Jumat, 19 Februari 2016

INSPIRASI



PAO SUKKARA
Jumat pekan lalu, seorang kawan datang bersilaturahmi; membawa 1 kardus bekas minuman air mineral yang berisi mangga dari beraneka macam jenis; Salah 1 jenis yang menjadi favoritnya adalah pao sukkara, begitu orang2 di kampung saya menyebutnya. Pao sukkara apabila telah matang, umumnya berwarna kuning keemasan, jatuh ke tanah. Aromanya harum, begitu menggoda selera. Rifqi & Cacca, dua anak saya, sangat menyukainya. Mangga sukkara tersebut dinikmati hanya dengan mengupas kulitnya; setelah itu di’embat digigit langsung bak serigala mengupas daging kelinci, tekstur daging buahnya yang kenyal habis hingga yang tersisa hanya bijinya, yang kemudian dibuang. Siang tadi, kakak saya datang membawa (lagi-lagi) mangga; tidak ada mangga sukkara; yang ada pun mangga yang umumnya masih mengkal, bahkan ada yang muda. Rifqi & Cacca ternyata tidak tertarik dengan mangga yang aromanya tidak harum,..
Sore tadi, Rifqi & Cacca heran, karena di antara “sampah” berupa biji mangga yang dibuangnya beberapa hari lalu ternyata menunjukkan tanda-tanda akan tumbuh... Cacca bertanya kenapa biji mangga yang dibuangnya beberapa hari lalu bisa tumbuh. Saya berusaha menjelaskannya dalam bahasa anak eSDe. Keduanya manggut2, ntahlah, mungkin keduanya mengerti dengan penjelasan saya atau hanya karena sungkan saja bertanya lebih lanjut,...**
Fenomena mangga sukkara tersebut mengingatkan saya dengan ungkapan salah seorang Budayawan Sulawesi Selatan dalam salah satu artikelnya. Dalam terjemahan bebas kira2 berbunyi:
MANGGA YANG MENGKAL LEBIH KERAS DARI MANGGA YANG MATANG; MANGGA YANG MATANG AROMANYA MENYEBAR, HINGGA KULITNYA PUN DIKERUMUNI LALAT (KARENA HARUMNYA); BIJINYA YANG DIBUANG KE TANAH PUN BISA TUMBUH,...; MANGGA YANG MENGKAL DAN MENTAH (BIASANYA) HANYA MENJADI “BURUAN” ORANG2 “SAKIT” ...
Mangga (sukkara) yang matang ternyata aromanya benar-benar harum. Jangankan mangga matang yang utuh, kulitnya pun harum, ketika dibuang masih diminati oleh binatang lain, katakanlah lalat. Bijinya yang sudah dibuang masih menyisakan aroma harum, bahkan bisa tumbuh secara alamiah,..Berbeda dengan mangga yang mengkal, apatah lagi yang masih muda; tidak ada aroma sama sekali, kulit buangannya (hampir) tidak diminati oleh binatang karena tidak menyisakan aroma,...dalam praktiknya, mangga yang mengkal (biasanya) diminati oleh orang2 tertentu, katakanlah untuk dibuat rujak atau apalah namanya; bahkan mangga muda lebih terbatas lagi, biasanya dicari hanya untuk dijadikan pelengkap makanan...; peminat mangga yang mengkal atau yang mentah (terkadang) orang “sakit”, katakanlah perempuan yang lagi ngidam,...Dalam batasan tertentu, kematangan seseorang bisa diumpamakan “mangga”; Orang yang matang seperti mangga sukkara; aromanya harum, menarik,...; mangga sukkara yang matang tidak perlu “memperkenalkan” dirinya sebagai mangga, aromanya menyebar ke mana-mana, kulitnya pun masih menyiasakan aroma khas mangga, bijinya yang dilemparkan ke atas permukaan tanah pun (bisa) tumbuh,...
Dalam hidup sehari2 biasanya kita bertemu dengan orang yang benar2 matang tanpa dia memperkenalkan diri. Orang yang (masih) mengkal sikap dan responnya keras, LEBIH KERAS dari yang matang,.. apatah lagi yang masih muda.Orang yang matang tidak perlu memperkenalkan dirinya sebagai pribadi yang “matang.” “Aroma” kematangannya pun akan menyebar ke mana-mana, akan menyenangkan semua orang; pilosofi mangga sukkara menunjukkan bahwa popularitas kematangan seseorang akan tumbuh secara alamiah, tanpa perlu memperkenalkan diri, tanpa perlu pencitraan,...
Orang yang matang biasanya lebih fleksibel (baca: bijaksana) dalam merespon beragam permasalahan kehidupan; sikap berbeda (biasa) ditunjukkan oleh pribadi yang masih “mengkal”; sedangkan orang yang “masih mudah” (selalu) menunjukkan respon yang sangat keras,...Saya teringat dengan cerita salah seorang teman yang pernah lama menekuni salah satu jenis beladiri tradisional. Dia menjelaskan bahwa terkadang orang yang baru belajar 1-2 jurus itu sangat berani untuk bertarung, bahkan terkadang lebih berani dari gurunya sendiri,...; hal tersebut wajar, karena masih “mentah” sehingga lebih keras dari yang “mengkal”
Dalam konteks orang berilmu, orang yang memiliki kedalaman ilmu akan menunjukkan kematangan bagaikan mangga sukkara; aromanya menyebar ke mana2, teksturnya fleksibel, pribadinya menarik,.. dst. Ilmuwan yang matang tidak akan terlibat dalam perdebatan dalam satu masalah, karena dia dengan segala kearifan yang ada padanya memahami masalah dari beragam perspektif. Sebaliknya, orang yang (baru) belajar biasanya sangat gigih mempertahankan pendapat,...; maklum mangga masih muda.
Dengan nada guyon, seorang teman pernah berujar bahwa dalam konteks kehidupan sosial yang (masih) feodalistik, (katanya)
terkadang juga ada bangsawan yang matang, ada yang mengkal,..; mana bangsawan yang matang (matase’) mana bangsawan yang mengkal (bangkala) ntahlah, sungguh saya tidak mengerti hal tersebut,...
**
Hidup dengan segala problematikanya yang kompleks-heterogen, bahkan cenderung eskalatif memerlukan kematangan dalam meresponnya,... Indahnya hidup yang menjadi dambaan setiap hamba Tuhan hanya akan dinikmati dengan kearifan,...;Akhirnya saya berfikir,
(mungkin) kita tidak perlu seperti mangga yang mengkal atau mangga mudah, karena hanya akan memenuhi selera orang “sakit”...
sepanjang kita perlu belajar dan lebih banyak belajar agar segera menjadi matang,...(karena) diperlukan kematangan dalam merespon dinamika, agar hidup ini terasa indahnya, setidaknya menumbuhkan optimisme dalam diri kita, bahwa KELAK SEMUA AKAN MENJADI INDAH PADA WAKTUNYA,...


DARI INSPIRASI ORANG BUGIS MAKASSAR IAIN PALOPO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar