanpa kebebasan membentuk tim kerja yang solid, akan sulit
membangun. Saat mulai jadi Rektor, kondisi perguruan tinggi ini sangat
menyedihkan meski sudah berumur hampir 20 tahun. "Hidup segan mati tak
mau," kata A. Malik Fadjar, melukiskan kondisi UMM saat itu. Banyak
julukan yang kurang bersahabat bagi UMM, karena di artikan sebagai universitas
morat marit dan universitas mondar mandir yang menggambarkan bahwa perguruan
tinggi ini dalam kondisi tidak representatif, baik proses akademik maupun
manajemennya. Saat pergantian rektor dari Muhammad Kasiram ke A. Malik Fadjar
Kondisi UMM tidak begitu menggembirakan.[23]
Dengan kondisi demikian, menjadikan A.Malik Fadjar makin merasa tertantang
dan ingin secepatnya memperbaiki dan membangun UMM agar dapat disejajarkan
dengan perguruan tinggi lainnya yang sudah baik. Untuk itu sebagai
bagian dari pengorbanannya A.Malik Fadjar mengagunkan sertifikat tanah dan
ijazahnya kepada bank agar mendapatkan pinjaman untuk UMM. Niat dan tekad yang
baik dalam memajukan UMM merupakan motivasi yang terus memompa semangatnya
untuk terus berjuang mewujudkan UMM menjadi pergaruan tinggi yang baik. Seperti dikatakan oleh Iin Nurmarini
(anak ke dua A. Malik Fadjar), dalam Anwar Hudijono, “Darah Guru Darah
Muhammadiyah” bahwa Bapak memang ingin UMM menjadi besar. Bapak memiliki
obsesi UMM menjadi seperti California State University, [24] tempat Bapak kuliah. Gagasan besar pasti
akan mendapat tantangan dan rintangan
berat. Dan bila dilalui membuat orang semakin kuat dan besar.
Langkah yang dilakukan yaitu
merumuskan gagasan-gagasan atau cita-cita besar yang berdimensi jauh ke depan,
menyangkut persoalan mau ke mana UMM di bawa. Untuk itu, ia lantas mengundang
sejumlah tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap masa depan UMM. Mereka
berkumpul setiap rabu pagi di kampus I Jln. Bandung tak kurang dari 12 orang
yang mengikuti ajang diskusi tesebut. Manajemen yang dibangun A. Malik Fadjar
dalam membangun UMM adalah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Konsolidasi Tiga Aspek
Setelah memperoleh gambaran yang cukup memadai tentang arah dan cita-cita
yang hendak di capai UMM, A.Malik Fadjar kemudian melakukan pentahapan dalam
mengelola perguruan tinggi ini yaitu tahap konsolidasi, pembangunan fisik, dan
pembangunan akademik. Tahap konsolidasi ini merupakan upaya untuk menata dan
membangun niat, pikiran, dan mengkonsentrasikan seluruh potensi dan
mengeliminir semua tantangan dan hambatan dalam rangka mencapai tujuan yang di
cita‑citakan. Tahap konsolidasi meliputi tiga aspek yaitu konsolidasi ideal,
struktural, dan personal.
Konsolidasi ideal merupakan upaya A.Malik Fadjar untuk membangkitkan
kesadaran bersama para civitas akademika UMM, terutama para pimpinannya, untuk
menyatukan pandangan, tekad, cita-cita, wawasan serta kesepakatan secara
terpadu akan makna perguruan tinggi Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan
tinggi dan amal usaha Muhammadiyah. Konsolidasi ideal juga berarti
mengembangkan dan menata kembali strategi perjuangan sehingga
kebijakan-kebijakan yang diambil senantiasa bersifat strategis, efektif dan
efesien. Konsolidasi struktural menyangkut perampingan organisasinya sehingga
menjadi lancar. Pos-pos yang bersifat
formalitas dan memperpanjang rantai birokrasi yang bisa menghamburkan energi
dan dana harus di pangkas.
Sedangkan konsolidasi personal
terutama menyangkut pembentukan disiplin, etos kerja, dan komitmen para
pengelolanya semua level. Konsolidasi ketiga aspek mendasar ini di ikuti dengan
penertiban bidang administrasi akademik, keuangan maupun oprasional. Termasuk
menyatukan manajemen tunggal dari kampus I dan II, yang sebelumnya berdiri
sendiri. Tentu saja pada awalnya A.Malik Fadjar menghadapi tantangan berat.
Tapi dengan piawai A. Malik Fadjar akhirnya berhasil melewati masa-masa kritis
ini. Konsolidasi tiga aspek itu harus dilakukan dari waktu ke waktu, terutama
selama periode pertama kepemimpinannya tahun 1983‑1986. [25]
2. Luwes, Dialogis dan Tegas
Sebagai Rektor, A. Malik Fadjar dalam memimpin UMM mengembangkan tipologi
gaya kepemimpinan yang luwes, dialogis, dan menghilangkan sekat-sekat
birokrasi, tetapi ia juga bisa keras (tegas) terutama untuk melindungi
kepentingan dan keselamatan yang luas. Imam Suprayogo menyatakan bahwa A. Malik
Fadjar sangat keras terhadap orang yang tidak jujur, sebab menurut dia UMM
harus dibangun di atas kejujuran. Kerusakan dalam suatu organisasi atau gerakan
sering kali bermula dari ketidakjujuran. Kalau para pemimpin sudah tidak jujur,
tidak bakal umat mempercayai lembaga yang di pimpinnya.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Syafi’i Ma’arif yang menyatakan
bahwa A.Malik Fadjar terkadang juga bergaya keras, malah sampai terkesan
otoriter. Tetapi karena berhasil, sehingga tidak mendapat kritikan.[26]
3. Mempercepat Pertumbuhan
Setelah
berhasil melakukan tahap kosolidasi tiga aspek di atas, langkah selanjutnya
yaitu memacu pertumbuhan UMM dengan melakukan pembangunan fisik mulai dari
tampilan gedung yang megah, suasana perkuliahan yang nyaman, status jurusan atau
program studi menjadi daya tarik utama bagi calon mahasiswa baru. Kemudian agar
UMM mempunyai kewibawaan akademik maka dibuatlah program peningkatan mutu dosen
dengan melakukan perekrutan dosen tetap, pemburuan besar-besaran terhadap dosen
tetap melalui jalur TID (Tunjangan Ikatan Dinas).
4.
Membangun Citra
Pembangunan fisik dan akademik memang
memiliki arti besar bagi pertumbuhan UMM. Tapi tugas yang tak kalah strategisnya adalah membangun
citra positif (image building) bagi keberadaan UMM, sehingga perguruan
tinggi ini menjadi perhitungan dalam perbincangan perguruan tinggi swasta
maupun Islam. Untuk mendukung pembentukan citra positif tersebut perlu adanya
suasana yang stabil di dalam UMM itu sendiri, yaitu menghindari intrik dan
konflik yang menjatuhkan citra UMM yang sudah dibangun dengan susah payah dan
kerja keras. Muhadjir Effendy menyatakan bahwa A. Malik Fadjar selalu
menegaskan agar setiap kritik di jawab dengan hasil kerja nyata. Tidak usah di
tanggapi dengan lisan. Dengan begitu, kita sebenarnya membangun budaya kerja.[27]
Termasuk dalam kerangka
membangun citra positif yaitu melakukan penertiban sejumlah media kampus,
penyelenggaraan seminar atau simposium yang mengundang tokoh-tokoh keliber nasional maupun internasional, promosi
melalui media masa, maupun pernyataan-pernyataan cerdas dari pemimpinnya.
5.
Kampus Terpadu
Strategi pembangunan UMM yang dijalankan A. Malik Fadjar berada pada jalan
yang benar. Kerjanya membuahkan hasil. Buktinya baru tiga tahun memimpin jumlah
mahasiswanya melonjak tajam dari sekitar 500 menjadi 3.000 orang. Beliau
memandang semua itu merupakan amanah dan modal yang sangat penting bagi UMM
untuk melangkah ke depan, merealisasikan cita-cita besarnya yaitu menjadikan
UMM menjadi pergururuan tinggi yang mengemban misi ganda keislaman dan
keilmuan.
Atas dasar
itu, untuk menunjang tujuan tersebut pada tahun 1988 dibangunlah Kampus III.
Kampus ini sangat respresentatif untuk perkuliahan.
Sarana dan fasilitas perkuliahan
sangat memadai. Bagaimanapun kemegahan fisik yang dimiliki UMM dengan Kampus
III-nya tidak ada artinya kalau civitas akademika yang ada tidak menjunjung
tinggi budaya keilmuan karena hanya menjadi formalisme semata dan jauh dari
cita-cita bersama yaitu UMM menjadi The Real University.[28]
Sebagaimana
yang dinyatakan oleh A.Malik Fadjar bahwa model manajemen yang dibangun dalam
mengembangkan UMM dengan melakukan gerak simultan tiga hal yaitu: 1.gerak
ideologi untuk membangun cita-cita kedepan, 2.organisasi dan struktur dibenahi,
3.personil memberi PT yang jelas mengenai masa depan. Sering saya katakan niat
baik tidak cukup tanpa disertai manajemen yang baik. Jadi Manajemen di sini
dalam dalam arti yang luas. Model manajemen yang paling penting adalah
menggerakkan seluruh potensi yang ada baik bersifat orang human resources
maupun materi resources.[29]
Menurut
Imam Suprayogo ada tiga potensi yang membangun UMM Malang yang dipimpin A.Malik
Fadjar, di antaranya saya (Imam Suprayogo) (PR.I), Sukiyanto (PR.II), dan
Muhadjir Effendy (PR.III). Ketiga
potensi ini memiliki cita-cita yang sama. A.Malik Fadjar merangkul
potensi-potensi ini untuk bekerjasama dalam membangun dan mengembangkan UMM.
Kekuatan-kekuatan tersebut kemudian bergerak dan sangat bagus hasilnya karena
adanya kebersamaan. A.Malik Fadjar sangat liberal dalam memberikan kesempatan,
peluang untuk mengembangkan diri guna kemajuan lembaga. Jiwa demokrasi itulah
yang dimiliki A.Malik Fadjar untuk bekerja dalam membangun UMM. Andaikan
A.Malik Fadjar otoriter atau birokrasi loyalitas, kaku, maka hasilnya tidak
demikian. [30]
Lebih
lanjut Imam Suprayogo menyatakan bahwa dengan teori kebersamaan dalam membangun kekuatan, maka perubahan yang
dahsyat bisa dilakukan manakala menemukan momentumnya dan ada kekuatan-kekuatan
lain ketika itu muncul secara berbarengan. Tiga orang itu tidak saja memiliki
kekuatan intelektual atau kemudian kemampuan memenej di bidangnya masing-masing
tapi lebih dari itu bertemunya cita-cita/impian-impian bersama itulah menjadi
kekuatan yang dahsyat dalam membangun UMM. Impian tersebut adalah bagaimana UMM
ini bisa disebut orang, itu saja, tidak berlebih-lebihan menjadi lembaga
yang terbaik. Imam Suprayogo menuturkan bahwa A.Malik Fadjar ketika itu menjadi
Sekretaris Fakultas, -sekarang selevel dengan
kabag TU-, di STAIN Malang belum sampai menjadi Dekan, beliau telah
melakukan peran-peran yang lebih dari itu tapi tidak kelihatan, karena A.Malik Fadjar belum menemukan
momentumnya yaitu bertemu dengan orang untuk diajak seperti yang tiga orang
itu. Karena itu hasilnya tidak serevolusioner di UMM kerena belum menemukan
partner.[31]
Menurut
A.Malik Fadjar bahwa strategi dalam memimpin suatu lembaga sebetulnya sederhana
sekali yaitu sesuai dengan makna menajemen itu sendiri yaitu bekerja membawa
seluruh dengan semua potensi yang ada menuju suatu titik tujuan yang hendak
dicapai dan ahli manajemen menyebutnya yaitu menangani atau bekerja dengan
seluruh komponen untuk mencapai cita-cita yang dirintis bersama.[32]
A.Malik
Fadjar menyatakan bahwa hakikat perguruan tinggi adalah sebuah komunitas sosial
yang ekslusif, karena anggota-anggotanya berwatak, berpikiran dan bersikap
akademik. Bukan kumpulan sarjana atau para sarjana yang melakukan kompromitas
intelektual di bawah gedung-gedung megah yang serba wah.[33] Ungkapan tersebut merupakan komitmen
beliau dalam memajukan dan membesarkan UMM, artinya mutu dan profesionalisme
adalah hal yang harus mendapat perhatian besar semua warga UMM, dimana budaya
keilmuan yang tinggi adalah prasyarat pencapaian tujuan tersebut.
Kesuksesan
kepemimpinan A. Malik Fadjar dalam memajukan UMM Malang dikuatkan dengan adanya
mitra dan partner yang memiliki cita-cita yang sama. Bila Nabi memiliki empat
sahabat dalam memajukan dan mengembangkan Islam, dan semuanya jadi pemimpin (khalifah),
maka A.Malik Fadjar memiliki tiga kawan dalam membangun dan mengembangkan UMM
Malang dan juga semuanya jadi rector kecuali Sukiyanto karena meninggal
terlebih dahulu. Ini bermakna bahwa dalam memperjuangkan kepentingan sosial
kemasyarakatan disamping memiliki potensi pribadi tersendiri, juga memerlukan
kawan yang potensial dalam mewujudkan cita-cita dan harapan masayarakat secara
luas. Dan perkawanan tersebut tidak terlalu banyak sehingga dapat dimenej
secara efisien dan efektif dan juga dapat mewarisi jiwa dan semangat
kepemimpinan sebagai generasi pelanjut. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Muhadjir Effendy yang menyatakan bahwa A.Malik Fadjar memiliki
kemampuan manajerial terdepan, jeli menentukan orang untuk dijadikan partner
dan melakukan yang terbaik. [34]
Imam Suprayogo mengakui bahwa
A.Malik Fadjar ketika menjadi Sekretaris Fakultas (sekarang kabag TU), di STAIN
Malang, telah malakukan peran-peran yang lebih dari itu tapi tidak kelihatan,
karena A.Malik Fadjar belum menemukan momentumnya bertemu dengan orang untuk
diajak. Karena itulah tidak serevolusioner di UMM kerena belum menemukan
partner. Teori kebersamaan membangun kekuatan bahwa orang bisa melakukan
perubahan dahsyat manakala menemukan momentumnya dan ada kekuatan-kekuatan lain
ketika itu muncul secara berbarengan. Tiga orang itu tidak saja memiliki
kekuatan intelektual atau kemudian kemampuan memenej di bidangnya masing-masing
tapi lebih dari itu bertemunya cita-cita bersama itulah yang menjadi kekuatan
dalam membangun UMM. A.Malik Fadjar tidak bisa sendiri membangun kelembagaan.[35] Kesuksesan A.Malik Fadjar tersebut
membuatnya semakin maju dan mendapat tempat sampai ke tingkat Nasional.
Kemudian beliaupun mendapatkan amanah menjadi Direktur Jenderal Kelembagaan
Agama Islam (1996-1998) Ia telah melakukan pembaruan madrasah dan pengembangan
IAIN. Berbagai upaya yang ditujukan untuk peningkatan mutu, memperluas
kesempatan belajar, peningkatan relevansi, memantapkan manajemen Madrasah
Ibtidaiyah (MI), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebagai bagian dari gerakan
nasional Wajib Belajar Sembilan Tahun. Demikian juga pada jenjang pendidikan
menengah, berbagai terobosan telah dilakukan untuk memantapkan Madrasah Aliyah
(MA) antara lain pengembangan Madrasah Aliyah Model, Madrasah Aliyah
Keterampilan di seluruh wilayah tanah air, merasionalisasi organisasi Perguruan
Tinggi Agama Islam yaitu merubah fakultas cabang dari IAIN menjadi STAIN.[36] Hal tersebut memungkinkan fakultas cabang
tersebut berdiri sendiri dan berkembang. Pada kelanjutannya perubahan IAIN
menjadi UIN adalah untuk merespon perkembangan global. Yaitu Perguruan tinggi
Islam di bawah naungan DEPAG sebagai bagian integral dari pendidikan Nasional
dituntut mampu mempertimbangkan perubahan transisi social, ekonomi, politik
nasional dan global. Langkah strategis dan futuristik A. Malik Fadjar bukanlah
hal yang baru. Ia menyatakan bahwa ia hanya
melakukan rekontruksi dan reformulasi
pemikiran pada funding father sejak
zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Kita memang harus melakukan think
and rethink "[37]
Dilihat dari penilaian UNDP
atau program dari pembangunan PBB memberikan data bahwa "indeks
pembangunan manusia Indonesia menempati peringkat 102 dari 164 di dunia.
Indonesia berada di antara negara-negara Afrika seperti Somalia, Urganda juga
negara-negara Asia seperti Kamboja dan Myanmar."[38] karena
Data tersebut menunjukkan
keterpurukan dan kemerosotan yang menimpa pendidikan nasional bahkan SDM di
Indonesia belum memadai, oleh karena itu perlu dukungan anggaran yang
memadai melalui sistem yang kuat dalam mengembangkan sains
secara nasional dan praksis penerapannya dalam bentuk teknologi. Keterpurukan
dan kemerosotan pendidikan bangsa ini tidak lepas dari kondisi sosial yang
mempengaruhinya. Di antaranya adalah: Pertama,
krisis ekonomi yang belum kunjung selesai. Kedua, pendidikan nasional masih
berorientasi untuk pemerataan dan pemberantasan buta huruf. Ketiga,
Alokasi anggaran pendidikan nasional yang masih minim.[39]
Pada masa kepemimpinan, setelah membaca dan memahami kondisi seperti di
atas ditambah suasana di DEPDIKNAS sendiri yang dirasakan A.Malik Fadjar dalam
kondisi yang kumuh dan menyesakkan, maka dilakukan seperti rangkaian pemikiran
dan strateginya sebagaimana pengalaman A.Malik Fadjar dalam mengembangkan dan
membesarkan UMM termasuk di Depag. Manajemen yang dibangun dalam membenahi Departemen
Pendidikan Nasional yang diterapkan adalah hal-hal sebagai berikut:
1).Membangun suasana dialogis dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.
2).Memberikan penguatan akan keteladanan sebagaimana simbol Pendidikan Nasional
yaitu Tut Wuri Handayani. 3). Membangun hubungan partnership dan
konsultatif dalam kerangka otonomi daerah.
Selain itu A. Malik Fadjar banyak memberi tanggung jawab secara mandiri
lembaga perguruan tinggi swasta.[40] Ujian Negara dan legalisasi ijazah
ditiadakan. Penerimaan mahasiswa baru diserahkan sepenuhnya kepada
masing-masing sekolah/perguruan tinggi. Oleh karena itu UMPTN, Ebtanas, atau
sebangsanya yang ada selama ini tidak diperlukan. Menata kurikulum agar
lebih professional dan fungsional dalam
pengembangan keahlian tidak recehan.[41]
Di samping itu menaikkan tunjangan fungsional guru 100-150 persen,
mengesahkan berubahnya beberapa IAIN menjadi UIN, disahkannya UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Pendidikan Nasional, pembaruan di bidang manajemen kelembagaan di
lingkungan Depdiknas. Seperti digerakkannya Direktorat Pendidikan Luar Sekolah
dan Pemuda (PLSP), pelaksanaan Ujian Nasional (UN), dihapuskannya ebtanas dan
diluncurkannya Televisi Pendidikan (TPI), pada Selasa 12 Oktober 2004. Dengan
berlakunya kebijakan ini diharapkan lembaga pendidikan dapat lebih berdaya dan
memberdayakan ke depan.
Perbaikan manajemen pendidikan
secara luas diarahkan untuk lebih memberdayakan lembaga pendidikan sebagai unit
pelaksanaan terdepan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimaksudkan agar
lembaga pendidikan Islam lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat
mengembangkan iklim kompetitif antar lembaga pendidikan di wilayahnya, serta
bertanggung jawab terhadap stakeholders[42] pendidikan,
khususnya orang tua dan masyarakat yang di era otonomi ini akan menjadi kontrol
pada proses pengembangan pendidikan. Dalam pelaksanaannya manajemen pendidikan
harus lebih terbuka, accountable,[43]mengoptimalkan partisipasi orang tua dan
masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia di sekolah dan
lingkungannya untuk digunakan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi siswa
dan mutu pendidikan pada umumnya.
Sejalan dengan gagasan
tersebut di atas lembaga pendidikan Islam yang di beberapa negara di dunia
dituntut untuk menjadi "manajemen mandiri". Perubahan kebijakan dan
administrasi pendidikan ini mencerminkan suatu reposisi kekuasaan dari
kewenangan lebih tinggi (pusat) ke lebih rendah (sekolah) dalam kaitannya
dengan kurikulum, alokasi anggaran dan sumber daya, staf dan siswa, dan dalam
beberapa hal penilaian. Tema yang muncul bagi reformasi ke arah manajemen
berbasis sekolah adalah kemampuan yang diperlihatkan dalam menghasilkan
pelbagai macam peningkatan kualitatif bagi pendidikanyang lebih efektif.[44] Oleh karena itu desentralisasi harus
memberikan: a).Peningkatan efektifitas keputusan berkaitan dengan kebijakan
pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun sistem, b).Manajemen sekolah dan leadership
pendidikan yang meningkat. c).Ketentuan penggunaan sumber daya lebih efisien.
d).Kualitas pengajaran yang meningkat. e).Pengembangan kurikulum yang lebih
sesuai dengan tuntutan sosial dan tenaga kerja di masa mendatang.
f).Menghasilkan outcomes (hasil) siswa yang meningkat.[45]
Membina sebuah perguruan tinggi adalah membina orang-orang. Oleh karena
itu, manajemen modern dan futuristik merupakan kebutuhan mendasar dalam
mengantarkan dosen dan mahasiswa ke arah perubahan hidup dan kehidupan yang
lebih layak. Sebab, membangun perguruan tinggi adalah membangun manusia
profesional-intelektul dalam hal bagaimana mereka mampu bergaul di
tengah-tengah komunitas global secara dinamis, kreatif, dan inovatif. [46] Mengatur manusia membutuhkan kerja
sungguh-sungguh yang sustainable, bukan instan dan dalam kurun waktu
yang singkat. Akhirnya, manajemen adalah kunci utama kesuksesan diri dan sosial
manusia.
Menurut A.Malik Fadjar untuk merekonstruksi UIN ke masa depan sesuai tujuan
yang dirumuskan dan disepakati bersama membutuhkan sebuah seni manajemen. A.Malik Fadjar mengungkapkan, “To manage business is to manage its future, and to manage the future is to
manage information. Luck is the result of good planning and good
planning is the result of information well
applied”.[47]
Manajemen UIN harus
benar-benar mampu mengakomodasi aspek-aspek ideal, struktural, personal,
sosial, dan operasional sebuah perguruan tinggi yang menjanjikan masa depan.
Telaah kritis dan padu secara konsisten terhadap nilai-nilai kefilsafatan (educational
philosophies), unsur-unsur masukan
(educational inputs), proses pendidikan (educational processes), dan unsur-unsur keluaran (educational aoutputs/outcomes) harus
segera di-(de/re) konstruksi secara profesional
bagi pemajuan UIN.
Untuk menuju Perguruan Tinggi bergengsi menuntut sistem dan model-model
manajemen yang lebih modern. Apa yang sering disebut-sebut dengan sistem
komputerisasi yang mendukung berkembangnya sistem informasi dan manajemen (SIM)
dan sistem jaringan kerja (network system), mau tidak mau, perlu
dirintis untuk kemajuan pendidikan, baik kualitatif maupun kuantitatif. Model
manajemen modern ini juga meniscayakan pemahaman yang signifikan bagi adanya
pemaknaan pendidikan sebagai human capital, yang diperhitungkan secara
ekonomis (rate of return), yang menuntut profesionalisme secara utuh.[48]
Keberhasilan ini lanjut Azyumardi Azra karena interaksi intelektual dan
sosial A.Malik Fadjar sangat luas, meskipun A.Malik Fadjar berasal dari
fakultas Tarbiyah di Malang cabang Surabaya tapi A.Malik Fadjar aktif pada
berbagai macam organisasi: aktif di Muhammadiyah, ICMI, HMI, pernah menjadi
ketua Badko. Ini yang membuat interaksi intelektual sosialnya sangat luas. Dan
ini kemudian yang mempengaruhi perspektif A. Malik Fadjar dalam menggagas dan
melaksanakan modernisasi pendidikan Islam.[49]
Apa yang
diusahakan A.Malik Fadjar dalam memajukan
UMM dan UMS merupakan salah satu nilai yang bisa dibanggakan. Dari sebuah perguruan
tinggi yang tidak pernah dilirik orang
menjadi perguruan tinggi yang menarik kerumunan umat untuk memasukkan anak-anaknya
ke sana. Dari kampus yang tidak memiliki gedung sendiri dan terkesan kumuh
sampai kini menjadi kampus paling megah
dan elite bila disandingkan dengan kampus-kampus di sekitarnya. Dari program akademik yang kurang menjanjikan masa
depan sampai kepada program akademik yang mampu melahirkan lulusan-lulusan
yang memiliki competitive advantage di era global.
Konsep dasar manajemen yang
membebaskan yang dibangun oleh A.Malik Fadjar dari pola lama menuju pola baru
cenderung memberikan daya inovasi dan
kreativitas,[50]
sebagai berikut:
|
Pola lama
|
Menuju
|
Pola baru
|
|
- Subordinasi
|
------>
|
- Otonomi
|
|
-Pengambilan keptsan terpusat
|
------>
|
-Pengambilan keptusn partisipasi
|
|
- Ruang gerak kaku
|
------>
|
- Ruang gerak luwes
|
|
- Pendekatan birokratik
|
------>
|
- Pendekatan Profesional
|
|
- Sentralistik
|
------>
|
- Desentralistik
|
|
- Diatur
|
------>
|
- Motivasi diri
|
|
- Overregulasi
|
------>
|
- Deregulasi
|
|
- Mengontrol
|
------>
|
- Mempengaruhi
|
|
- Mengarahkan
|
------>
|
- Memfasilitasi
|
|
- Menghindar Resiko
|
------>
|
- Mengelola resiko
|
|
- Gunakan uang semuanya
|
------>
|
-Gunakan yg. seefisien mungkin
|
|
- Individu yang cerdas
|
------>
|
- Informasi terbagi
|
|
- Informasi terpribadi
|
------>
|
- Pemberdayaan
|
|
- Pendelegasian
|
------>
|
- Organisasi datar
|
|
- Organisasi herarkis
|
------>
|
-Organisasi Konsultatif
|
Mengacu pada pola dimensi tersebut di atas, bahwa
lembaga pendidikan Islam dalam pengembangan manajemen yang membebaskan akan
lebih mandiri,[51]
dan fungsional kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sementara itu
menurut Sutjipto, manajemen pendidikan sama dengan manajemen masjid. Model
pengelolaan mesjid dapat diadopsi untuk mengatur pendidikan maupun sekolah.
Dalam manajemen masjid, persoalan dan rencana dibicarakan bersama masyarakat
sehingga semua orang merasa terlibat. Masyarakat dengan suka rela memberikan
sumbangan karena merasa yakin bantuan yang diberikan benar-benar untuk kepentingan
pembangunan Masjid. Masyarakat tanpa ragu-ragu mengulurkan tangan karena
pengelolaan masjid diyakini sesuai dengahn yang direncanakan. Sumbangan dan
bantuan yang mereka salurkan, sesuai dengan arah yang ingin dituju. Di situ ada
transparansi, ada pertanggungjawaban dan ada akuntabilitas.[52]
Ini berbeda dengan
praktek pendidikan selama ini. Dalam pengelolaan sekolah, misalnya, masih ada
ketidakpercayaan dari masyarakat kepada pengelola sekolah. Masalahnya banyak
pengelola sekolah yang tidak terbuka. Masyarakat tidak mengetahui penggunaan
sumbangan yang mereka berikan kepada sekolah. Ketidakpercayaan kepada lembaga
pendidikan berbuntut pada kurangnya partisipasi masyarakat. Sekolah menjadi
sulit berkembang. Sekolah menjadi sulit memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan
pendidikan yang baik. Kondisi itu antara lain, menyebabkan pendidikan di negeri
ini tidak maju-maju.[53]
Kesimpulan
Adanya perubahan dan pembaruan itu secara tidak langsung memberi perspektif
baru manajemen lembaga pendidikan Islam. Artinya membuka dan menuntut kinerja
yang relevan dengan gagasan baru dalam kerangka pengelolaan di seluruh jajaran
lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini manajemen perubahan dan pembaruan
lembaga pendidikan Islam itu ditempuh melalui tiga variabel, yaitu a) restrukturisasi
dan refungsionalisasi organisasi; b) sosialisasi budaya organisasi moderen; dan
c) reformulasi strategi organisasi dalam mengelola perubahan dan pembaruan.
Restrukturisasi dan refungsionalisasi
organisasi dalam lembaga pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha untuk
merumuskan kembali pola atau struktur
organisasi dan hubungan antar unit serta sistem atau mekanisme di dalam
organisasi dengan menciptakan kembali prosedur dan tata kerja yang jelas,
sehingga fungsi-fungsi dalam organisasi dapat berjalan dengan efisiensi dan
efektif. Sedangkan sosialisasi budaya
organisasi modern ditempuh melalui model kepemimpinan yang terbuka dan
demokratis. Adapun
reformulasi strategi organisasi ditempuh lewat penyegaran dan penajaman visi,
misi, dan aksi (langkah-langkah) menuju sasaran perubahan dan pembaharuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bush,
Tony dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic Management in Education, T.t,
t.pn, t.th
Duhou,
Ibtisam Abu, School-Based Management,
diterjemah Noryamin Aini, dkk, Manajemen
Berbasis Sekolah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2002
Fadjar A. Malik, “Profesionalisme
dan Networking: Upaya Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, dalam Said
Tuhuleley dan M. Afnan (Peny.), Mencari Format Baru Pengembangan Perguruan
Tinggi Muhammadiyah, Jakarta:
Majelis Diktilitbang PP.Muhammadiyah, 2003
-------, Holistika Pemikiran
Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
-------, Pidato (Mendiknas)
ketika berkunjung ke IPB Bogor pada final pemilihan Rektor baru 2002-2007, http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-Desember/000728.
html. Tangal 09 Mei 2007
.
-------, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, Jakarta: INTI, 2008
http/ilmupendidikan.blogspot.Com
/2007 05 01 archive.html. Tanggal 19 Desember 2007
http://www.ssep.net/director.html, tanggal 19 Desember 2007.
Hudijono, Anwar dan Anshari Thayib,
Darah Guru Darah Muhammadiyah, Jakarta: Kompas, 2006
Idris, Muhammad, Manajemen Berbasis Sekolah,
Jurnal Iqra’ Vol. 3. Tahun 2007
Rosyada, Dede, Paradigma
Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2007
Sidi, Indra Djati, Menuju
Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta:
Paramadina, 2001
Sutjipto, Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa Turun Ke
Jalan (Bunga Rampai Sketsa Pendidikan), Jakarta: PT Global Mahardika Netama
& UNJ, 2004
Wawancara dengan A.Malik Fadjar di Sekolah Pascasarjana UIN, tanggal 14
Maret 2008
Wawancara dengan Muhadjir Effendy di ruang Rektor UMM, Malang, tanggal 25
Maret 2008
Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta,
tanggal 20 Mei 2008
Wawancara pribadi dengan
Imam Suprayogo di Ruang Rektor UIN Malang, tanggal 27 Maret 2008
§Dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah dan
Keguruan di STAIN Manado
[1] A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak
Pernah Habis, (Jakarta: INTI, 2008), h. 191
[2] A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak
Pernah Habis, h. 191-192
[3] A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak
Pernah Habis, h. 192
[6]
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk
mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, pengembangan
pendidikan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan
kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang
tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas
disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru,
dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang
sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari
sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat
sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di
sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas MBS dengan
menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun
sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan
kualitas MBS yaitu; a) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan
terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu; b)kualitas/mutu harus
ditentukan oleh pengguna jasa sekolah; c)prestasi harus diperoleh melalui
pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan; d) sekolah harus menghasilkan siswa
yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter,
dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong
sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat
memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah,
khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber
daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien
sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu
khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau
otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan -
tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional. Indra Djati Sidi, Menuju
Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 19-20. Lihat pula http://www.ssep.net/director.html,
tanggal 19 Desember 2007.
[7] Wawancara dengan A.Malik Fadjar di
Sekolah Pascasarjana UIN, tanggal 14 Maret 2008
[8]A.Malik Fadjar, “Profesionalisme dan Networking:
Upaya Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, dalam Said Tuhuleley dan M. Afnan
(Peny.), Mencari Format Baru Pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah,
(Jakarta: Majelis Diktilitbang PP.Muhammadiyah, 2003), h.90
[9]A.Malik Fadjar, “Profesionalisme dan Networking:
Upaya Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, dalam Said Tuhuleley dan M. Afnan
(Peny.), Mencari Format Baru Pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, h.90
[10]Tony Busy sebagaimana
yang diungkapkan oleh Dede Rosyada menyatakan bahwa manajemen pendidikan
memiliki karaketristik yang membedakannya dengan manajemen layanan jasa
lainnya, di antaranya adalah: 1) tujuan dari lembaga pendidikan berbeda dengan
layanan jasa lainnya, dan tidak mudah untuk didefinisikan dibanding dengan
manajemen perdagangan umpanya, karena pendidikan bertugas mendidik anak-anak
agar memiliki berbagai nilai, bahkan kepercayaan yang semuanya sukar untuk
diukur. Beda dengan perdagangan, berapa barang terjual dan berapa
keuntungannya. Kendati demikian banyak aspek dari hasil pendidikan yang mudah
dan bisa diukur, kendati banyak pula yang sukar untuk mengukurnya. 2) dalam
pendidikan aspek tujuan termasuk yang sukar pula di ukur tingkat
ketercapaiannya, apakah tujuan pendidikan itu telah tercapai atau belum
saatseorang siswa telah menyelesaikan
pendidikannya paada jenjang dan jenis tertentu. 3) anak-anak atau siswa
sebagai vocal point dari pendidikan justru menjadi ambiguistik, karena
di satu sisi mereka adalah client yang harus memperoleh pelayanan
terbaik, namun di sisi lain mereka diharapkan
dikembangkan dan diubah karakteristiknya dengan penanaman nilai-nilai
baru. Kemudian dari itu pula siswa adalah manusia yang tidak mudah untuk
dibentuk yang berbeda dengan benda atau barang. 4) Kepala sekolah dan guru
berasal dari kalangan profesi yang sama. Oleh sebab itu sebagai profesional guru biasa menuntut
otonomi dalam pelaksanaan proses pembelajaran
bagi siswa-siswanya. Dengan demikian sistem koordinasi antara guru dan kepala sekolah
berbeda dengan koordinasi antara atasan dan bawahan dalam sebuah instansi
pemerintah atau perusahaan yang bergerak
dalam bidang industri barang atau jasa lainnya. 5) Pengambilan keputusan
sekolah senantiasa dipengaruhi oleh unsur-unsur
agensi luar seperti perwakilan orang tua, perwakilan pemerintah,
politisi dan unsure lainnya. Keragaman unsur yang terlibat ini akan menyulitkan
kepala sekolah dalam mendistribusikan
tanggung jawab terhadap putusan-putusan yang dihasilkan rapat sekolah karena
unsurt yang mempengaruhi pengambilan keputusan
justru tidak berada dalam jajaran manajemen. 6) Kesibukan kepala sekolah
dalam mengajar. Banyak senior manejer hanya memilik waktu yang sangat sedikit untuk
manajerial karena sibuk dengan tugas mengajar. Lihat Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 223
[11] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan
Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan,
h. 224
[12] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan
Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan,
h. 224-225
[13] Tony Bush dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic
Management in Education, (T.t, t.pn, t.th), h. 15-16
[14] Tony Bush dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic
Management in Education, h.191-192
[15] Tony Bush dan Marianne Coleman, Ladership and Strategic
Management in Education, h.192
[16] Maknanya dapat dipahami bahwa keberuntungan
adalah hasil dari perencanaan yang baik dan perencanaan yang baik adalah hasil
dari informasi akan diterapkan. Jadi hal tersebut tergantung dari informasi
yang di akses, semakin banyak informasi dan dikelola dengan baik maka dapat
menghasilkan sesuatu yang baik pula. A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 9
[18] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,
(Jakarta: Kompas, 2006), h. 86. Keberangkatan beliau ke Amerika dalam
rangka studi tidak terlepas dari pergumulannya dengan Mukti Ali (Menteri Agama
RI), yang membawa A. Malik Fadjar berkenalan dengan Yayasan Ford Foundation,
dan atas beasiswa dari yayasan ini A. Malik Fadjar melanjutkan studinya ke Florida
State University. Ia mengambil Magister Manajemen Pendidikan, jurusan yang
sesuai dengan minat dan pilihannya karena cita-cita besarnya sebagai pendidik
sejati yang akan memajukan pendidikan nasional khususnya untuk kemajuan
pendidikan Islam.
[21] Wawancara pribadi dengan Muhadjir Effendy
di Ruang Rektor UMM di Malang, tanggal
25 Maret 2008
[22] Wawancara pribadi dengan Muhadjir Effendy
di Ruang Rektor UMM di Malang, tanggal
25 Maret 2008
[23] Kondisi UMM ketika pergantian adalah
sebagai berikut: 1.Fakultas-fakultas dan setatusnya; a)Fakultas Tarbiyah berstatus diakui ((DEPAG) untuk program sarjana muda, sedangkan program sarjana dalam
proses terdaftar. b)Fakultas Ilmu sosial yang mempunyai jurusan-kesejateraan
sosial, dengan status terdaftar baik untuk
program sarjana muda maupun sarjana.
c)FKIP yang mempunyai jurusan pendidikan umum/kurikulum dan teknologi
pendidikan, status terdaftar untuk program sarjana muda. Sedangkan program
sarjana belum memiliki status.d)Fakultas
hukum status terdaftar untuk program sarjana muda. Fakultas ekonomi, dengan jurusan ekonomi manajemen
status terdaftar untuk program
sarjana muda e)Fakultas pertanian, jurusan agronomi (Budi daya pertanian) berstatus terdaftar untuk program sarjana muda. 2.Jumlah mahasiswa saat
itu sekitar 600 orang. 3.Jumlah tenaga pengajar/dosen tetap 6 orang dari
pemerintah, sisanya berstatus tidak tetap. 4.Tenaga administratif sebanyak
kurang lebih 25 orang, semuanya berstatus tidak
tetap. Dan kebanyakan merangkap di perguruan tinggi lain, sehingga kerjanya hanya sore hari. 5.Sarana dan
fasilitas administrasi serta akademis sangat minim. 6.Kondisi fisik (bangunan
kampus); a)Kampus I (jln bandung I malang) digunakan secara bergantian dengan MTS Muhamaddiyah dan SMEA MM. b)Kampus 11
(Jln. Bendungan Sutami 188 A Malang.) digunakan secara bergantian dengan SMP, SMA dan STM M. 7.Kekayaan; a) Kekayaan
tidak bergerak berupa tanah satu hektar dan 1400 m2. b) Kendaraan berupa
satu cold disel dengan status kredit. c) Keuangan Nihil (baik kas maupun
rekening bank), dan dalam bentuk piutang
dari SPP mahasiswa yang jumlahnya tidak jelas. 8. Manajemen UMM saat itu
terpecah-pecah lantaran kampus I dan kamus II mempunyai otonomi
sendiri-sendiri, baik dalam administrasi, pengelolaan keuangan, penggajian dan
lain-lain. Lihat, Anwar Hudijono dan
Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 96-98.
[24] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 101. Cita-cita yang besar dan luhur akan mendapat tantangan yang berat dan
membuat seseorang pusing dan stres berat pula. Secara edukasi bukan stres dan
pusingnya tapi seberapa banyak dan kuatnya kita memiliki daya tahan dalam memenej tantangan tersebut. Dalam
dunia pendidikan sesorang akan menghadapi dan menangani sejuta pusing dan stres
di lapangan. Dengan demikian seseorang
yang mampu memenej gulma (gangguan) tersebut
dan melewatinya dengan baik akan
semakin dibesarkan dan dikuatkan dalam sejarah peradaban manusia. Tapi bila tidak akan digilas dan digulung dalam sejarah.
[29] Konsultasi/wawancara dengan A.Malik Fadjar
di SPs UIN Jakarta, tanggal 22 April 2008
[30] Wawancara pribadi dengan
Imam Suprayogo di Ruang Rektor UIN Malang, tanggal 27 Maret 2008
[31] Wawancara pribadi dengan
Imam Suprayogo di Ruang Rektor UIN Malang, tanggal 27 Maret 2008. Hal tersebut menarik untuk dikembangkan bahwa
membangun cita-cita demi kepentingan umat memerlukan perkawanan yang setia
dalam mewujudkan impian yang mulia itu dan tim tersebut tidak terlalu banyak,
sehingga bisa dikontrol dengan baik. Sebagaimana A.Malik Fadjar dibangun di atas
tiga kekuatan, tidak saja memiliki kekuatan intelektual atau kemudian kemampuan
memenej di bidangnya masing-masing tapi lebih dari itu, yaitu ketemunya
cita-cita bersama itulah menjadi kekuatan yang dahsyat dalam membangun UMM. A. Malik Fadjar tidak bisa sendiri membangun
kelembagaan. Dimanapun di dunia ini tidak ada akselerasi kesuksesan yang
fantastic dengan ksendirian, pasti didasari dengan persahabatan demi mewujudkan
harapan yang riil, sebagaimana Nabi Saw.
[32] Wawancara dengan A.Malik Fadjar, di Sekolah
Pascasarjana UIN, tanggal 14 Maret 2008
[34] Wawancara dengan Muhadjir Effendy di
ruang Rektor UMM, Malang, tanggal 25 Maret 2008
[35] Wawancara pribadi dengan Imam Suprayogo
di ruang rektorat di Malang, tanggal 27 Maret 2008.
[36] Keputusan
Presiden No. 11 Tahun 1997 yang menetapkan fakultas cabang di lingkungan
IAIN berubah menjadi STAIN.
[37] Wawancara dengan A.Malik Fadjar, di Sekolah Pascasarjana UIN,
tanggal 14 Maret 2008
[40] SK No. 184/U/2001. Tanggal 23 November
2001
[41] Pidato A.Malik Fadjar (Mendiknas) ketika
berkunjung ke IPB Bogor pada final pemilihan Rektor baru 2002-2007, http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-Desember/000728.
html. Tangal 09 Mei 2007. Pemikiran
A.Malik Fadjar dari aspek kurikukum harus diotonomikan, bukan kurikulum
yang bersifat “recehan” (kepingan-kepingan ilmu yang tak berdasarkan telaah
ilmiah). Di lain sisi A.Malik Fadjar membahasakan kinerja pada dunia pendidikan
(PT.) di tanah air agar tidak
berlaku ibarat ”toko kelontong”, yang
menjual semua produk mereka yang justru jauh dari fondasi akademik. Dengan
diberikannya wewenang agar kurikulum lebih independent yang bersifat luas dan
lues. Sehingga pendidikan lebih krteatif, inovatif, fleksibel dan produktif. Mata pelajaran yang dikembangkan dalam
wilayah otonomi pendidikan lebih bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah
lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidisipliner, interdisipliner dan
transdisipliner.
[43] Dalam pengimplementasian
konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan
dengan permasalahan administrasi, pengembangan pendidikan dan fungsi setiap
personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan
oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus
membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan
lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala
sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili
berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara
profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui
penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas MBS dengan menciptakan kompetisi
dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal
yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas MBS yaitu; a)
perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan
peningkatan mutu; b)kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah;
c)prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan
aturan; d) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan,
keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan
emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus
meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan
meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi
sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang
ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya
tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya.
Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas
pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang
bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional. Indra Djati Sidi,
Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 19-20. Lihat pula http://www.ssep.net/director.html,
tanggal 19 Desember 2007.
[44] Muh. Idris, Manajemen Berbasis Sekolah,
Jurnal Iqra’ Vol. 3. Tahun 2007
[46] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
h. 44. Pendidikan berwawasan global
merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta
didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif
dan dengan derajat saling
ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus
mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai
yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu sekolah harus
memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat
kita harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan kemajuan masyarakat
dunia.
[47] A. Malik Fadjar, Holistika
Pemikiran Pendidikan, h. 42. Semangat manajemen itulah yang memberdayakan
kualitas masyarakat dengan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai
kualitas intelektual itulah yang telah hidup, menghidupi, dan mengarahkan
kehidupan masyarakat kini dan masa depan.
[48] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran
Pendidikan, h.43. Usaha yang sangat spektakuler dari A. Malik Fadjar ketika
Universitas Muhammadiyah Malang berkibar dan mencorong pada masa itu. Dalam
suasana seperti itu maind set berfikir
pendidikan semakin dinamis dan kompetitif. Sungguh bila ummat Islam memang
bermaksud merebut peranan sejarahnya kembali dalam percaturan dunia. Maka kerja
pertama yang harus dibenahi adalah dunia
pendidikan Islam, khususnya pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi Islam harus
mampu menciptakan lingkungan akademik yang kondusif bagi lahirnya
cendekia-cendekia yang berfikir kreatif, otentik dan orisinal. Semangat
tersebut telah dilakukan A. Malik Fadjar guna menciptakan generasi-generasi Islam ke depan, yang dapat dan mampu memenuhi
logika persaingan ke depan.
[49] Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra
di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, tanggal 20 Mei 2008
[51]Dengan demikian, secara
bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian tinggi. Secara umum,
sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a)Tingkat kemandirian
tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah; b)Bersifat adaptif dan
antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil resiko); c)Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber
dayanya; d)Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; e)Komitmen yang
tinggi pada dirinya; f)Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya
dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: a)Pekerjaan adalah miliknya;
b)Bertanggung jawab; c)Memiliki
kontribusi terhadap pekerjaannya; d)Mengetahui
poisisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya; e)Pekerjaan
merupakan bagian hidupnya. Lihat http/ilmupendidikan.blogspot.Com /2007 05 01
archive.html. Tanggal 19 Desember 2007
[52] Sutjipto, Kesaksian Seorang Rektor:
Siapa Menyuruh Mahasiswa Turun Ke Jalan (Bunga Rampai Sketsa Pendidikan),
(Jakarta: PT Global Mahardika NEtama & UNJ, 2004), h. 94
[53] Sutjipto, Kesaksian Seorang Rektor:
Siapa Menyuruh Mahasiswa Turun Ke Jalan (Bunga Rampai Sketsa Pendidikan),
h. 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar